Elena sedang duduk di sofa ruang tamu dengan melihat ponselnya. Ia mencari informasi tentang siklus kehamilan. Elena tahu jika ia sedang hamil di trimester pertama.
Pada tiga bulan awal, tubuh akan mengalami adaptasi. Biasanya sering terjadi morning sicknes, badan merasa tidak nyaman dan kadang mual-mual. Itulah yang dialami Elena sekarang. Elena pun menghela nafas beratnya, merasa tidak enak pada tubuhnya.
"Sudah baikan, Non?"
Tiba-tiba, suara bi Siti muncul di sebelah Elena. Elena segera menoleh ke arah sampingnya. Bi Siti sedang berjalan ke arahnya dengan membawa buah-buahan.
"Sudah, Bi. Lumayan," jawab Elena.
"Ini, Non. Silahkan dimakan."
"Jangan repot-repot, Bi. Aku nanti bisa ambil sendiri di dapur."
"Tidak apa-apa, Non. Lagi pula, ini juga termasuk tugas saya," kata Bu Siti.
Elena jadi terharu melihat kebaikan bi Siti. Elena berpikir, andai ibu kandungnya masih hidup. Pasti ibunya juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bi Siti.
Bi Siti pembantu yang sangat sabar sekali. Tapi, kalau Alan mengetahui ini, pasti dia sangat marah besar. Elena paham maksud Alan yang melarang bi Siti untuk melayaninya. Membuat Elena sendiri kesal jika mengingatnya.
"Ayo, dimakan buahnya Non!"
"Iya, Bi," jawab Elena menganggukkan kepala dengan senang hati. Elena mengambil sebuah strawberry dan mulai menikmatinya.
"Wah! Strawberry ini manis sekali?!" seru Elena.
"Syukur kalau Non Elena suka."
"Eh, Bi! Tapi kalau nanti pak Alan tahu, bagaimana? Apa dia tidak marah?"
"Jangan khawatir, Non. Tuan sendiri bilang kalau Non Elena butuh sesuatu, tinggal bilang saja ke Bibi."
"Kalau begitu, terima kasih, Bi." Elena pun menerima jawaban itu dan melanjutkan memakan buah.
"Hamil muda itu ya memang seperti itu, Non," kata bi Siti lagi. Membuat Elena menoleh ke arah Bi Siti.
"Oh iya! Bi Siti, pasti pernah hamil juga. Bagaimana pengalaman Bi Siti dulu?"
"Hampir sama Non. Bi Siti sering mual muntah. Badan gak enak semua rasanya. Mintanya yang aneh-aneh. Untung suami Bibi perhatian. Bi Siti pernah ngidam mangga saat tidak musimnya, dia mencarikan sampai dapat," jelas bi Siti.
Mendengar hal itu, membuat Elena jadi sedih. Saat ini, ia memiliki suami, tapi sama sekali tidak mau tahu dan tidak peduli padanya. Meski Alan mencukupi semua kebutuhannya, tetap saja Elena merasa bukan itu yang dibutuhkan.
Meski sebenarnya, Elena sendiri tidak akan pernah menyukai Alan, tetap saja ia merasa tidak bahagia. Rupanya, hidup itu memang tidak melulu soal materi.
"Oh iya, Non? Memangnya Non Elena sudah usia berapa kehamilannya?" tanya Bi Siti lagi yang membuat Elena mengembalikan fokus Elena.
Elena diam dan tidak menjawab pertanyaan bi Siti. Ia justru menundukkan setengah kepalanya dan terlihat murung. Ia jadi ingat, kalau ia sama sekali belum periksa soal kehamilannya.
Tentu saja alasan Elena enggan memeriksakan kandungannya, karena ia merasa malu. Dulu, setelah ia mengetahui ia hamil dengan tes kehamilan, Elena syok. Andai ia tidak memiliki hati nurani, ia pasti sudah menggugurkan bayi dalam kandungannya itu.
Belum sempat Elena mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba dari arah halaman terdengar suara mobil. Elena dan bi Siti yang ada di sofa pun jadi menengok ke arah jendela kaca. Ada mobil Alan yang kembali lagi ke rumah. Menghentikan percakapan Elena dan bi Siti.
"Loh! Memangnya Pak Alan sudah pulang jam segini, Bi?" tanya Elena.
"Belum, Non. Biasanya dia pulang untuk mengambil sesuatu, setelah itu kembali lagi ke kantor."
Elena mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Elena dan bi Siti melihat Alan keluar dari dalam mobilnya. Tidak lama, ada seorang lagi yang keluar bersama Alan. Seorang laki-laki teman Alan.
Elena pun terhenyak melihatnya. Ternyata Alan membawa orang lain! Ia harus cepat-cepat sembunyi dari sini, agar tidak ketahuan teman Alan itu!
"Aduh, Bi! Aku harus cepat-cepat masuk kamar!" seru Elena.
"Iya ... iya, Non!"
Elena segera berdiri dari sofa. Namun, begitu berdiri dengan cepat, ia langsung saja merasa sangat pusing. Kakinya tiba-tiba lemas. Bi Siti yang juga menyadarinya, segera mendekat kembali ke arah Elena.
"Nona tidak apa-apa?" tanya Bi Siti cemas.
Elena tidak menjawab dan hanya memegangi kepalanya yang mendadak merasa sangat berat. Jangankan mau melangkah, berdiri tegap saja, Elena kesusahan. Sehingga ia kembali duduk di sofa.
Bertepatan dengan itu, Alan dan temannya sudah terlanjur masuk ke dalam rumah. Tentu saja, Alan dan teman laki-lakinya sangat terkejut mendapati Elena duduk di sofa ruang tamu. Bahkan, Alan sendiri lupa kalau di rumahnya ada Elena.
"Siapa dia, Lan?" tanya teman laki-laki Alan. Alan bergeming sesaat.
Alan pun bingung menjawabnya. Tidak mungkin kalau Alan bilang Elena adalah istri kontraknya. Sedangkan Elena masih lemas duduk di sofa dan hanya bisa melihat mereka tanpa mengatakan apapun.
"Dia ... sepupuku," jawab Alan bisa beralasan dengan cepat. Elena yang mendengarnya itu pun, jadi ikut lega. Ia harap, semoga teman Alan percaya.
"Wah! Aku baru tahu kalau kau punya sepupu yang sangat cantik?"
"Elena! Apa yang kamu lakukan di sini?!" tanya Alan dengan nada datar.
"Non Elena tiba-tiba pusing, Tuan," jawab bi Siti yang mewakili Elena.
"Apa dia sedang sakit? Dia terlihat pucat," kata teman Alan lagi. Alan lalu menoleh ke arah temannya.
"Ayo! Kita masuk ke ruangan kerjaku saja!" ajak Alan.
"Baiklah!" Teman Alan nampak setuju.
Teman Alan pun berjalan ke arah kamar Alan. Sedangkan Alan, tetap berdiri di tempatnya. Alan melihat ke arah Elena dengan tatapan dingin yang tajam. Membuat Elena jadi merasa setengah ketakutan dibuatnya.
***
Elena duduk lemas di atas ranjang dalam kamarnya. Setelah Alan dan temanya masuk ke ruang kerja Alan tadi, ia berhasil dituntun bi Siti masuk kembali ke kamarnya. Ada sekitar lima belas menit Elena beristirahat dalam kamarnya.
Saat ini, sepertinya rasa pusingnya sudah tidak separah tadi. Ia pun mengambil ponsel dan melihat layarnya sambil mengusap layarnya.
Tidak lama, Elena mendengar suara deru mobil dari arah luar. Elena pikir, pasti Alan sudah kembali lagi ke kantor. Membuat Elena lega. Untung tadi Alan langsung menjawab pada teman Alan kalau ia adalah sepupunya.
Tiba-tiba, pintu kamar Elena terbuka dari luar dengan sangat kencang. Alan lah yang baru saja membuka pintu kamar Elena tersebut. Membuat Elena terkejut dibuatnya. Bukankah tadi Alan sudah pergi?
"Apa yang kamu lakukan?!" bentak Alan pada Elena.
Alan berjalan masuk dengan tatapan kemarahan. Membuat Elena bingung dan ketakutan. Sehingga membuatnya terdiam. Alan berjalan mendekat ke arah Elena.
"Apa kamu tidak bisa mengerti kalimatku tadi pagi?!"
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Aku sudah memperingatkanmu! Jangan pernah keluar kamar kalau ada orang datang! Kenapa kamu malah keluar?!"
"Tadi, aku ingin ke kamar, tapi kepalaku pusing. Jadi, aku tertahan di sofa."
"Kamu memang sengaja, kan?!" tuduh Alan sambil menunjuk Elena. Elena tidak habis pikir. Bahkan Alan tidak mau mendengar kalimat darinya.
"Jangan seenaknya menuduhku seperti itu!"
"Oh, iya! Kamu memang berniat balas dendam padaku, kan?! Jadi kamu sengaja memperlihatkan dirimu di depan temanku, kan?!"
"Aku tidak —,"
"Aku pikir kamu perempuan yang baik. Tapi ternyata kamu selicik ini!" potong Alan yang membuat Elena tercekat mendengarnya.
"Ingat! Kontrak perjanjian itu ada! Kalau sekali lagi kamu melanggar perjanjiannya, maka kamu juga harus menerima konsekuensinya!"
Setelah mengatakan hal itu, Alan berbalik dari Elena. Ia berjalan keluar dan membanting kembali pintu kamar Elena dengan amat kencang. Lebih kencang dari sebelumnya.
Elena sangat terkejut dibuatnya. Elena tidak habis pikir. Bahkan, ia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Alan! Membuat Elena sendiri juga sangat kesal dan marah.
"Baiklah! Lihat saja! Aku tidak akan keluar kamar selama kamu di rumah!" gerutu Elena menahan emosinya.