Ariena Drop

1454 Kata
Three weeks later .... "Kamu pucat sekali, Nak. Apa kamu kurang sehat?" Sebuah pertanyaan keluar dari birai seorang wanita paruh baya yang tampak sibuk merajut benang wol berwarna broken white untuk dijadikan selembar syal. Pergerakan tangannya mendadak terhenti begitu melihat putri semata wayangnya keluar kamar dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Melihat tidak ada jawaban dari putrinya, wanita bernama Kavita Wiraguna tersebut segera bangkit dari single sofa yang beberapa belas menit lalu telah memanjakan torsonya. Ia menggerakkan tungkai perlahan untuk menyambangi sang putri yang tampak terdiam seraya memijat kepala. Saat selusur kanannya digerakkan untuk menyentuh kening mulus sosok yang sudah tampil semakin cantik dalam balutan celana kulot berwarna mocca dan atasan ruffle berwarna broken white itu, ia sukses melebarkan netra. "Astaga, Arien. Kamu hangat. Benar kan seperti dugaan Ibu, kamu itu sedang kurang sehat, Nak. Sudah, istirahat saja hari ini ya. Jangan pergi kemana-mana. Ayo Ibu bantu kamu berbaring biar Ibu bisa membuatkanmu jahe hangat." "Tidak, Bu. Arien harus segera pergi sekarang. Ibu tidak lupa kan kalau hari ini adalah hari ujian SNMPTN* dilaksakan di Universitas Indonesia. Arien tidak mungkin tidak hadir, Bu. Hari ini kesempatan bagi Arien agar bisa mengejar cita-cita Arien untuk menjadi perancang busana ternama." *SNMPTN merupakan singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.* Ariena berucap lemah, dengan sebelah tangan menumpu pada headboard sofa. Ia tengah merasa pusing sebenarnya. Namun, agar tidak membuat sang ibu khawatir, ia berpura-pura untuk tetap kuat. Walau tidak menutup kemungkinan jika setelah ini ia juga terkendala dalam mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tersebut. Ariena sampai takut membayangkan jika ia tidak lulus ujian. Entah bagaimana selanjutnya. Mungkin Ariena akan mencari kampus lain yang masih membuka gelombang kedua untuk ujian tersebut. Karena ujian di UI hari ini adalah ujian gelombang terakhir. Hanya ini satu-satunya harapan Ariena agar bisa masuk perguruan tinggi dan mengejar impiannya. "Tapi, Nak ... ibu rasanya berat untuk membiarkan kamu pergi dalam keadaan sakit seperti ini. Ini harus apa? Ayahmu juga sudah pergi ke kantornya. Seharusnya kamu tidak perlu naik bus seperti biasanya." Kavita membelai surai kecoklatan putrinya. Sedih sekali rasanya melihat putrinya yang tengah bersemangat mengikuti ujian, tetapi tubuhnya sedang minta beristirahat. "Tidak, Bu. Ariena tidak naik bus. Ariena pergi dengan Gaisa. Kak Madav yang akan mengantarkan kami. Jadi Ibu jangan khawatir lagi ya. Setelah selesai ujian, Arien janji akan langsung pulang dan beristirahat. Ibu pokoknya jangan sampai kepikiran ya. Ibu juga harus ingat kesehatan Ibu. Doakan saja Arien, Bu. Doakan semoga Arien lancar ujian nantinya." Mendengar penuturan Ariena, Kavita hanya bisa menghembuskan napas berat kemudian mengangguk pelan. Berusaha tidak terlihat khawatir lagi untuk mendukung putrinya yang tampak sangat bersemangat. "Tentu saja, Nak. Doa Ibu selalu menyertaimu," ujar Kavita akhirnya setelah terdiam cukup lama. Suara klakson mobil yang memendar tiba-tiba dari arah luar rumah, membuat lamunan kasih sayang ibu dan anak itu buyar seketika. Bagaimana Ariena mengerjap cepat, lalu mencoba merapikan lagi penampilan vintage-nya. Ia ingin terlihat rapi di hari di mana ia akan mulai berjuang untuk mengejar asanya. "Nah, itu Gaisa dan kak Madav sudah sampai, Bu. Arien harus pergi sekarang. Arien pamit ya, Bu. Doakan Arien." Ariena tersenyum manis, mencoba untuk menyembunyikan rasa sakit yang terus menusuk di kepalanya. Meraih tangan sang ibu kemudian mengecupnya lembut Ariena masih berdiri menatap hangat ibunya. Sebelum akhirnya sedikit menunduk untuk menjangkau kedua pipi putih yang tampak mulai berkerut di bawah matanya. Ariena mengecup lembut kedua pipi Kavita, lanjut berlalu sambil melambaikan tangannya. Buru-buru. Ia juga tidak enak membiarkan Gaisa dan Madava menunggu terlalu lama di luar pagar rumahnya. "Arien pergi, Bu. Love you ...!" Ariena masih sempat berteriak kecil sebelum menghilang dari balik dua daun pintu depan rumah sederhana tersebut. Kavita pun tersenyum hangat mengantar kepergian sang putri. Meskipun tidak bohong kalau perasaannya terus saja gelisah mengetahui Ariena sedang kurang sehat, namun tetap memaksakan diri untuk pergi mengikuti ujiannya. Ariena kini tengah menggerakkan tungkai setelah menutup sempurna pintu rumahnya. Lututnya terasa melemas seketika, dan ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba bisa jadi seperti itu. Ia berhenti sejenak untuk meredam rasa sakit yang terus menggerogoti tulang belulangnya. Seakan Ariena tengah dihancurkan dari dalam. Bertahan. Itulah yang Ariena lakukan. Tersenyum manis ke arah sahabatnya yang sudah berdiri di sisi mobil untuk menyambutnya di pagi cerah itu, akan tetapi terasa kelabu di mata Ariena yang mendadak berkunang-kunang. Ia harus mengerjap berulang kali untuk meminimalisir penglihatannya yang sudah semakin memburam. Berusaha tetap menguar senyuman dalam setiap napas ngilunya. "Arien, kamu sakit?" tanya Gaisa. Gadis berkulit tan yang kini tengah meraba keningnya, persis seperti yang ibunya lakukan di dalam rumah tadi. "Tidak. Mungkin karena efek bergadang buat ujian hari ini saja, Gaisa. Sudah, ayo langsung berangkat. Nanti kita bisa terlambat jika terus berdiam di sini," ucap Ariena masih dengan senyumannya. Kaca mobil diturunkan tiba-tiba, hingga menampakkan seorang laki-laki bersurai hitam tengah mengintip ke luar, melihat Ariena dan Gaisa yang masih belum beranjak masuk ke dalam sana. "Ayo, nanti kalian bisa terlambat mengikuti ujiannya," celetuk laki-laki dengan rahang tegas yang kini mengamati Ariena terang-terangan seraya mengernyit dalam. "Kamu sakit ya?" tanya lelaki pemilik nama Madava tersebut setelah mengamati Ariena seksama. "Tidak, Kak. Kenapa kalian kompak sekali menanyakan hal yang sama? Sudah, ayo langsung berangkat saja." Ariena tidak mau menunggu lama lagi. Ia segera meraih pintu mobil jok belakang dan mendudukkan torsonya dengan nyaman di sana. Gaisa akhirnya mengikuti Ariena. Ia masuk ke jok belakang hingga membuat Madava menghembuskan napas frustrasi karenanya. "Gaisa sayang ... Pacarmu ini bukan sopir ya. Ayo duduk di jok depan saja. Ini mobil pribadi bukan taksi sewaan." Perkataan Madava barusan sukses membuat Ariena dan Gaisa cekikikan dan menggelengkan kepalanya. Terlebih Ariena. Kakak kelasnya yang selalu menjadi moodbooster tersebut, selalu tahu cara untuk mencairkan suasana. Ariena tahu, kalau sahabatnya itu baru saja jadian dengan sang lelaki pujaan hati. Ariena merasa senang Gaisa dicintai oleh laki-laki yang juga sangat dicintainya. Sesaat ia jadi ingat kisah cintanya dengan Radit yang membuat hatinya sakit dan hancur berkeping-keping. Bahkan lelaki itu menghilang setelah tiga minggu yang lalu mengatakan akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Seharusnya Ariena tidak terkejut mendapati Radit yang berlaku seenaknya begitu. Ia harusnya sadar, kalau ucapan Radit tidak pernah bisa di pegang. Bullshit. Ariena semakin membenci lelaki itu. Mengingat juga bagaimana Juan, laki-laki yang dicintainya langsung kembali ke Paris tepat di hari ia kembali ke Indonesia, Ariena semakin tidak bisa mengerti dengan kisah cintanya yang tidak pernah berakhir bahagia. Apakah selamanya ia akan terus begini? Apa ia tidak akan bisa bahagia lagi setelah hidupnya dihancurkan oleh Radit Aldynata Anggara? Ariena terus larut dalam perang pemikirannya. Memikirkan Juan dan Radit. Dua laki-laki yang sempat mengguncang hatinya. Meskipun sosok Juan tetap berbeda karena telah menjadi motivasi untuknya terus bangkit dan berjuang menggapai cita. Sedangkan Radit malah menjadi sosok penghancur hidupnya. Ia masih terdiam, sampai sebuah suara suprano mengejutkannya. Menepuk bahunya hingga ia mengerjap sempurna. "Arien, hei ... Kenapa malah melamun? Aku pindah ke jok depan ya? Kasihan Kak Madav jadi sopir." Gaisa, sahabatnya itu tampak cekikikan. Ariena pun ikut terkekeh dibuatnya. "Iya-iya. Sana ke depan. Kasihan Kak Madav tidak ada teman mengobrol," tutur Ariena sembari mendorong lembut torso sahabatnya agar beranjak keluar mobil dan kembali masuk ke jok depan sebelah kemudi. "Okay, kita berangkat ...." Madav segera menginjak pedal gas. Membawa dua perempuan cantik itu untuk berjuang meraih cita-citanya di salah satu universitas kebanggaan Indonesia. *** Lembaran-lembaran soal itu menumpuk di hadapan Ariena. Ia duduk dengan gelisah. Merasa tidak nyaman saat rasa mual dan meriang terus mengalihkan atensinya untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Padahal semalam ia sudah belajar. Bahkan sampai larut malam. Akan tetapi, sekarang rasanya semua jadi sia-sia karena kondisi tubuhnya yang dirasa berbeda dari biasanya. Ariena melemah. Ia tidak tahan untuk segera memuntahkkan isi dari perutnya yang terus bergejolak di dalam sana. Memaksa untuk keluar. Ariena mulai berkeringat dingin. Ia semakin merasa pusing. Meremas kain celana kulotnya untuk mengontrol rasa sakit yang terus membelitnya, Ariena malah semakin bergetar hebat sekarang. Ia tidak mampu bertahan lagi. Rasa sakit dan nyeri di kepala yang terus menyerang tanpa jeda seakan menghancurkan ekspektasinya hari itu. Ariena baru mengerjakan lima soal. Ia semakin gelagapan saat melirik arloji putih yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah berjalan setengah jam lebih selama ia masuk ke dalam ruangan ujian tersebut. Memijat pelipisnya yang dirasa semakin berdenyut, Ariena akhirnya berada di ujung pertahanan. Ia sudah tidak kuat dan terpaksa mengacungkan tangan ke arah panitia. Ingin meminta izin keluar ke kamar mandi. Mendapat anggukan dari panitia tersebut, Ariena pun segera bangkit dari kursinya. Ia menatap Gaisa yang duduk terpisah beberapa kursi darinya, masih dengan penglihatan yang sudah memburam. Terlihat Gaisa bertanya tentang keadaanya dengan gerakan bibir yang sudah dipahami Ariena. Ia hanya memberi jawaban dengan gelengan pelan, yang mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa. Nyatanya, baru beberapa langkah ia berjalan meninggalkan kursinya, penglihatannya semakin kacau, terlihat acak. Semuanya berputar dalam penglihatan Ariena. Ia terhuyung dan .... "ARIENA!" *** To be continued ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN