Part 1

1667 Kata
Ada satu hal yang paling menyeramkan di dunia ini. Bukan cinta, bukan patah hati, apagi hantu. Tapi waktu. Karena waktu yang berlalu tidak dapat hadir kembali, seperti cinta, patah hati, apalagi hantu. -Proses Move On-   Seperti kata pepatah, ‘Tidak ada asap, kalau tidak ada api’. Yang dimaksud adalah, tidak ada akibat, jika tidak ada sebab. Sama seperti yang kupandang saat ini, Ghea yang masih berusaha sabar untuk mengabaikan Reza yang terus mengganggunya. Tingkah jahil Reza adalah api. Sedangkan amarah Ghea yang masih samar terlihat adalah asapnya. Silahkan tunggu lima menit kemudian jika ingin melihat asap tersebut. Aku sudah terlalu sering melihat asap dan terlalu muak untuk menunggu. Jadi sekian saja. Aku menutup buku biologi yang sedang k****a kemudian memasukkannya ke dalam tas dan beranjak dari kursi tepat berada di belakang kursi Ghea. Ada hal yang lebih penting dari sekedar menyaksikan perjuangan aneh ala kadarnya Reza untuk mendapatkan hati Ghea yang jelas-jelas sudah menolaknya terang-terangan. Reza adalah salah satu manusia dari sekian banyak manusia yang ‘katanya’ dalam proses ‘move on’ sekaligus cari vitamin. Entahlah apa maksudnya. Aku terlalu sibuk untuk mencerna makna itu. Dua belokan lagi aku akan sampai pada tempat tujuanku dan sudah kupastikan Cinta—sahabatku—sedang menungguku di sana dengan wajah cemberutnya. “Kenapa gak besok aja datengnya?” ketus Cinta saat aku sudah duduk di depannya. Aku hanya tertawa ringan dan menyeruput minumannya yang sudah setengah. “Tadi tuh belajar biologi dulu, Ta. Kan bentar lagi UN.” Cinta hanya mendengus kesal kemudian pergi mengambil pesananan makanan untuk kami yang telah dipesannya lebih dulu. Tadi memang aku sedang belajar biologi dengan Ghea sebelum Rama datang dan mengganggu. Ada beberapa tipe orang yang ‘katanya’ sedang dalam proses move on disekitarku. Salah satu tipenya adalah Rama seperti yang kujelaskan di atas tadi. Ada lagi, Fathan. Fathan adalah spesies makhluk yang juga sedang dalam tahap move on. Berbeda dengan Reza yang jelas-jelas mencoba membenci Ghea dengan menjahilinya, tipe seperti Fathan adalah tipe yang mencoba untuk sebisa mungkin tak bertemu dengan gadis yang diincarnya yang tak lain tak bukan adalah sahabatku sendiri, Cinta. “Woy, Than!” seruku yang dibalas dengusan Fathan. Namun begitu, ia tetap menghampiriku dan kini duduk di depanku. “Tumben, lo, mau kesini. Ada Cinta kalau lo belum tahu,” kataku. “Iya gue tahu.” Jawaban Fathan membuatku menyipitkan mataku mencoba membaca lebih dalam jawaban yang keluar dari mulutnya itu. Sudah kubilang bukan, bahwa tipe move on ala Fathan adalah dengan cara menghindar. Awalnya aku cukup terkejut menangkap kehadiran Fathan di kantin ini. Padahal yang kutahu, sudah lebih dari satu semester Fathan tidak menginjakkan kakinya di kantin saat istirahat tiba karena tentu saja ada Cinta di dalamnya. Lalu semakin terkejut saat Fathan mau menghampiriku yang jelas-jelas sedang bersama Cinta. “Gue udah move on kali,” ujarnya sombong sembari melipat tangan di depan d**a. “Lo kapan?” tambahnya. Aku mendengus kesal. s**l sekali memang makhluk satu ini. Ah, ya, aku lupa memberi tahu satu tipe lagi. Manusia itu adalah, aku. Hanya beberapa orang di sekolah ini yang tahu bahwa hatiku rapuh seperti bulu. Faktanya, sudah hampir tiga tahun aku dalam proses melupakan seseorang dan sampai kini belum ada hasilnya sama sekali. Beruntung sekali Fathan yang hanya perlu waktu enam bulan untuk move on. “Melupakan seseorang itu rasanya emang susah banget, Liv. Gue ngerti apa yang lo alami selama ini. tapi sepertinya gue lebih beruntung cuman suka sama sahabat lo selama lima tahun dan berakhir move on selama enam bulan. Selamat menikmati aja ya, Liv. Hahahaha!” Fathan tertawa setan di akhir celotehan tak bermutunya dan segera beranjak saat Cinta datang dan meletakan dua porsi siomay ke atas meja. “Itu.. Fathan?” tanya Cinta ragu. “Hm.. si setan udah move on dari lo, katanya,” jawabku sembari menyuap siomay. “Syukurlah.” Cinta tersenyum tulus. “Eh, Henry nge-chat gue semalam. Katanya lo gak bisa dihubungi. Lo mau putus sama dia?” Aku terdiam dan mengabaikan Cinta yang sepertinya sudah tahu apa yang akan aku jawab. Sebulan yang lalu Henry menyatakan perasaannya kepadaku dan aku menerimanya. Henry adalah laki-laki keturunan Kadana yang merupakan murid baru di sekolahku. Katanya, ia sudah menyukaiku sejak kepindahannya kesini. Jujur, Henry adalah laki-laki yang baik dan pengertian. Ia juga menyayangiku dengan tulus. Aku dapat merasakan itu. Ingin rasanya aku menentukan pada siapa hatiku jatuh. Aku tak akan berkelok-kelok lagi dan pasti akan langsung memilih Henry. Sayangnya, hati ini sudah jauh mengikuti tetangga s****n yang kucintai selama 17 tahun hidupku. Walau aku tahu, hatiku sudah ditendangnya jauh-jauh dari kehidupannya. Bukan hanya hatiku, tapi juga diriku. Ya, memang menyedihkan ditambah kini aku masih mencintainya. Tapi nyatanya aku tak bisa mengendalikan hatiku sendiri. Tadi malam tepatnya, saat aku kembali terdiam di depan meja belajarku dan menatap dia yang memetik gitarnya di taman rumahnya. Aku meresapi setiap nada yang keluar juga suaranya yang selalu membiusku. Selalu menyadarkanku bahwa aku akan selalu jatuh padanya. Saat itu, aku memustukan menyerah atas Henry. Laki-laki itu terlalu baik untuk menungguku melupakannya. “Liv. Lo, tahu, image lo semakin buruk di mata orang-orang. Jujur, dari semua mantan lo yang banyak itu, gue sangat setuju lo sama Henry. Liv, lo bisa gunakan waktu lo untuk lebih banyak mencoba.” Cinta menghembuskan napasnya lelah saat tak mendapat respon dariku. Lihat! Bahkan Cinta yang sahabatkupun ikut lelah melihat kisah cintaku yang begitu mengenaskan. “Gue butuh pendamping yang hanya mau mendampingi gue, Ta. Bukan untuk kasih hatinya buat gue. Karena gue gak bisa kasih seperti itu sama mereka. Lo tahu, Ta. Karena sejatinya perempuan, akan lebih memilih mencintai dari pada dicintai meski dia butuh banyak cinta di hidupnya.” Aku melihat Cinta yang terdiam di tempatnya. Aku sudah bersahabat dengan Cinta sejak kami duduk di bangku kelas tujuh. Entah apa yang bisa membuat persahabatanku dengan Cinta bertahan hingga sekarang. Padahal, aku dan Cinta tidak memiiki kesamaan sifat apapun. Cinta adalah makhluk cuek yang tak pernah mendengarkan orang-orang yang menghujatnya. Cinta adalah makhluk yang tak ingin kenal dan dekat dengan banyak orang. Berbeda denganku yang begitu perasa dan peka terhadap lingkungan sekitarku. Tapi mungkin, kami memiliki satu kesamaan. Aku dan Cinta sama-sama memilih mengabaikan orang yang mencintai kami begitu tulus dan lebih memilih memenangkan perasaan cinta kami pada orang yang entah ada siapa di hatinya. Namun rasanya, Cinta lebih beruntung karena laki-laki yang dicintainya tidak membencinya. Yang membuatku iri adalah, aku tahu, bahwa Rain begitu menyayangi Cinta walau kini entah mengapa ia menjadi bodoh dengan mengikat Cinta begitu saja namun keberadaannya entah dimana. Sedangkan aku, Adio begitu membenciku setulus hatinya.   [*_*]   Percaya atau tidak, aku mencintai laki-laki itu sejak aku lahir di dunia. Laki-laki kedua yang kucintai setelah Papa. Awalnya, aku merasa begitu beruntung bisa mengenal Adio di hidupku. Laki-laki yang begitu mencintaiku dan menyayangiku. Juga janji-janji masa depan akan dunia indah yang nanti akan kuhadapi bersamanya. Nyatanya, dunia indah penuh cinta tidak ada di dalam hidupku. Kisah cintaku buruk. Tepatnya, sejak empat tahun lalu. Sejak ia mengatakan bahwa ia membenciku. Entah apa lagi yang aku rasakan kecuali rasa sedih dan kecewa saat itu. Di tiga belas tahun usiaku, aku sudah mengerti apa itu patah hati. Patah hati terdalam yang pertama kali terjadi di dalam hidupku. Bayangkan, disaat teman-teman seusiaku telah mencoba membuka dirinya pada lawan jenis, aku menutup diriku begitu dalam. Aku menghilangkan semua laki-laki dari dalam hidupku kecuali Papa dan Kak Oliver. Bukan hanya pada laki-laki, aku juga menutup diriku pada perempuan. Aku terlalu iri melihat mereka mengenalkan laki-laki yang mereka sukai. Terlalu iri mendengarkan mereka bercerita tentang indahnya cinta pertama. Saat itu, yang aku miliki hanya Cinta. Hanya Cinta yang kubiarkan hadir di dalam hidupku. Adio benar-benar merubah kehidupan ceriaku begitu dalam. Aku menjadi gadis tertutup yang selalu murung. Lalu, saat menginjak kelas Sembilan, aku mulai berubah. Aku hanya sedang berusaha menajadi pribadiku yang sebelumnya. Aku mulai membuka diriku pada laki-lai diluar sana. Lalu aku merasakan yang namanya pacaran pertama dengan teman sekelasku. Namanya, Raka. Laki-laki cerewet yang begitu mengganggu. Namun aku sangat berterima kasih padanya karena ia mampu membawaku keluar dari sunyi yang kubuat. Berkat Raka dan Cinta, aku bebas dari gelap. Hidupku penuh warna di luar namun kembali suram saat aku kembali kerumah dan melihat rumah Adio yang berada persis di sebelah rumahku. Saat itu, hampir setiap minggu aku menginap di rumah Cinta. Aku begitu menyayangi Raka seperti aku menyayangi Cinta. Aku sudah berpikir bahwa yang Adio katakan padaku adalah benar. Aku hanya merasa memilikinya dan menaruh kebencian pada orang yang ada di dekatnya. Tapi waktu itu, bagiku tidak seperti itu. Hanya pada Mega aku benci. Perempuan yang sialnya cantik itu benar-benar dapat membawa Adio jauh dariku. Hingga pada saat itu, kejadian yang membuat Mega meninggalkan Adio dan berakhir dengan Adio yang membenciku hingga kini. Saat itu, aku mencoba mempercayai Raka sepenuhnya. Dan mencoba menghentikan mengirim surat yang sudah aku janjikan pada Adio sejak aku kecil. Aku ingin rasa cintaku beralih pada Raka. Namun nyatanya tak berhasil. Setiap ada Adio, aku selalu ingin bersamanya dan tak ingin jauh darinya. Adio seperti memiliki magnet yang selalu berhasil menarikku. Lalu ketika itu, penyesalanku yang tak pernah berakhir sampai saat ini. Saat aku mencoba berusaha memperbaiki hubunganku dengan Adio. Aku berpikir bahwa kami dapat kembali seperti dulu. Tapi yang kudapat adalah makian Adio kepadaku. Adio bilang, aku adalah gadis manja yang selalu menghancurkan paginya. Bahkan, ia sampai berlutut untuk memintaku menjauh darinya. Yang kutangkap adalah, akulah antagonis di kehidupan laki-laki yang kucintai. Semua mengakuinya, bahkan keluargaku juga Raka dan Cinta ikut memusuhiku karena Adio sampai masuk rumah sakit akibat perbuatanku. Saat itu, aku kembali dalam sunyi dan mengurung diriku. Sunyi yang kedua lebih sepi. Aku tidak lagi memiliki Cinta di sampingku dan Raka yang ceria. Lalu aku memutuskan untuk melupakan Adio sepenuhnya. Aku tidak lagi mengirim surat padanya. Aku tidak lagi datang mengganggu paginya. Aku tidak lagi memaki semua teman perempuan yang ia miliki. Aku tidak lagi meminta bundanya untuk menyuruh Adio mengajakku jalan-jalan. Intinya, aku keluar sepenuhnya dari kehidupan Adio. Saat itu, balasan yang kudapat adalah, Cinta dan Raka kembali padaku. Aku merasa akan lebih mudah melupakan Adio dan memulai mencintai Raka. Tapi, lagi dan lagi aku mengakui diriku begitu bodoh. Aku kehilangan Raka. Raka mengidap tumor otak dan dia pergi meninggalkanku selama-lamanya saat kami seharusnya masuk SMA yang kami inginkan. Penyesalan terbesarku, kehilangan Raka untuk selama-lamanya. Hal yang kemudian membuatku melepaskan setiap laki-laki yang mempunyai perasan tulus kepadaku. Saat itu, aku merasa egois karena selalu memberi Raka harapan padahal hatiku telah mati untuk laki-laki manapun. Karenaku, Raka tidak pernah merasa dicintai oleh seorang gadis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN