Siang tidak mampu membuat rasa letih di tubuh dan kantuk di mata Maya menghilang. Seperti seseorang yang baru saja melakukan kerja rodi tanpa henti, bahkan untuk duduk pun Maya tidak kuasa.
Maya menggerakkan tangan kanan untuk meraba sisi lain kasur dimana ia berbaring karena ia sama sekali tidak dapat merasakan hawa tubuh Azam dan hembusan napasnya yang lembut seperti angin sepoi-sepoi di pantai yang indah dan terbuka.
"Assalamu'alaikum, Maya," ujar Azam dengan halus tepat di telinga kiri Maya sambil memegang dahinya perlahan. Terasa sekali elusan lembut berisi kasih sayang, hingga jantung Maya berdesir kencang. Ini pertama kalinya Maya merasakan sentuhan seperti ini.
"Waalaikum salam, Azam," sahut Maya dengan mata yang tertutup dan bibir yang tersenyum.
"Sepertinya kamu sangat lelah?" tanya Azam seakan ia sama sekali tidak lelah. Maya menganggukkan kepala sambil tersipu malu. "Sebentar, aku ambilkan air minum dulu ya."
"Makasih, Azam," jawab Maya sembari mengucek-ucek dan membersihkan kedua mata.
Rasanya sungguh tidak percaya bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Dia adalah laki-laki yang sangat Maya inginkan, laki-laki yang sangat Maya rindukan, laki-laki yang selalu bernaung di dalam hati Maya yang paling dalam dan laki-laki yang ia pinta kepada Allah melalui doa-doa di setiap sujudnya.
"Apa kamu tidak lelah, Azam?" tanya Maya saat sudah mendapatkan seteguk air putih dari tangan Azam.
"Lelah Maya. Hanya saja, kamu memang keinginanku sejak dua tahun yang lalu." Azam ingin terus jujur agar Maya paham isi hatinya.
"Azam, jangan membuat aku malu!"
"Kalau dengan membuatmu malu bisa menambah catatan pahala ku, maka kamu harus bersiap-siap Maya! Karena aku akan mulai melakukan banyak hal untuk membuatmu malu sejak saat ini." Azam menggoda dengan cara yang manis dan Maya kembali tersenyum.
"Azam ... ."
"Ha ha ha ha ha. Wajah kamu menyala, Maya." Maya tertunduk kembali. "Ingin membersihkan diri?" tanya Azam dan aku tersenyum malu. "Mari aku bantu!"
"Tapi Azam ... aku malu. Lagipula aku bukan bayi yang perlu dimandikan."
"Kenapa harus malu? Aku sudah melihatnya dengan jelas dan detail, bahkan aku sudah menghitung jumlah t**i lalat yang menghiasi tubuhmu."
"Azam, iiih ... ." ujar Maya manja sambil menyembunyikan wajah di d**a Azam.
"Ha ha ha ha ha, aku jadi tambah bersemangat melihatmu seperti ini."
Azam menertawakan Maya sekaligus memeluk tubuhnya dengan erat. Bagi Maya, ini bukan pelukan terbaik mereka karena pelukan terbaik yang ia rasakan adalah saat pertama kali Maya mengetahui bahwa Azam adalah suaminya.
"Azam, setelah kamu tau bahwa wanita yang kamu nikahi adalah aku. Apakah kamu malu? Karena aku hanya wanita miskin yang hidup disebuah panti sederhana?"
"Pertanyaanmu salah Maya dan aku tidak perlu menjawabnya."
"Aku hanya takut kamu tidak mencintai aku karena cinta dan kasih sayang, melainkan karena rasa iba."
"Sejak awal, walaupun aku tidak tau itu kamu, lalu kemudian aku sempat ingin melarikan diri, tapi Allah memanggilku untuk kembali mendampingimu. Dari hal itu, aku tau bahwa aku mencintai kamu karena Allah. Satu hal lagi, aku mencintaimu bukan tanpa alasan, tapi karena kesederhanaanmu yang tidak aku temukan pada wanita selain dirimu. Jadilah istri yang sholehah dan teruslah tersenyum, Maya!"
"InsyaAllah Azam ... InsyaAllah."
"Aku percaya padamu, Maya. Setelah ini, hidup kita akan sulit. Apakah kamu bersedia terus mendampingiku?"
"InsyaAllah, Azam. Hingga maut menjemput, aku akan senantiasa mendampingimu di dalam suka maupun duka," janji Maya yang disambut pelukan hangat dari Azam.
"Alhamdulillah ... torehan tinta Allah memang tidak akan pernah salah dalam menentukan jodoh dan takdirnya. Terimakasih ya Allah ... terimakasih," ujar Azam berbisik sambil memeluk Maya lebih erat lagi.
"Maya, setelah ini kalau kamu kuat, kita akan jalan untuk mencari rumah. Aku ingin hidup mandiri terlepas dari Papa dan Mama. Tapi Maya, aku hanya mampu mencarikanmu hunian kecil. Mungkin tipe 36, bagaimana menurutmu?"
Maya melepaskan pelukan Azam dari tubuhnya. "Asalkan itu bersama kamu Azam, aku tidak akan pernah merasa kesempitan, sekalipun aku akan menjalani hidup berumah tangga yang pelik, InsyaAllah aku tidak akan keberatan."
"MasyaAllah Maya ... terimakasih banyak."
Tak lama, suara handphone Azam berbunyi dan Azam mengatakan bahwa telpon itu dari Mama. "Angkat Azam!" pinta Maya dengan lembut dan sopan.
"Baik. Assalamu'alaikum, Ma." Azam menjawab dengan suara handphone dalam mode loudspeaker.
"Waalaikum salam, Azam. Kamu lagi apa, Nak? Mama sudah memikirkan sesuatu. Mama akan membantumu mencari rumah yang kamu inginkan."
Azam menunduk dan tersenyum. "Tidak perlu Ma, biar nanti Azam mencarinya bersama Maya."
"Azam-Azam ... apa yang kamu pikirkan? Maya nggak bakalan kuat berjalan-jalan cukup lama. Emangnya seperti laki-laki, sama sekali ngak kesakitan dan terluka," kata Mama dengan nada yang agak keras dan memaksa.
"I-itu ... ."
"Pecah perawan itu sakit Azam. Mama juga pernah merasakannya dulu, rasanya badan panas dingin seperti mau demam dan gemetaran."
"Begitu ya, Ma?" tanya Azam sambil menatap Maya. Saat itu, Maya tersenyum dan kembali tertunduk malu.
"Jangankan jalan jauh, berdiri saja sakit sekali Azam. Ha ha ha ha ha, tapi semua itu sangat menyenangkan dan membahagiakan. Apalagi jika melakukannya dengan cinta, Mama jadi teringat malam pertama Mama dulu," celoteh Mama tanpa henti dan Azam selalu menatap Maya, saat Mama mengatakan bahwa semuanya sangat menyakitkan.
"Azam tidak tau kalau itu sakit, Ma."
"Makanya Mama kasih tahu, supaya kamu ngak main nyosor terus Azam. Kasian istrimu kan? Malah sekarang diajak jalan banyak lagi," sambung Mama meneruskan ocehannya.
"Baik, Ma. Kalau begitu, Azam pergi sama Mama saja."
"Baik, sekitar pukul 14.00 WIB kita mulai melangkah ya Azam."
"Iya, Ma. Terima kasih."
"Assalamu'alaikum, Azam."
"Waalaikumsalam, Mama."
Azam menutup telponnya dan menggenggam tangan Maya cukup erat. "Maya, maafin aku ya?! Jujur saja, aku tidak tahu dan kurang paham," ujar Azam sambil mencium punggung tangan kanan Maya.
"Tidak apa-apa, Azam.Seperti yang baru saja Mama katakan. Aku sangat senang, bahagia, bahkan menikmatinya."
"Malam ini kita libur dulu ya, Maya. Aku harap dengan begitu, yang berikutnya akan lebih indah dan nikmat."
"Azam ... ." kata Maya tersipu malu dan ia menganggukkan kepala, tanda setuju dengan ucapan suaminya.
"Kalau begitu, ayo membersihkan dirimu Maya! Aku akan membantumu."
"Azam ... ."
"Mau aku gendong ke kamar mandi?"
Maya tidak dapat menjawab pertanyaan Azam. Ia sangat malu, bahagia, dan terkejut dengan perilaku Azam. Maya sama sekali tidak tahu bahwa Azam ternyata adalah laki-laki yang sangat penyayang.
Terima kasih Ya Allah, Engkau sudah memberikan hamba jodoh yang terbaik. Ucap Maya di dalam hati, tanpa berhenti bersyukur.
"Jodoh itu rahasia Allah. Allah mempertemukan kita dengan orang yang salah pada awalnya dan mempertemukan kita dengan jodoh yang sesuai pada akhirnya. Itulah tanda sayang Allah kepada hamba-Nya." Salam sayang, Tinta Emas.
Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan komentar, klik love dan follow authornya ya. Yang suda dengan sering romans, bisa baca n****+ aku yang lainnya. Masih gratis, kecuali Hot Baby 1.
"Sampai kapan gratisnya, Thor?"
"Mungkin sampai bulan depan. Aku nggak bisa janji ya. Makanya terus ikuti cerita selanjutnya."