Pernikahan Mendadak

1681 Kata
One week later .... Sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak Ariena akan menjalani skenario hidup serumit pun sememuakkan ini. Bagaimana tatapan penuh intimidasi itu terus berpusat padanya tanpa beranjak sama sekali. Tatapan yang sangat dibenci Ariena, meskipun dulunya pernah ia puja. Terlalu naif saat mendapati diri terjebak dalam permainan hidup penuh liku seperti ini. Ariena tidak mau bohong untuk berpura-pura kuat menghadang masalah yang menurutnya melelahkan sepanjang sejarah hidupnya—yang seolah dipermainkan tanpa henti. "Sayang, kenapa tidak dimakan makanannya? Apa perlu aku suapi, hmm?" Muak. Ariena sungguh muak berada di posisi terpojok tanpa bisa melepaskan diri. Ia bukannya tidak tahu, semua kalimat manis yang keluar dari birai plum kemerahan milik Radit hanyalah racun yang akan membunuhnya perlahan, menusuk sampai ke dasar hatinya yang telah teriris luka dalam sejak empat minggu lalu. Luka yang diukir Radit Aldynata, lelaki yang beberapa jam lalu resmi mengikat janji pernikahan dengannya. Ariena melirik kecil pada lelaki tampan dalam balutan tuxedo berwarna hitam yang masih setia menatapnya. Ia sebenarnya sudah tidak tahan untuk menampar Radit sekarang juga. Bukannya tidak ada etika. Akan tetapi, sikap Radit yang tiba-tiba berubah manis begitu keluarga besar Wiraguna dan Anggara berkumpul untuk makan malam mengitari meja makan mewah nan megah seperti saat ini, Ariena benar-benar muak. Padahal Ariena ingat, setengah jam lalu saat ia tengah berdua saja bersama suaminya itu, ia seperti dikuliti hidup-hidup. Radit tidak pernah berhenti menguar tatapan tajam kepadanya. Lalu kemudian semuanya berubah 180 derajat hanya karena tengah berada di hadapan orang tuanya dan juga pria paruh baya yang kini menjadi ayah mertuanya. Benar-benar duality mengerikan. Hidup Ariena memang tidak bisa ditebak. Saat berpikir hidupnya akan berjalan manis sesuai harapan sejak ia diterima di sekolah swasta prestisius Kota Jakarta milik keluarga Pratama—keluarga Juan Sandyaga, maka ia akan melewati perjalanan manis tanpa henti. Nyatanya tidak. Bahkan sekarang ia harus bisa ikhlas untuk meredam semua asa yang sudah terencana matang dalam skenario hidup yang dibuatnya. Ariena lupa jika skenario Tuhan akan selalu menang. Sekarang ia hanya bisa ikhlas dan pasrah menjalani ketentuan Tuhan. Menerima takdirnya yang sekarang. Menjadi istri dari Radit Aldynata dan menantu dari Satya Anggara. "Sayang, kenapa malah terus diam begitu? Makanannya dimakan dulu, biar anak kita kuat dan sehat di dalam sana," ucap Radit lagi sembari mengelus lembut perut rata Ariena. Seharusnya ia berdesir, atau paling tidak bisa merasakan bahagia di hari pernikahannya. Namun, mengingat semua perlakuan manis Radit itu hanyalah manipulasi di depan keluarganya, Ariena malah meluah, tidak suka. "Suamimu benar, Nak. Ayo dimakan dulu makanannya itu. Kamu perlu asupan untuk anakmu. Apa sekarang kamu merasa mual lagi?" Kavita, ibunda Ariena itu ikut bersuara saat melihat putrinya yang tidak bersemangat dengan hanya mengaduk-aduk makanan yang mengisi sepertiga piring keramik putih persegi tersebut. Termasuk jus jeruk yang menjadi minuman favoritnya itu tidak disentuh sama sekali. Ariena benar-benar kehilangan selera makan. Ia jadi tidak merasakan lapar sedikit pun. Padahal melewati prosesi pernikahan berjam-jam sebelumnya itu sungguh melelahkan. Siapa sangka kalau ayah mertuanya itu menyiapkan pesta megah sedemikian rupa di kediaman Anggara. Permintaan Ariena tempo hari untuk melangsungkan pernikahan sederhana itu ditolak mentah-mentah oleh pria paruh baya pemilik nama Satya Anggara tersebut. Meskipun acaranya berlangsung tertutup di kediaman Anggara seperti yang dikatakan sebelumnya, tetap saja, kolega dan kerabat yang diundang lebih kurang sebanyak 500 orang itu membuatnya kelelahan, dan berimbas pada selera makannya yang menghilang. "Ibu suapin, Nak? Tanya Kavita lagi saat Ariena masih terdiam. "Biar Radit saja, Bu." Radit kembali menimpali. Membuat ekor mata Ariena melirik jengah. Suapan yang diarahkan tiba-tiba kepadanya itu tidak mampu ditolaknya, Ariena terpaksa membuka mulut mungilnya itu untuk menerima suapan dari Radit. Kembali melirik kecil, ia mendapati sang suami tersenyum manis dengan netra menyipit ke arahnya. "Nah, begini harusnya. Kamu harus banyak makan. Bukan hanya untuk kamu, tetapi juga untuk anak kita." Radit menggenggam erat tangan ringkih Ariena yang tersampir di atas meja makan. Mendapat serangan mendadak yang tidak terantisipasi itu, kepala Ariena kembali berdenyut. Pusing seketika. Ia menarik tangannya dengan cepat. Merasa jijik dan trauma dengan sentuhan Radit Aldynata. Masih terbayang jelas bagaimana beberapa minggu lalu ia disentuh dengan kurang ajar oleh Radit di kelab. Ariena bergetar tiba-tiba. "Ayo buka mulutnya lagi, Arien. Aku akan menyuapimu lagi," pinta Radit, dengan suara lembut yang menurut Ariena adalah sebuah manipulasi yang dibangun di depan semua orang. Ia tidak bodoh untuk tidak menyadari semuanya. Bagaimana kilatan obsidian hitam legam itu terlihat menakutkan baginya. Radit Aldynata sepertinya sukses mengukir trauma di hati Ariena. "Tidak apa-apa, Kak. Aku makan sendiri saja," tegas Ariena kemudian. Ia akhirnya memaksakan diri untuk menghabiskan makanan di piringnya itu dengan cepat. Tidak mau terus larut dalam permainan memuakkan suaminya. Ia ingin segera pergi meninggalkan meja makan dan segera pulang bersama orang tuanya. Kembali ke kediaman sederhananya. Namun, lagi-lagi semua harapannya untuk pergi sirna. Suara bariton yang menguar tiba-tiba, membuat Ariena menegang dengan tangan menggantung memegang sendok dan garpu di atas piringnya. "Maaf, saya harus pergi ke bandara sekarang. Pesawat akan take off tiga puluh menit lagi. Lanjutkan makan malamnya ya. Saya sudah selesai." "Papa mau kemana lagi? Bukannya kemarin baru kembali dari Singapore? Malam ini mau kemana lagi?" Radit bertanya kepada sang ayah yang terlihat terburu-buru bangkit dari kursi megah yang belasan menit lalu memanjakan torsonya. "Papa ada pertemuan penting dengan direksi baru anak perusahaan kita di Korea Selatan, Radit. Ini tidak bisa ditunda. Pertemuannya tidak akan berjalan tanpa kehadiran Papa di sana. Kamu jaga istrimu baik-baik di rumah kita ya. Papa hanya seminggu di sana. Kalian bisa menghabiskan masa-masa honeymoon kalian di sini. Atau ... kalian mau honeymoon kemana? Biar Papa siapkan semuanya?" "Tidak usah, Pa. Papa pergi dan kembali dengan selamat saja itu sudah membuat Radit senang. Lagi pula, Ariena tengah hamil muda, kan? Jadi pasti akan kesusahan melakukan perjalanan jauh ke luar negeri. Tidak apa-apa, honeymoon di rumah saja juga tidak masalah. Iya kan, Sayang?" Ditanyai seperti itu oleh lelaki di sebelahny itu, Ariena hanya mengangguk kecil. Tidak berniat buka suara. Ariena sebenarnya tahu, jika selama ini hidup Radit itu benar-benar buruk dan menyedihkan. Bergelimang harta, namun tidak bahagia. Di rumah besar tiga lantai ini, Radit hanya tinggal berdua saja dengan ayahnya. Ibu kandung Radit diketahui sudah lama meninggal, sejak Radit duduk di bangku sekolah dasar. Kemudian ayahnya menikah lagi dengan ibu dari Calista, yang Ariena yakini merupakan kekasih Juan Sandyaga dan sama-sama kuliah di luar negeri bersama Juan. Lelaki yang sampai detik ini masih membuat hatinya menghangat dan berdesir hanya dengan mengingatnya. Sering ditinggal pergi oleh sang ayah untuk perjalanan bisnis seperti itu, sudah pasti membuat hidup Radit kesepian hingga berakhir wara-wiri di kelab malam. Berpesta dengan teman-temannya. Itu yang Ariena pikirkan sekarang. Kenapa ia mendadak iba? Rasanya ingin memeluk suaminya segera. Tidak. Ariena tahu itu bukanlah keinginannya, melainkan keinginan anak yang dikandungnya. Anak Radit Aldynata. "Ya sudah, Papa langsung berangkat saja ya. Oh ya, Nak Ariena. Mulai hari ini kamu tibggakdi sini ya. Rumah ini terlalu besar dan sepi jika Radit harus tinggal di kediaman keluarga Wiraguna. Apalagi jika seperti yang dikatakan Radit sebelumnya untuk kalian tinggal di apartemennya. Papa tidak setuju sama sekali. Memang lebih baik kalian tinggal di sini. Papa juga akan sering ke luar negeri mengurus bisnis. Jadi rumah ini dipastikan sepi jika tidak ada kalian. Calon cucu Papa juga pasti lebih nyaman tinggal di sini. Bagaimana, Nak Ariena?" "Ariena ikut Radit saja, Pa. Bagaimana baiknya." Ariena berucap pelan, tanpa berniat menatap Radit yang kini ia ketahui tengah menatapnya terang-terangan. "Okay kalau begitu. Saya tinggal ya, Pak Aiden, Bu Kavita. Dan ... Radit, Ariena, ingat permintaan papa. Tetap tinggal di sini. Papa pergi dulu. Permisi." Pria paruh baya bertubuh tegap yang masih memakai jas lengkap berwarna hitam itu, buru-buru pergi meninggalkan meja makan. Ariena menghembuskan napas perlahan. Sekarang ia akan benar-benar terjebak di dalam rumah sebesar ini bersama Radit. Kenapa Ariena tiba-tiba merasa tidak nyaman dan enak hati mengingat harus menjalani hari-harinya di sini. Tentu saja. Ariena merasa takut berpisah jauh dari kedua orang tuanya. Berat sekali. Apalagi ibunya yang tengah sakit-sakitan seperti sekarang. Meskipun ibunya sekarang tampil sangat cantik dan juga anggun dalam gaun pesta berwarna coklat nude-nya, Ariena tetap masih bisa melihat pun merasakan kalau keadaan ibunya tengah tidak baik-baik saja. Kelelahan. "Ibu dan Ayah malam ini menginap di sini saja ya. Jangan pulang dulu. Ini juga sudah malam. Ibu dan Ayah juga kelelahan, kan?" tutur Ariena begitu ia meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya sejak tadi di atas piring putih tersebut. Ia jadi kembali tidak berselera melanjutkan kegiatan mengunyahnya. "Ariena benar Bu, Yah. Kalian menginap saja di sini. Besok biar Radit antar Ibu dan Ayah kembali ke rumah. Bagaimana?" timpal Radit lagi dengan senyuman manisnya. "Tidak, Nak. Tidak apa-apa. Ayah dan Ibu pulang saja. Kalian yang harusnya banyak beristirahat. Tadi pasti sangat lelah menyapa tamu undangan, kan? Kami pulang sekarang. Terima kasih jamuannya, Nak Radit. Kami titip Ariena di sini ya. Tolong jaga dia sepenuh hati. Seperti kami menjaga dan mencintainya dengan seluruh hati kami." *** Ariena kini mengikuti Radit naik ke lantai dua, setelah mengantar kepergian orang tuanya di beranda sebelumnya. Ia berdebar saat Radit membuka daun pintu kamar minimalis bercat putih itu. Ada rasa takut pun mencekam yang ia rasakan. Terlebih, suaminya itu terus saja diam. Benar-benar berhenti berceloteh seperti saat sebelumnya ketika bersama kedua orang tuanya. Ia menjadi takut dengan sosok Radit yang penuh duality seperti sekarang. Menapaki kaki berbalut wedges heels hitam di atas lantai vinyl kamar, Ariena melongo seketika. Kamar Radit terlihat megah dan besar. Sepertinya empat kali lipat dari luas kamarnya. Ia pun terpukau melihat interior minimalis namun berkelas memenuhi kamar tersebut. Ariena kini terpaku menatap tempat tidur berbalut seprai satin berenda berwarna broken white, di mana kelopak mawar merah ditabur dengan bentuk hati di atasnya. Ia meremang seketika. Ingatan Ariena kembali berputar pada kejadian di kelab bersama Radit. Ia bergetar hebat. Langkahnya memberat seketika. Ada rasa takut yang kini menguasai hatinya. "Kenapa masih diam di sana?! Mendekat ke sini dan layani aku malam ini. Jadilah istri yang berguna." Perkataan Radit yang sudah naik satu oktaf itu menyentak rungu Ariena. Ia cukup terkejut mendapati suaminya itu tengah melepaskan satu persatu helaian benang yang menutupi tubuh atletisnya, tepat di hadapan Ariena. Ini mengerikan. Ariena ketakutan pun membeku di tempatnya. *** To be continued ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN