Hari ini Maya pulang lebih awal dari kampus dan langsung menuju panti. Setibanya di halaman panti, Maya melihat sebuah mobil mewah terparkir di sana. Mungkinkah ini mobil donatur baru yang akan menyumbangkan sedikit hartanya untuk kami yang kurang beruntung? Tanya Maya di dalam hati sambil melangkah ke dalam panti asuhan dengan cepat.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, Maya. Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Ibu dengan tatapan tegang dan itu membuat aku khawatir.
"Sudah, Bu. Hari ini pulang agak cepat."
"Oh iya, Maya. Ini adalah Bapak Kusuma dan Ibu Laras." Maya pun segera menyapa dan mengulurkan tangannya dengan santun untuk bersalaman.
"Hooo, jadi ini yang namanya Maya? Cantik sekali," ucap Bu Laras sambil tersenyum manis ke arah Maya, lalu ia menatap suaminya sambil menganggukkan kepala, begitu juga sebaliknya. Maya tidak mengerti maksud dari isyarat di antara keduanya, hanya saja firasat Maya tiba-tiba memburuk.
"Maksud kedatangan kami berdua adalah untuk menjemput kamu, Maya. Setelah dilihat-lihat, kamu adalah satu-satunya yang cocok kami bawa untuk menjadi anak menantu di rumah kami," ucap Bu Laras dengan senyumnya yang sangat menawan.
Brak
Pas foto Maya yang tergantung di dinding, tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya tanpa angin maupun sentuhan.
"Astagfirullah hal azim ... ." ucap Maya dan Ibu Asih serentak karena sangat terkejut.
Tanpa pikir panjang, Maya langsung membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai, namun pada saat yang bersamaan jari manisnya tertusuk pecahan beling dan terluka.
"Auh ... ."
"Kamu ngak papa, Nak? " tanya Bu Asih dengan suara cemas, sambil memegang tangan Maya yang terluka.
"Maya ngak papa kok, Bu," sahut Maya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf, Bapak, Ibu, sebentar ya. Silahkan duduk!"
"Baik, terimakasih."
Ibu Asih menarik tangan Maya ke belakang, dengan jarak yang cukup jauh dari kedua orang tamu mereka. "Maya, dengar Nak! Jika kamu tidak bersedia, kamu tidak perlu melakukannya," ucap Ibu Asih sambil mengobati luka kecil di jari manis ku.
"Apa mereka menawarkan bantuan yang pantas, Bu?" tanya Maya sambil menatap ke arah Ibu Panti yang tertunduk dengan air mata menggantung di ujung kedua matanya.
"Mereka akan memberikan bantuan setiap bulannya jika kamu bersedia menjadi anak menantu mereka. Selain itu, mereka tetap akan mengizinkan kamu untuk kuliah, walaupun kamu sudah menikah nanti."
Maya menarik air hidungnya dan berfikir, apakah ini adalah jalan keluar yang Allah berikan kepadanya atas doa-doa yang selalu ia panjatkan? Tanya Maya tanpa suara.
Tak lama, Sisil yaitu salah satu penghuni panti, sekitar umur 6 tahun datang ke arah Ibu Asih dan mengatakan sesuatu yang membuat Maya merasa tidak punya pilihan selain menerima tawaran dari tamu tersebut.
"Bu, Sisil lapar ... ." ucapnya sambil menggosok-gosok perut dengan ekspresi seperti seseorang yang sedang kesakitan.
"Sisil ... ." ucap Ibu Asih sambil menarik tangan kanan Sisil dengan lembut dan membawanya ke dapur. "Kamu makan ini dulu ya, Nak! Besok Ibu janji, kita akan makan nasi lagi," ucap Ibu Asih yang berbisik-bisik, tapi tetap mampu Maya dengarkan dengan baik karena ia mengikuti langkah mereka hingga ke dapur.
"Ya Allah ... ." ucap Maya lirih sembari menyeka air matanya yang terlanjur menetes ketika ia melihat Ibu panti memberikan Sisil sebuah kerupuk ukuran kecil.
Tidak ada pilihan, aku harus menerima tawaran dari kedua orang kaya tersebut. Aku yakin, Allah akan melindungi dan menjagaku karena niatku baik dan ingin membantu Ibu Asih serta adik-adikku. Ucap Maya di dalam hati.
Maya berjalan lamban menuju ruangan Ibu Asih dan ia memberanikan diri untuk menemui tamu asing tersebut. Sesampainya di hadapan pasangan suami-istri tersebut, Maya terdiam. Saat itu, sekali lagi mereka bertanya dengan sangat antusias.
"Bagaimana Maya, apa kamu bersedia?"
"Apa yang akan Maya lakukan di sana, Bu?"
"Kamu hanya perlu menikah dengan putra semata wayang kami dan menjadi putri di rumah kami."
"Apa Maya masih diizinkan untuk kuliah, Bu?"
"Tentu saja, anak kami juga masih kuliah. Tapi kami sangat ingin segera menikahinya, karena suami saya ini akan segera keluar negeri dan kemungkinan besar saya akan ikut bersamanya. Jadi, rasanya lebih aman jika meninggalkan putra kami dengan seorang istri di sampingnya," jelas Bu Laras kepada Maya tentang situasi yang ia hadapi.
"Bagaimana dengan bantuan untuk panti?" tanya Maya bak wanita serakah sambil menelan air liurnya yang berat.
"Untuk itu, jangan dipikirkan. Karena kami yang akan mengurusnya. Kami janji akan memberikan bantuan sembako dan sejumlah uang untuk biaya pendidikan seluruh anak-anak panti ini."
Tawaran yang menarik dan sangat aneh. Ucapku di dalam hati. "Maaf, Bapak, Ibu, sebaiknya kita semua memberikan waktu kepada Maya untuk berpikir sebelum mengambil keputusan ini. Pernikahan adalah hal yang sakral dan bukan mainan, jadi jangan sampai menyesal di kemudian hari karena menikah bukan dengan orang yang Maya cintai," ucap Ibu panti yang baru saja tiba dan berdiri di samping Maya.
"Baiklah kalau begitu, jika sudah ada keputusannya, silahkan hubungi kami ke nomor ini," ucap Bu Laras sambil meninggalkan kartu nama suaminya.
"Tapi jangan terlalu lama, karena jika tidak bersedia, maka kami akan mencari pengganti Maya secepatnya." Ancam Pak Kusuma yang tampaknya sudah bisa membaca gelagat Maya yang memang sangat membutuhkan uang untuk mempertahankan panti ini.
"Baik Pak, Bu ... . " sahut Maya lirih karena merasa sangat tertekan.
"Kalau begitu, kami pamit dulu ya ... permisi."
"Silahkan ...." sahut Bu Asih tanpa senyum.
"Bu, Maya pamit kembali ke kamar ya. Maya ingin tidur sebentar."
"Silahkan, Sayang ... istirahatlah dan jangan banyak pikiran!"
"Iya, Bu. Terimakasih."
Sementara di sebuah pesantren di pinggir kota, ada seseorang yang selalu mengingat Maya dengan baik. Dia adalah Amari Amri. Amari merupakan sosok sahabat masa kecil Maya yang sangat penyayang selama tinggal di Panti Asuhan dan nasibnya jauh lebih baik daripada Maya.
Amari diambil untuk menjadi anak angkat keluarga kaya raya saat usianya 8 tahun dan sejak saat itu, Maya tidak pernah bertemu dengan Amari sekalipun.
Bagi Maya, Amari adalah seorang sahabat yang sangat baik hati. Dia selalu menjaga Maya, disaat Maya merasa takut dan Amari selalu menemani Maya, disaat Maya merasa kesepian.
"Amari, apa kabar?" Maya sering berdo'a, agar suatu saat nanti, dapat bertemu dengan Amari. "Apa kamu bahagia?" tanya Maya sambil memeluk foto Amari yang masih ia simpan sejak lama.
Bersambung.
Mohon maaf untuk typo dan semangat membaca ya semuanya. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love dan follow authornya. Makasih.