"Belinda?!" sapa Alan yang masih terkejut menyapa perempuan yang baru saja masuk tadi. Belinda yang tadinya fokus pada Elena, jadi menoleh ke arah Alan.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?!" tanya Alan mendekat pada Belinda.
"Aku datang karena ingin memberi kejutan untukmu. Tapi ternyata ... aku yang terkejut," kata Belinda dengan melirik ke arah Elena yang masih berdiri di sana.
Elena hanya diam saja dan tidak berbicara. Belinda melihat kenampakan Elena dari ujung rambut sampai kaki dengan tatapan sinisnya. Membuat Belinda merasa terganggu.
"Gadis ini cantik juga. Siapa dia?!" gumam Belinda dalam hati.
Elena nampak santai dan tidak terpengaruh. Ia justru seolah membalas tatapan Belinda dengan tenang. Elena tidak peduli, siapa perempuan yang bersama Alan itu? Urusannya di sini adalah ia ingin meminta pertanggung jawaban dari Alan.
"Alan? Siapa dia?" tanya Belinda yang tidak sabar.
"Dia sekertarisku," kata Alan pada Belinda.
"Aku pikir aku sudah dikeluarkan, Pak?" celetuk Elena yang membuat Alan semakin sakit kepala. Sedangkan Belinda, menautkan kedua alisnya heran.
"Elena! Keluarlah dulu. Aku harus berbicara dengan tunanganku!" pinta Alan pada Elena.
"Pikirkan baik-baik, Pak! Saya akan keluar dengan segera, asalkan Pak Alan menyanggupi permintaan saya sebelumnya. Kalau Pak Alan setuju, maka saya akan keluar sekarang juga. Tapi, kalau Pak Alan masih menolak, terpaksa saya akan memintanya sekali lagi di sini!"
Alan melebarkan kedua matanya mendengar ungkapan Elena tersebut. Sial! Elena benar-benar pintar bersilat lidah! Ia bahkan berani mengancam Alan. Alan benar-benar tidak beruntung karena Belinda, datang di waktu yang sangat tidak tepat!
Alan yang masih hening, di dalam kepalanya amat kacau. Ia sangat panik, namun ia tidak boleh menunjukkannya di depan Belinda. Kala itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain menuruti kemauan Elena.
"Ya. Tentu saja aku setuju dengan permintaanmu. Sekarang keluarlah dan kita bisa bicara lain kali," pinta Alan dengan berakting tenang. Padahal, ia merasa seperti setengah ingin meledak.
Mendengar Alan, jujur Elena setengah terkejut. Namun, Elena merasa puas karena rencananya berhasil. Sehingga, Elena juga akan diam dan menerima perintah Alan untuk keluar.
Elena kemudian keluar dari kantor. Membuat Alan setengah lega melihatnya. Setelah Elena tidak ada di dalam, Belinda segera melirik tajam ke arah Alan.
"Siapa dia, Alan?" Belinda mengulangi pertanyaannya lagi untuk memastikan.
"Aku sudah bilang, dia adalah sekertarisku."
"Mana ada sekertaris yang memakai baju santai seperti itu di kantor?"
"Dia sudah aku pecat sebelumnya. Tapi, sekarang dia datang kembali untuk sebuah kompensasi."
"Kompensasi apa yang dia minta?"
"Dia ... meminta ganti rugi, atas kesalahan yang dulu pernah aku buat."
"Kamu yakin dia tidak menipumu?!"
"Tentu saja tidak. Aku ingat betul, dulu aku pernah berbuat salah. Jadi, sekarang aku harus menggantinya."
"Itu urusan pekerjaan, kan?!" .
"Y ... ya! Tentu saja! Kamu pikir soal apa lagi?" jelas Alan. Untung saja, Alan bisa menjawab pertanyaan Belinda dengan cepat dan tanpa ketahuan, meski terlihat tidak tenang.
"Toh dari awal memang aku yang salah. Jadi, aku memutuskan untuk memberinya kompensasi itu," kata Alan lagi yang sudah kelihatan lebih tenang.
Belinda masih mengkerucutkan bibirnya. Ia masih merasa tidak terima. Belinda rasa, Elena tadi mencoba menyaingi dirinya. Membuatnya kesal.
"Tapi kamu sudah memecatnya, kan?!" tanya Belinda.
"Ya. Dia sudah tidak bekerja di sini lagi."
"Oh iya! Aku sampai lupa menyambutmu," ujar Alan yang segera mengganti topik pembicaraan. Selamat datang dari luar negeri. Kamu, pasti lelah setelah terbang dari Singapura, kan?"
Alan dengan membentangkan kedua tangannya lebar-lebar bermaksud untuk memeluk Belinda. Alan memasang wajah tenang dan tersenyum damai. Belinda pun akhirnya bisa tersenyum dan melupakan kesalnya, lalu ia memeluk Alan.
Setelah Belinda berada di pelukan Alan, wajah Alan yang tadinya tenang berubah setengah pias lagi. Jantungnya berdebar amat kencang. Untung saja, ia bisa lepas dari semua ini, meski ia merasa berada di ujung tombak.
"Aku merindukanmu," kata Belinda di dalam pelukan Alan.
"Yah. Aku juga merindukanmu," jawab Alan mengusap kepala Belinda. Alan harus terlihat bahagia dengan kedatangan Belinda.
"Kamu masih belum menjawabku. Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini? Aku pikir, kamu sibuk syuting, bukan?" tanya Alan. Belinda segera melepaskan pelukannya dari Alan.
"Alan. Aku ke sini karena mengkhawatirkanmu."
"Aku? Kenapa?"
"Kenapa?" ulang Belinda. "Bukankah waktu itu kamu sangat marah padaku? Soal rumor yang mengabarkanku kalau aku dekat dengan seorang aktor?" tanya Belinda.
Alan terdiam sesaat. Ya. Karena hal itulah yang membuat Alan lumayan stres dan melarikan diri dengan minum-minum malam itu. Karena hal itu juga yang membuat Alan jadi lepas kontrol dan akhirnya meluapkan emosinya pada Elena.
Wajah Alan segera berubah menjadi datar. Jika mengingat hal itu, ia sangat-sangat menyesal. Namun, apa boleh buat? Saat ini, nasi sudah menjadi bubur. Belinda menautkan kedua alisnya melihat Alan.
"Alan? Kenapa kamu jadi diam? Apa kamu masih benar-benar marah padaku?"
"Tidak," jawab Alan singkat.
"Kalau tidak, kenapa kamu jadi berekspresi dingin seperti itu?"
Alan masih tidak menjawab. Sejujurnya Alan memang merasa terusik dengan gosip yang beredar soal Belinda. Namun, saat ini ia fokus pada masalahnya dengan Elena. Apa lagi, Elena memintanya untuk menikahinya?
"Alan?!" Belinda menggoncangkan tubuh Alan. Membuat Alan terhenyak sesaat. "Katakanlah sesuatu! Kenapa kamu terus saja diam?!"
"Aku hanya banyak pikiran. Banyak deadline yang harus aku kejar pada pekerjaanku," jawab Alan terdengar lemas.
"Kalau begitu, apa kamu sudah tidak marah lagi padaku?"
"Tidak."
"Benarkah kamu sudah tidak marah lagi?!" tanya Belinda yang nampak senang. Alan jadi menoleh ke arahnya.
"Apa ... kamu datang ke sini hanya untuk mengatakan itu padaku?"
"Tentu saja! Aku tidak ingin kamu marah. Aku juga tidak mau kamu salah paham. Aku rela datang menemuimu untuk menjelaskannya padamu. Sekarang, kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu, kan?"
"Sejujurnya, itu tidak membuktikan apapun!"
"Jadi kamu masih marah?"
"Jadi, kamu tidak keberatan jika digosipkan dengan aktor itu?!" tanya Alan sekali lagi untuk memastikan.
"Alan. Aku dan aktor itu masih ada case bersama. Jadi, kami harus menjaga hati para penonton agar mereka tetap memihak pada kami," rayu Belinda. "Tolong mengertilah. Apa kamu tidak percaya padaku? Bukankah katamu kamu akan selalu mendukung karirku?" tanya Belinda dengan nada manja sembari menggoncangkan lengan Alan.
Alan terdiam kembali berpikir. Alan pun akhirnya menghela nafas beratnya.
"Baiklah," ucap Alan dengan terpaksa.
"Jadi, bagaimana? Kamu masih marah atau tidak? Kalau kamu masih marah juga, aku tetap akan berada di sini sampai kamu tidak marah!" ujar Belinda dengan menghentakkan salah satu kakinya.
"Tidak," ucap Alan. Membuat Belinda menoleh ke arahnya dengan cepat!
"Benarkah?!"
"Ya. Sekarang, fokuslah pada karirmu. Aku akan tetap mendukungmu."
"Terima kasih, Sayang! Kamu benar-benar yang terbaik!" seru Belinda sembari memeluk Alan.
Untuk saat ini, masalah dengan Belinda bisa tertangani. Alan melihat ke arah luar pintu kantor. Sekarang, saatnya ia mengurus permasalahannya dengan Elena.
***
"Bacalah dulu baik-baik!"
Alan melempar selembar map berisi secarik kertas di dalamnya. Ia melemparnya tepat di depan Elena yang duduk di hadapannya. Membuat Elena menautkan kedua alisnya heran.
"Apa ini, Pak?"
"Aku akan menuruti permintaanmu. Aku, akan menikahimu. Karena aku akui, akulah yang memulai melakukan kesalahan itu. Tapi, tentu saja aku juga memiliki syarat."
Elena mengambil map yang masih tertutup tersebut. Ia membuka dan membacanya. Di sana, tertulis sebuah perjanjian kontrak yang baru dibuat oleh Alan.
"Itu adalah kontrak perjanjian tertulis bagi kita. Aku akan menikahimu, tapi pernikahan ini tidak akan diketahui oleh siapapun. Termasuk ayahku. Dan juga, aku akan menjadi suamimu, hanya sampai bayi itu lahir!" tegas Alan.
Elena membaca surat kontrak yang dibuat Alan tersebut. Di sana, semua yang Alan katakan padanya, tertulis di surat kontrak perjanjian pernikahan itu. Elena pun paham dengan syarat yang diajukan Alan.
"Kalau seandainya salah satu dari kita tidak menepati perjanjian ini, apa akibatnya?" tanya Elena.
"Hukum yang bertindak!" tegas Alan.
Elena awalnya nampak ragu. Namun, beberapa saat setelah ia berpikir, kenapa ia harus takut? Bukankah ini justru terdengar bagus? Itu artinya, Alan benar-benar tidak akan lari dari tanggung jawabnya.
"Setelah menikah, kamu akan tinggal di rumahku!" kata Alan lagi yang membuyarkan lamunan Elena. "Aku hanya tinggal sendirian dengan satu pembantuku. Jangan khawatir, aku akan menjelaskan padanya untuk tidak menyebar luaskan soal ini," jelas Alan.
Elena kembali berpikir. Itu juga bukan ide yang buruk. Ia tidak bisa kembali ke apartemennya dengan perut buncit. Tetangganya pasti akan menilai sebagai gadis yang tidak baik, karena hamil dulu sebelum menikah.
Tentu saja ia juga tidak bisa kembali ke kampung halamannya, karena akan menjadi gunjingan di sana. Jika ia berada di rumah Alan, pasti ia bisa bersembunyi dari orang-orang. Bukankah lebih baik kalau ia menikah dan menghilang sejenak?
"Aku pertegas lagi! Aku menikahimu hanya sampai bayi ini lahir!" kata Alan yang membuat Elena kembali fokus.
"Ya. Aku tahu!" jawab Elena datar.
"Huh! Lagi pula, siapa juga yang ingin menikahi orang dingin sepertimu! Hanya sampai bayi dalam kandungan ini lahir, Elena! Setelah itu, aku harus segera pergi menjauh darinya!" gerutu Elena sembari mendatangani surat perjanjian kontrak tersebut.