Katanya, belajarlah dari hujan, karena ia tetap kembali meski telah jatuh berkali-kali. Ya, aku kembali. Lalu aku memilih bersembunyi ke tempat yang paling aman. Di belakangnya, karena ia tak pernah membalikkan badannya.
-Bukan Rindu-
Ada banyak cara orang menyampaikan perasaan rindunya. Dengan tersirat maupun tersurat. Lalu aku bertanya, bagaimana caraku? Aku belum menemukannya. Karena katanya, aku tak pantas untuk merindu.
Hari ini, tidak banyak yang berubah. Aku masih senang memerhatikan rintik hujan yang turun juga menyesap rindu yang kutepis. Lalu dengan black coffee aku sudah merasa sempurna. Seluruh penderitaanku terasa sempurna.
"Belum mau masuk?" Aku menoleh pada Cinta yang masih asik menghapus rintik-rintik hujan yang menciprat ke atas meja.
"Duluan aja, Ta. Gue gak apa-apa kok sendirian," kataku dengan dengusan keras sebagai balasan dari Cinta kemudian ia menyesap coklat panasnya lagi.
Bel sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu dan aku masih tidak bergerak dari kantin. Saat ini sedang pelajaran biologi dan aku memutuskan untuk membolos sekali.
Selalu begini, hujan selalu menjadi penghalangku untuk melakukan sesuatu. Masih sama seperti dulu, saat aku masih tak ingin bergerak kemanapun dan malah diam di atas ayunan di taman rumah Adio. Saat itu, hujan terasa indah. Adio berada di sampingku dengan guyonannya yang lucu.
Banyak yang bilang, Adio tidak bisa melucu. Karena lawakannya selalu basi dan garing. Persis seperti kerupuk yang enaknya dimakan pakai kecap biar ada manis-manisnya sedikit. Namun bagiku, sesuatu yang keluar dari bibirnya adalah hal yang menarik. Ditambah dengan tawanya yang renyah. Persis seperti kerupuk.
"Liv, gue ada pelajaran ekonomi. Ayok balik!" Cinta berdiri dan menarikku agar aku bangkit berdiri juga. Aku melepaskan pegangannya dan kembali menyesap kopiku. "Lo duluan aja, Ta."
Aku tahu, Cinta pasti merasa jengkel denganku. Bukan saat ini saja. Tapi, setiap ada hujan, aku menjadi makhluk yang menjengkelkan. Karena aku hanya diam tanpa sepatah kata dan mata hanya tertuju pada hujan.
Aku masih menatap hujan sambil sesekali menatap wajah Cinta yang memonyong lucu. Kantin di sekolah kami Ada yang berada di atap dan hanya diatapi payung besar per-mejanya. Tentu saja aku memilih duduk di sini meski aku tahu, seragamku akan terkena rintik hujan dan berakhir basah.
Dulu, aku dan Cinta selalu menantikan Saat-saat seperti ini. Namun bagi Cinta sekarang sudah tidak lagi. Cinta si penikmat hujan telah hilang. Sama sepertiku, Cinta juga merasakan perasaan seperti itu saat hujan turun. Perasaan rindu. Rindu yang kami sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
"Jatuh cinta itu gak enak banget ya, Liv." Aku menatap Cinta yang kini mencoba mengukir nama dengan percikan air di atas meja. "Dulu gue pikir, hujan adalah istimewa. Tapi sebenarnya bodoh. Mau aja dateng lagi setelah jatuh berkali-kali," lanjutnya.
"Kaya kita ya, Ta?" Aku dan Cinta tersenyum masam.
"Gue balik deh, Liv." Cinta bangkit dari duduknya dan hanya menyisakan gemercak air yang berbunyi saat ia bangkit. Aku tahu, bukan hujan dan juga pelajaran Ekonomi yang memutuskan ia untuk pergi. Tapi kenangan dalam hujan yang tak sanggup ia hadapi.
Aku menghabiskan seteguk kopi terakhirku kemudian menghembuskan napas panjang. Lalu memutar pandanganku pada sekitar yang terasa makin sepi. Tapi tunggu..
Apa yang di lakukan Cinta yang hanya terdiam di anak tangga?
Aku memutuskan untuk menyusulnya dan pandanganku menajam saat retinaku menangkap wajah Rain dengan senyum lebarnya.
Hari apa ini? Mengapa seperti hari s**l bagi kami berdua?
Dengan langkah panjang, aku melewati Cinta dan menghampiri Rain. Setidaknya satu atau dua pukulan sudah cukup meredakan amarahku saat ini. Tapi tidak untuk amarahku pada air mata Cinta yang sebelumnya.
"Ngapain lo kesini?!" Rain menatap bingung padaku. Lalu kemudian menggaruk tengkuknya seperti berpikir. Mulutnya terbuka sebelum menutup kembali lalu seketika wajahnya pias dan tak lama aku mendengar suara kencang di belakangku.
[*__*]
"Cinta," gumamku untuk yang kesekian kali. Kemudian air mata tak bisa aku hentikan. "Cinta bangun!" Aku kalut. Benar-benar tak bisa berpikir secara jernih saat Cinta terbaring di ranjang UKS. Tanganku terus menggoyangkan lengannya berharap Cinta segera membuka matanya.
"Tolong tenang sedikit. Kalau tidak bisa silahkan keluar." Sebuah suara masuk ketelingaku, membuat tubuhku mengkaku seketika.
Aku bahkan hampir melupakan seseorang yang tidak bisa jauh dari pikiranku saat ini. Perlahan aku mengangkat wajahku kemudian memberanikan diri melihat Adio yang sedang memeriksa denyut nadinya Cinta.
Biar kujelaskan, Adio memang ada di sini. Aku tak tahu apa yang sedang ia lakukan di sekolahku yang juga bekas sekolahnya dulu. Aku sempat terkejut melihatnya tadi yang tiba-tiba datang dan berdiri di samping Rain sebelum tiba-tiba semuanya berteriak saat Cinta terguling dari tangga. Lalu setelahnya aku hanya menangis mengikuti Cinta sampai UKS dan melupakan Adio yang ternyata mengikuti kami juga. Ralat, mengikuti Rain.
Adio masih setia memeriksa Cinta dengan kini stetoskop di telinganya. Jangan tanya seberapa kadar ketampanannya saat ini karena aku akan menjawab sangat tampan. Adio dan stetoskop adalah bayangan yang selalu kumimpikan sejak dulu. Lalu kemudian aku semakin menyukainya setelah ia memasuki kedokteran dan saat ini sedang koas disalah satu rumah sakit di luar kota. Tapi sayang, memiliki Adio hanya menjadi anganku yang tak kan sanggup kugapai dengan kenyataan yang ada kini.
"Liv." Fathan menarik lenganku keluar. Membubarkan semua imaji yang baru saja kususun. Lihatlah, bahkan dalam pikiranku sekalipun Adio enggan berada di sana.
"Cinta pasti baik-baik aja," kata Fathan setelah kami duduk di bangku depan UKS. Aku hanya bisa menganggukan kepalaku dan kembali diam.
Jujur saja, setelah Adio mengeluarkan suaranya tadi, pikiranku bukan hanya pada Cinta. Tapi juga padanya yang entah sudah berapa bulan tak kutemui. Sebenarnya aku bersyukur akan hal itu, dengan begitu, aku dapat melenyapkan keinginanku untuk menggapainya sekali lagi.
Saat ini, jantungku seperti meletup di dalam. Seperti ada kembang api yang dinyalakan di sana. Entahlah, rasanya begitu bergerumuh mendengar suaranya tadi. Suara yang selalu dapat membuat saraf-sarafku menengang seketika. Kemudian aku merasakan perasaan lega yang entah karena apa.
Aku harap, ini bukan karena rindu.
[*__*]
"Liv, gue minta maaf." Aku menoleh pada Cinta yang tiba-tiba serius menatapku.
"Soal?" tanyaku.
Cinta bangkit dari tidurnya, duduk di atas ranjang dan kembali serius mantapku. "Lo jadi ketemu sama Adio gara-gara gue," katanya.
"Santai aja kali. Lagian udah dua minggu yang lalu juga." Aku kembali menyuap brondong jagung dan mencoba untuk memfokuskan pikiranku pada film yang sedang tayang.
"Ya, dan udah dua minggu juga lo jadi murung,” tambahnya.
"Dengan atau tanpa kejadian itu juga gua bakalan ketemu sama dia, Ta. Dia lagi di Jakarta sekarang dan makanya gue kabur kesini. Iya gak?" Aku mencoba tersenyum seakan semuanya bukan masalah besar
Yang aku tahu, aku memang sedang tidak dalam keadaan baik sejak ketemu Adio waktu itu. Aku tak pernah berpikir Adio datang ke sekolahku walau untuk mengurusi acara festival sekolah nanti. Tapi tetap saja, mengapa dari sekian banyak manusia dan seluas tempat di sana, aku bertemu dengan Adio? Suatu yang benar-benar kuanggap sebuah kesialan karena saat di rumah, aku selalu berdiri di depan jendela berharap dapat melihat wajahnya sekali lagi.
Bukan, itu bukan rindu. Itu hanya.. Entahlah. Hanya saja aku ingin terus melihat wajahnya kembali.
Lalu sekarang, setelah aku benar-benar lelah karena tak juga melihat wajahnya, aku memilih melarikan diri. Setidaknya aku tidak menjadi perempuan bodoh dengan terus menatap jendela sepanjang malam.
Adio sepertinya benar-benar benci padaku. Bahkan ia seperti menghilang dari rumah itu. Yang menjadi bukti bahwa dia ada di rumah hanyalah Kak Oliver yang tadi pagi ke rumahnya untuk main PS bersama. Dari situ aku merasa bahwa Adio memang tak ingin bertemu denganku.
"Liv, lo yakin mau kuliah di Bandung?" tanya Cinta kembali membawaku tersadar bahwa sekali lagi aku melamunkan Adio.
"Hm.." gumamku.
"Lo akan tambah deket sama Adio, Liv. Lo akan tambah susah move on kalau begitu." Pembahasan yang berulang kali kami bahas.
"Ta, berkali-kali gue bilang, kampus luas.. Dan dia juga lagi masa-masa koas. Gue juga akan Sebisa mungkin gak ketemu sama dia. Gue gak mungkin kan, kubur impian gue hanya karena Adio. Dia udah menghancurkan mimpi gue, Ta. Dan gue gak mau dia menghancurkan mimpi gue yang lain."
Memang, dulu, alasan aku ingin kuliah di Bandung dan Universitas yang saat ini Adio tempati adalah untuk bersamanya. Tapi aku menghapus alasan itu dan menggantinya dengan alasan yang lain. Walau sebenarnya aku tak tahu alasanku kuliah disana, karena memang mimpiku, atau karena Adio.
[*__*]
"Via, kamu udah pulang?" Mama menyapaku saat aku membuka pintu.
"Iya, Ma. Cinta soalnya mau pergi ke rumah neneknya dan aku malas ikut," jawabku. Memang aku berniat menginap di rumah Cinta selama satu minggu, tapi berhubung hari ini hari jumat dan jadwal Cinta bersama Mamanya akan bermalam di rumah Neneknya sampai hari minggu, jadi setelah pulang sekolah tadi aku langsung pulang kerumah.
"Kak Oliver mana Ma?" tanyaku.
"Di kamarnya. Kamu mau kemana?" Aku tak menjawab pertanyaan Mama dan segera menuju kamar Kak Oliver. Sepertinya aku butuh nutrisi dari kakakku yang agak gila itu.
Aku membuka pintu kamar kak Oliver dan melihat kakakku yang keren itu masih di alam mimpinya dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya hingga muka.
"Kakak," panggilku setelah terlentang di atas tubuhnya. Aku kemudian merasakan badannya sedikit terkejut. Mungkin karena aku tiba-tiba jatuh di atasnya.
"Kak, kalau aku pacaran sama Galang, kakak setuju gak? Dia baik loh, suka jajanin aku di kantin beberapa hari ini. Kan lumayan, pacaran sama dia uang aku utuh. Bisa ditabung deh." Aku memulai sesi curhatku masih dengan posisi yang sama.
"Emang sih, orangnya gak ganteng ganteng banget, tapi dia lumayan manis. Kata Cinta lebih ganteng dia dari pada si Fathan. Tapi menurut aku gantengan Fathan sih. Walau terkadang Fathan itu suka bermetamorfosis jadi setan kalau lagi nyebelin." Aku jadi terkikik sendiri membayangkan Fathan yang pasti wajahnya memerah jika aku panggil setan.
"Kak! Respon dong. Masa masih tidur sih! Kak Oliver yang katanya keren!" Kini aku mengguncang tubuhnya yang tak juga merespon ucapanku. Tapi dengan gerak tubuhnya, kak Oliver pasti sudah bangun dari tidurnya.
Lalu kemudian aku mematung. Menghentikan segala pergerakanku saat pintu kamar mandi yang ada di kamar Kak Oliver terbuka dan menampakkan wajah Kak Oliver yang terlihat bingung memandangku.
Lalu, siapa yang sedang aku tindih tubuhnya?
Jantungku menggila seketika. Kak Oliver jarang memberi ijin seseorang untuk tidur di kamarnya. Dan yang berani melakukan itu hanya Kak Arkan temannya yang saat ini di kuliah di Kanada dan tetangga sebelah.
Adio.