"Satria? Masuklah!" pinta Alan.
Satria pun masuk dan kembali menutup pintu. Ia berjalan mendekat ke arah Alan dengan membawa beberapa dokumen di tangannya. Ia memberikan dokumen tersebut pada Alan.
"Ini, dokumen yang Anda minta, Pak," kata Satria.
"Lima menit lagi ambil kembali setelah aku periksa."
"Baik, Pak."
Satria lalu kembali membalikkan badannya. Namun, setengah detik kemudian ia terhenti dan tidak jadi berjalan. Ia kembali melihat ke arah Alan. Membuat Alan melihatnya lagi.
"Ada apa lagi?" tanya Alan.
"Maaf, Pak. Saya ingin memberitahu kalau besok saya ingin mengajukan cuti selama beberapa hari."
"Cuti? Untuk apa?"
"Ayah saya sakit, Pak."
"Kapan kau akan kembali?"
"Saya, tidak tahu, Pak. Tidak ada yang merawat ayah saya di rumah sakit sekarang," jawab Satria. Alan pun terdiam untuk berpikir.
"Maaf, Pak. Kenapa Pak Alan tidak mencari sekertaris baru saja setelah Elena keluar?" tanya Satria yang membuat Alan terhenyak.
"Pasti bisa membantu pekerjaan Pak Alan. Karena sejak satu bulan setelah Elena keluar, pak Alan kelihatan sangat kewalahan."
Alan terkejut mendengar pernyataan Satria, asistennya itu. Tentu saja, masih menjadi teka-teki bagi karyawan lain apa alasan Elena keluar? Elena merupakan sekertaris Alan yang amat cekatan.
Waktu itu, Elena keluar tanpa berpamitan dan menghilang begitu saja. Sedangkan yang tahu pasti alasannya hanyalah Alan dan Elena berdua saja.
"Pak?" panggil Satria pada Alan yang hanya diam setengah berpikir. Membuat Alan terhenyak dan kembali menoleh ke arah Satria.
"Ambillah cuti. Sekarang keluarlah!" pinta Alan. Mendengar ungkapan Alan, Seketika Satria segera memasang wajah cerahnya.
"Terima kasih banyak, Pak!" Satria menundukkan kepalanya sambil membungkuk dengan senang.
"Lima menit lagi, saya akan mengambil kembali dokumennya! Sekarang, saya ijin keluar dulu!" tambah satria lagi.
Setelah itu, Satria kembali berjalan keluar kantor. Begitu Satria keluar, Alan membanting salah satu dokumen yang dipegangnya ke atas meja kerjanya. Ia selalu merasa emosi jika teringat soal Elena.
Sejak Elena keluar, Alan memang sengaja tidak merekrut sekertaris baru. Ia masih memiliki rasa trauma dengan kesalahan yang diperbuatnya malam itu. Sehingga, ia memperkerjakan Satria, yang awalnya mengurusi para staff, menjadi asistennya.
Sejujurnya, Alan juga frustasi kalau teringat soal Elena. Alan masih merasa bersalah. Namun, ia tidak tahu harus berbuat apa? Meskipun sudah satu bulan lamanya, Alan masih berkutat dengan kejadian malam yang menyesakkan itu.
Tiba-tiba, suara pintu kembali terdengar. Membuyarkan pikiran Alan tentang Elena sekejap. Alan tidak sadar jika ia sudah merenung selama lima menit. Karena tadi, setelah lima menit ia menyuruh Satria kembali untuk mengambil dokumennya.
Alan pun segera kembali memegang dokumen dan melihat untuk memeriksanya. Ia harus kelihatan fokus bekerja saat Satria kembali. Alan harus cepat memeriksa karena dokumennya akan dibawa Satria lagi.
"Masuk!" pinta Alan.
Terdengar suara langkah kaki yang masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan Alan, masih terus menatap dokumennya dan tidak melihat Satria masuk. Ia harus segera menandatangani dokumen itu.
"Tunggulah sebentar lagi. Aku akan segera selesai memeriksanya," kata Alan pada Satria yang dirasa Alan sudah berdiri di dekatnya.
"Selamat pagi, Pak Alan."
Alan terkejut begitu mendengar suara orang yang berdiri di dekatnya tersebut. Itu bukan suara Satria. Melainkan suara seorang perempuan. Bahkan, Alan masih hafal betul siapa pemilik suara tersebut.
Alan perlahan mengangkat kepalanya dan melihat ke arah depan. Betapa terkejutnya Alan setelah tahu betul siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya?! Pemilik suara itu adalah Elena!
Padahal baru saja Alan merasa stres karena tidak ingin mengingatnya. Namun, sekarang Elena berdiri tepat di hadapannya. Membuat Alan seketika kesusahan bernafas.
"Ka ... kamu?! Kenapa kamu bisa ada di sini?!" tanya Alan.
"Saya ke sini untuk menemui Pak Alan."
Alan pun berdiri perlahan. Antara percaya tidak percaya jika Elena ada di hadapannya. Ia melihat mata Elena yang terlihat menakutkan. Seperti sedang memendam banyak sekali kebencian untuknya.
"Aku sudah bilang, jangan pernah menemuiku lagi!" ujar Alan.
"Awalnya aku juga berpikir begitu. Aku selalu berharap tidak akan pernah bertemu dengan Pak Alan lagi. Bahkan jika itu melewati mimpi. Aku ingin Pak Alan menghilang dari hidupku!"
"Lalu kenapa kamu ke sini?"
"Kembalikan kehormatanku," kata Elena dengan masih memberikan nada tenang saat berbicara.
Alan menghela nafas beratnya. Ia memegangi kepalanya yang mendadak terasa amat berat. Berharap, ingin menghilang dari peredaran ini.
"Elena! Kamu gila, ya?! Itu sudah kejadian satu bulan yang lalu! Kenapa kamu mengungkitnya sekarang?!"
"Apa Pak Alan tidak pernah berpikir betapa tersiksanya aku setelah kejadian itu?"
"Jangan bercanda! Kamu sendiri juga menikmatinya, kan?!" ujar Alan kesal. Elena mendengus kasar tidak habis pikir.
"Jangan menyamakanku dengan Pak Alan."
"Jangan berbelit-belit! Sekarang apa yang ingin kamu katakan?!" bentak Alan.
Elena mengepalkan tangannya erat-erat. Sejujurnya ia sendiri juga berat ingin mengatakannya. Dengan menyiapkan hati, ia tetap akan mengatakan hal ini pada mantan bosnya.
"Aku mengandung anak Pak Alan!" kata Elena. Mendengar hal itu, jantung Alan seolah terasa hampir meledak.
"Apa katamu?" tanya Alan yang masih tidak percaya.
"Karena Pak Alan. Kehidupanku hancur."
"Kamu jangan asal bicara, ya!"
"Aku tidak akan berkata begini kalau aku tidak hamil anak Pak Alan!"
"Kenapa kamu bisa ... jadi, kamu menjebakku?!" seru Alan tidak sadar meninggikan kalimatnya.
"Pak Alan lah yang menjebakku!" Elena pun tidak mau kalah dengan teriakannya.
Alan menghela nafas panjangnya. Mendadak kepalanya terasa amat berat. Ia memijat pelipisnya sambil memejamkan matanya. Jika ia terus bertengkar di kantor, maka akan terdengar oleh karyawan lainnya.
"Sekarang kita selesaikan masalah ini sekarang juga," ungkap Alan. "Katakan, berapa yang kamu mau?"
"Masalahnya ini bukan soal uang, Pak! Setelah malam itu, Pak Alan bisa bebas dan bertindak seperti tidak ada yang terjadi. Tapi aku?! Perutku akan membuncit! Dan aku tidak bisa menjelaskan pada keluargaku siapa ayah dari anak ini?!"
"Jadi apa maumu?!"
"Aku ingin, Pak Alan bertanggung jawab dengan menikahiku, agar anak ini nanti memiliki seorang ayah!" pinta Elena dengan tegas.
"Kamu, ingin memerasku?"
"Katakan saja, aku ingin membalas dendam. Kalau Pak Alan tidak mau, aku akan membocorkan pada seluruh karyawan Pak Alan, kalau Pak Alan sudah mengambil kesucianku dan bahkan menghamiliku!" ancam Elena.
Alan masih terdiam tercekat tidak bisa berbuat apapun. Ia bahkan tidak tahu harus bilang apa? Tiba-tiba, pintu kantor terbuka dari luar. Ada orang yang membukanya. Membuat Alan dan Elena melihatnya. Ada seorang perempuan masuk ke dalam kantor Alan.
"Alan, Sayang! Tunanganmu datang!" seru perempuan itu dengan wajah sumringahnya. Alan pun terkejut setengah mati.
Namun, begitu perempuan itu masuk dan melihat ada Elena di dalam, perempuan tadi jadi memudarkan senyumannya. Ia bingung dan bertanya-tanya, siapa Elena ini? Kenapa ada seorang gadis tidak memakai baju kerja, berada di kantor Alan pada jam kerja?!