Hadiah Penuh Kepahitan

1196 Kata
Ariena tidak berhenti merutuki dirinya saat degupan kuat terus tercipta saat bersama Juan Sandyaga semakin tidak terkontrol. Ia tengah dalam perjalanan pulang bersama Juan. Tidak ke rumah Gaisa, sahabatnya. Melainkan langsung pulang ke rumahnya. Ariena sedang memikirkan bagaimana kedua orang tuanya begitu khawatir dengan keadaannya sekarang. Ketika mobil sedan bercat putih milik Madava berhenti tepat di depan pagar rumah bercat putih sederhana satu lantai. Melepas seatbelt, Ariena melirik kecil lelaki tampan berwajah datar yang kini tengah menatapnya tidak kalah datar. Ariena sampai kesusahan menelan salivanya sekarang. Kebingungan mengambil fokusnya saat obsidian hitam itu seakan menghisap kalewarasan. "Tampan sekali," batinnya. "Ariena ... hei. Kenapa malah diam? Ayo aku antar masuk ke dalam." Juan bersuara juga pada akhirnya setelah melihat Ariena mematung di sampingnya. Ariena pun buru-buru mengerjap saat suara bariton Juan tepat merasuki rungunya. Menggelitik lembut dalam ketidakberdayaan. Hatinya berdesir tidak kalah kuat mengalahkan ritme debarannya. "Ariena ...?" Sekali lagi, Juan meruntuhkan lamunan Ariena. "Ah, ya ... maaf, Kak." Suara suprano-nya terlahir setelah sekian lama terdiam dalam dunia lamunan. Ia kembali mengerjap. "Maaf ...? Maaf untuk apa? Memangnya kamu melakukan kesalahan apa sampai minta maaf seperti itu, Arien? Ah, lupakan. Sekarang kita turun dan aku akan mengantarkanmu ke dalam." Ariena tercekat. Ia mendadak kelimpungan sendiri mendengar ucapan Juan. Berusaha mengontrol degupan, namun tetap saja berakhir nihil. Ariena berada dalam pusaran cinta yang menjeratnya. Namun, saat bayangan perempuan bernama Calista melintas tiba-tiba, ia langsung melengos. Kecewa. Ariena tak mampu mendeskripsikan bagaimana kehampaan itu memendar. Membuat rasa kekecewaan itu semakin kentara dirasakannya. Ia menghembuskan napas perlahan. "Tidak usah, Kak. Terima kasih banyak sebelumnya telah mengantarku pulang. Dan ... untuk hadiahnya yang membuatku semakin tidak enak saja," Ariena menatap paper bag yang berada di jok belakang. "Bukan apa-apa. Yang kamu lakukan untuk mamaku di airport tadi tidak bisa dibalas dengan apa pun sebenarnya. Tetapi, aku harap hadiah itu bisa menjadi kenangan yang baik untuk kita." Ariena mengerutkan keningnya mendengar kalimat terakhir Juan tersebut. Merasa kacau saat mencoba mengartikan maksud Juan. Ia terlalu percaya diri awalnya dalam mengartikan, sampai perkataan Juan selanjutnya sukses membuat ia terdiam di tempat. Sadar. "Kenangan menjadi adik kelas pemberani seperti tadi. Dan anggap ini sebagai hadiah kelulusanmu juga. Setelah ini, jaga dirimu baik-baik, Ariena." Tentu saja, harusnya Ariena sadar diri kalau perbedaan jauh seperti langit dan bumi tidak mungkin membuat semesta bisa menembakkan panah cinta di hati Juan. Mereka jelas berbeda jauh dari banyak hal. Namun Calista ... Ariena tahu ada kecocokan antara keduanya. Siapa juga Ariena yang berani-beraninya mencintai sosok sesempurna Juan Sandyaga? Selain karena strata sosial yang jauh berbeda, keadaannya yang telah hancur seperti sekarang menjadi hal yang harus membuat ia menarik diri secepatnya dari jeratan mimpi setinggi langit tersebut. Selamanya, ia dan Juan akan selalu terpisah oleh jurang perbedaan. Ia meringis seketika. Membayangkan rasa sakit berkali lipat yang telah digoreskan Radit padanya, juga kekecewaan yang hadir karena hubungan Juan dan Calista, setidaknya cukup mampu menyibak tabir kesadaran. Ariena buru-buru bangun dari mimpinya. "Sekali lagi terima kasih banyak, Kak." Ia langsung meraih gagang pintu mobil, membukanya cepat dan berlalu turun begitu saja. "Arien, tunggu!" teriakan kecil Juan membuat tungkainya berhenti dan kembali berpaling menatap sosok di belakang yang berjalan menghampirinya dengan menjinjing paper bag di tangan. Okay, karena paper bag, bukan karena hal lain. Ariena kembali menyadarkan diri. Ia menatap lelaki tampan tersebut dalam diam saat telah berada tepat di hadapannya. "Kamu melupakan ini." Juan memberikan paper bag berisi hadiah pemberiannya kepada Ariena. Bahkan Ariena sendiri tidak tahu persis apa isi di dalam sana. Karena Juan memilihkan sendiri dan langsung membayar ke kasir tanpa ia ketahui saat di mall tadi. "Ini sangat merepotkan," ucap Ariena kemudian setelah menerima pemberian Juan. "Lebih merepotkan mana jika kamu tidak mau menerima pemberianku seperti ini? Apa hatimu tidak akan repot nantinya karena perasaan bersalah? Sudah, jangan pikirkan apa pun lagi. Segera masuk ke dalam. Orang tuamu pasti khawatir karena kamu tidak pulang sejak semalam," tambah Juan. Ariena sukses mengernyit sekarang. Merasa berdebar tentu saja. Ada yang aneh dari perkataan Juan. "Maaf ... Kakak tahu dari mana ya soal ... semalam?" tanya Ariena gemetar. "Oh, itu ... Madav yang memberitahunya. Kamu bersama Radit, kan?" Mendengar nama Radit disebutkan, Ariena mengepalkan tangan diam-diam di bawah sana. Sakit sekali hatinya membayangkan perlakuan Radit semalam. Semua permainan Radit, Ariena membencinya. Sangat. "Aku tidak mau membahasnya, Kak. Semuanya sudah hancur. Tidak ada lagi kenangan baik yang tersisa. Semuanya hancur sekarang. Maaf ... aku masuk dulu. Sekali lagi terima kasih banyak." Ariena langsung memaksakan tungkainya melangkah cepat, meninggalkan Juan yang terpaku menatapnya. Saat selusur Ariena membuka pagar rumah lalu masuk ke dalam, ia masih sempat melempar pandangan ke arah Juan, dan kembali bergetar. Getaran rasa sakit itu, membawa tungkainya kembali menjauh dengan cepat memasuki rumah minimalis sederhana tersebut. Ariena menutup pintu rumah dengan cepat dan bersandar di belakangnya. Air matanya luruh dalam sekejap. Ia merasakan hancur. Kebersamaan dengan Juan yang terjalin hanya dua jam itu awalnya menjadi titik kebahagiaan dan menggantikan luka di hatinya. Namun, semuanya menjadi kacau kembali saat nama Radit memenuhi ruang sakit hatinya. Ariena tidak menyangka kalau jatuh cinta itu akan sesakit ini. Menerima kenyataan dan berdamai dengan takdir itu seberat ini. Sesak. "Arien? Kamu sudah pulang, Nak? Lho ... kamu kenapa?" Ariena segera bangun dan berhambur memeluk perempuan paruh baya yang masih terlihat kebingungan karenanya. "Ibu ..." sapanya, pedih. "Kamu kenapa, Nak? Pulang-pulang kenapa menangis seperti ini? Apa ada yang menyakiitmu? Cerita sama Ibu, sini ...." Ariena dituntun oleh wanita ringkih dalam balutan dress panjang dan lilitan syal rajut di lehernya. Kulit yang semakin memucat dan kerutan yang mulai terlihat nyata di bawah mata, membuat Ariena semakin sesak. Ibunya tengah sakit-sakitan, dan Ariena malah tidak bisa menjadi anak yang membanggakan. Ia kini mendudukkan torsonya di atas sofa minimalis berwarna abu-abu terang. Menatap sang ibu penuh kasih sayang. "Maaf, Bu. Aku baru pulang sekarang." "Semua baik-baik saja kan, Nak? Kenapa wajahmu tampak muram begitu? Bukannya semalam kata Gaisa kalian merayakan kelulusan bersama teman-teman sekolah lainnya. Seharusnya pulang dengan wajah bahagia, Nak. Kenapa jadi sedih begini?" "Tidak sedih kok, Bu. Aku hanya menangis bahagia. Aku merasa beruntung mempunyai Ibu dan ayah. Aku tidak sendirian." "Sendirian? Kamu ... Ya Tuhan. Berhenti berpikir seperti itu. Selama ini, Ibu dan ayah selalu mendukungmu, kan? Jadi berhenti merasa seolah-olah kamu tidak memilki keluarga. Kenapa pembicaraan kita jadi sensitif begini, Nak? Ah, lupakan tentang kesedihanmu. Karena kami di sini untukmu. Ibu dan ayah tidak akan meninggalkanmu sampai maut sendiri yang datang memisahkan." "Ibu ..." Ariena semakin berkaca-kaca mendengar penuturan ibunya. "Sudah, jangan bersedih lagi. Ibu dan ayah punya kejutan untukmu." "Kejutan?" Ariena mengerjap kebingungan. Sampai menyadari presensi lelaki paruh baya yang sangat disayanginya datang dengan sebuah cake besar di kedua tangan bertuliskan 'Happy Graduation our princess', yang membuat Ariena semakin remuk redam dalam rasa bersalahnya. "Kejutan ini rencananya tadi malam akan kami berikan. Tetapi ... menunggu sampai larut malam, kamu tidak pulang juga, Nak. Ayah dan Ibu khawatir. Namun, akhirnya tenang karena kamu bersama Gaisa semalam. Ayah sampai berpikir Radit yang membuatmu tidak bisa pulang. Pacarmu itu ... Ayah kurang menyukainya." Ariena seperti baru saja tertimpa tangga mendengar ucapan sang ayah. Seandainya kedua orang tuanya tahu bahwa yang mereka takutkan soal Radit itu benar adanya, lalu ... apa yang akan terjadi selanjutnya? *** To be continued ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN