Pilihan Terakhir

1206 Kata
Malam yang hening, hanya ada Maya dan Wita di dalam kamarnya. Sementara tiga orang teman yang lainnya, masih menyelesaikan tugas menjahit pakaian pesanan warga masyarakat di kamar yang berbeda. "May ... Maya ... ayo bangun May! Maya," kata Wita sambil menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. "Maya .... " "Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar. Hah ... hah ... hah ... hah ... hah." Maya mengatur napasnya yang terengah-egah akibat mimpinya yang terasa begitu nyata. "Maya, kamu kenapa?" "Wita? Wita ... ." teriak Maya histeris sambil menangis dan melihat wajah Wita dan memperhatikan seluruh tubuhnya, begitu juga dengan sekeliling. "Iya, aku disini. Kamu kenapa, May?" Ternyata Maya tidak berada di dapur, melainkan di dalam kamar bersama Wita. "Ya Allah ... ternyata aku hanya bermimpi. Mimpi yang sangat buruk," ujar Maya sambil menelan air liurnya yang berat dan menangis. "Tunggu di sini sebentar ya! Aku ambilkan air minum di atas meja dulu. Tenangkan diri kamu, Maya!" "Iya, Wita." "Kamu mimpi apa, May? Ini! Ayo diminum!" "Aku bermimpi, tubuhku terbakar saat sedang ingin menyalakan lilin akibat listrik yang padam, Wita." "Nauzubillah hi min zalik. Semoga tidak terjadi Maya. Semoga Allah menjauhkan balak, musibah, dan mara bahaya dari kita semua. Amin ... ." "Amin Ya Allah ... amin," ucap Maya sambil kembali menangis dan Wita memeluknya, kemudian meletakkan kepala Maya di d**a. Tampak damai, hubungan persaudaraan diantara mereka. ***** Keesokan harinya, Maya kembali ke kampus dengan berjalan kaki. Setibanya di lorong antara tangga untuk menuju ke dalam ruangan kelas, secara tidak sengaja Maya menabrak seseorang dan ia segera meminta maaf sambil mengumpulkan buku-buku serta alat tulisnya yang berserakan di lantai. Maya tidak mendapat jawaban atas permintaan maaf kepada seseorang yang tidak sengaja ia tabrak. Untuk itu, Maya segera mengangkat kepala dan melihat siapa sosok tersebut. A-Azam, ucap Maya di dalam hati. Tanpa sepatah kata pun, Azam hanya menatap Maya dalam-dalam. Kemudian ia menganggukkan kepalanya tanda sudah mendengar permintaan maaf dari Maya. Hampir 3 tahun bersama di dalam satu ruang kelas, tapi aku sama sekali tidak pernah mendengar suara Azam dan Maya sempat berpikir, apakah dia bisu? Saat Maya hendak melangkah maju, Azam pun ternyata berniat untuk maju. Ketika Maya hendak ke kiri, ternyata Azam melangkah ke kanan. Ketika Maya ke kanan, rupanya Azam melangkah ke kiri, sehingga mereka selalu bertabrakan tanpa disengaja. Maya melihat Azam tersenyum kecil dan senyumannya itu sangat manis serta teduh. Subhanallah, indah sekali. Ucap Maya di dalam hatinya. Baru kali ini Maya melihat senyuman seperti itu. Suatu saat, jika laki-laki yang memiliki senyum seperti ini menjadi jodohnya, maka ia akan menerima semua konsekuensinya termasuk rasa sakit yang teramat dalam. Ucap Maya di dalam hati tanpa sadar. Demi menghormati Maya, Azam mundur beberapa langkah dan mengizinkan Maya untuk berjalan terlebih dahulu. Tadinya Maya sangat yakin jika Azam ingin berjalan keluar, tapi setelah kejadian ini, tanpa alasan yang jelas, Azam malah berjalan ke arah sebaliknya dan ia melangkah tepat di belakang Maya (ke arah ruang kelas). Maya sangat merasa malu, mengingat selama ini tidak pernah ada tubuh laki-laki yang menempel cukup dekat dengan tubuhnya. Ibu panti selalu mengajarkan Maya tentang agama yang baik sehingga ia dapat menjaga diri dari laki-laki yang bukan muhrimnya. Dengan langkah lambat, Maya masih berjalan ke arah ruang kelas bersamaan dengan Azam. Seperti bayangan, Azam melangkah di belakang Maya. Sebenarnya Maya sangat ingin sekali mengobrol dengan Azam, tapi tidak mungkin bagi Maya untuk memulai segalanya. Maya berjalan sambil menundukkan kepala, hanya melihat lantai berwarna hitam mengkilat sembari melihat kedua kaki Azam. Apa yang ia lakukan di sana? Apa salahnya dia maju ke depan dan jalan berdampingan denganku? Tanya Maya tanpa suara. "Hai, gadis panti. Kamu memang ngak pantas buat menegakkan kepala kamu disini. Teruslah menunduk! Ha ha ha ha ha ha," ujar Melisa, Andini dan Joya saling bersahutan. "Coba lihat ini teman-teman! Bros jilbabnya rajutan murahan loh. Heran ya, bisa kuliah," tambah Joya. "Mana mana mana?" tanya Andini yang berniat memegang bros jilbab Maya, tapi tangannya tidak sampai. Azam menahan tangan Andini dan melepaskan tangannya perlahan. "Azam?" "Jangan ganggu dia!" ucap Azam berbicara dengan sangat tegas dan itu kali pertama Maya mendengarkan suara Azam yang sebenarnya tidak terlalu jelas di telinga Maya, tapi begitu membekas di hatinya. "Azam Sayang, jangan ikut campur deh! Nanti setelah kita menikah, kamu boleh pegang tangan aku sesuka kamu. Bukankah kamu laki-laki yang alim?" kata Andini dan hal itu membuat jantung Maya bergetar hebat. Ada rasa sakit yang luar biasa dan Maya tidak tau apa alasan rasa sakit ini. "Jadi kamu akan menikah dengan Azam? Wahhh, berita hebat ini," kata Melisa sambil bertepuk tangan dan melompat kecil, sementara Maya hampir gemetaran seluruh tubuhnya. "Jangan fitnah!" bentak A-zam yang sangat hemat dalam berkata. "Dengar, Sayang! Tadi malam, Papa dan Mama kamu datang ke rumah untuk meminang aku dan aku sudah menjawab iya." "Fitnah," ucap Azam sekali lagi dan ia langsung membalik tubuhnya ke arah Maya. Azam tampak tidak ingin meladeni Andini dan teman-temannya. "Ayo pergi dari sini!" ajak Azam sambil menatap mata Maya dan ia juga terlihat gelisah saat melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Azam dan Maya jalan berdampingan, kemudian Azam mengatakan sesuatu kepada Maya. "Aku dan Andini tidak ada hubungan apa-apa. Jangan perdulikan dia!" "Maaf, permisi," sahut Maya dengan rasa kecewa entah dari mana asalnya. Jantung Maya terus berdebar kencang, bahkan napasnya sulit untuk diatur. Maya tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya karena hal ini baru pertama kali ia rasakan di dalam hidupnya. Ya Allah ya Tuhanku, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Hampir seharian ini aku tidak konsentrasi belajar, ini tidak seperti diriku. Ucap Maya di dalam hatinya setelah berusaha berkonsentrasi untuk belajar. Bel sudah berbunyi, waktunya untuk pulang. Azam tampak menyorot arah matanya kepada Maya, tapi Maya pura-pura tidak tau. Maya tidak siap dengan rasa sakit seperti ini. Jadi ia memutuskan untuk beranjak pergi. Sesampainya di depan pintu gerbang kampus, Maya melihat Wita yang sangat cemas. Ia berjalan ke depan dan ke belakang tanpak bingung, sambil mencubit-cubit kecil kuku tangannya sendiri. Wita tampak begitu gelisah. "Wi, kenpa kamu ada disini?" "May, Ibu panti May. Beliau sakit dan masuk rumah sakit." "Sakit apa?" "Ngak tau, tiba-tiba saja pingsan dan dibawa langsung sama Mang Jupri kerumah sakit." "Ya sudah, sebaiknya kita langsung ke rumah sakit saja." "Iya, May." Mereka pun langsung ke rumah sakit untuk melihat kondisi ibu Asih. Sesampainya di rumah sakit, Maya melihat Bu Asih telah terbaring lemas di sebuah ranjang perawatan dengan infus di tangan kiri dan selang oksigen di hidungnya. "Mang, Ibu kenapa?" tanyaku berbisik-bisik dengan Mang Jupri. "Kena serangan jantung, Maya." "Astaghfirullah hal azim, Ibu." "Ibu tidak bisa lagi bekerja keras ataupun berpikir keras. Itulah yang dikatakan dokter tadi." "Sudah berapa lama Ibu sakit seperti ini, Mang?" "Sekitar 5 tahun, tapi selain saya, tidak ada satu pun orang yang tau." "Maya," ucap Wita sambil memeluk sisi kiri tubuh Maya. Ya Allah ya Tuhanku, selamatkanlah Ibu kami. Beliau yang salama ini sudah mengurus dan mendidik kami. Tidak ada pilihan, aku harus menerima tawaran dari Bu Laras tentang perjodohan ini. Apapun yang terjadi, aku akan membantu bu Asih. Apalagi ini adalah jalan satu-satunya. "Maya, apa yang harus kita lakukan?" "Bersabar dan berdoa, Wita! Aku juga tidak akan tinggal diam. Kita cuma hanya punya ibu Asih, bukan?" "Iya." "Dan kita akan menjaganya sekuat tenaga hingga Allah benar-benar menginginkan beliau." Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN