Part 29 - Melahirkan Bayyi

1859 Kata
Maha dahsyat sakit yang menyiksa. Namun kekuatan sang wanita seolah tak ingin menyerah dengan keadaan. Dalam pikiran Yanti, dia tak ingin cepat mati. Berusaha sekuat tenaga untuk mencari bantuan. Merintih dalam kesakitan yang tak bisa ditahan. Teriakannya begitu sangat keras membahana di seluruh ruang gerak rumahnya. Hingga saat napasnya terengah dan tenaganya terkuras. Yanti tak sanggup lagi dengan kondisi yang menghimpitnya itu. Rasa tak sanggupnya kini merongrong suatu ancaman besar dalam hidupnya. Yanti semakin tak bisa menahan tangis dengan derai darah yang selalu keluar tanpa henti. Dia pasrah, tapi Yanti tetap ingin berusaha. Menyeret dirinya keluar kamar, dengan dahsyatnya rasa sakit yang dilawan. Tetesan darah itu menghiasi lantai putihnya, Yanti yang sudah berhasil berada di depan pintu ruang tamu. Yanti berusaha untuk membuka pintu itu. Semua terasa begitu menghimpitnya. Namun, Yanti yang tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya. kekuatannya pun begitu besar. Dia berhasil membuka pintu. Tak lama, ada dua orang laki-laki yang tengah berjaga keliling. Dua penduduk yang sedang berjalan kaki itu pun, mendengar suara minta tolong. Dan ternyata saat dilihat itu adalah Yanti. Kedua laki-laki itu tak tinggal diam. Dengan cepat segera membawa Yanti ke klinik terdekat. *** Fadli yang masih berada dalam jeruji besi. Saat itu perasaannya begitu gelisah. Seperti ada hal yang tak biasanya. Lalu pikirannya pun selalu tertuju pada Yanti, sang istri. Bayangan wajah itu memneuhi isi otaknya. “Pak Fadli, ada yang ingin bertemu.” Suara petugas menggugah hasrat Fadli. Dia berharap jika Yanti datang menemuinya. Setidaknya agar apa yang selalu dipikirkannya itu mendapat sedikit ruang kelegaan tanpa terus membuat kegelisahan yang dalam. “Pak Fadli, bagaimana kabarnya?” Pak Fadli terkejut dengan kehadiran bu Dinar menjenguknya. Harapannya dan praduganya tak sesuai. Namun, meski begitu Fadli tetap tersenyum dan menghargai akan kedatangan teman sejawatnya itu. “Saya baik bu Dinar, ibu sendiri bagaimana?” “Saya juga baik, pak.” Pembicaraan mereka terjeda. Bu Dinar melihat raut wajah Fadli seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak dapat dipungkiri, jika kegelisahan itu sangat tampak pada kedua bola matanya. Bu Dinar, wanita yang diciptakan diberikepekaan terhadap perasaan, seakan dirinya pun tak salah dalam mengartikan momen di perjumpaan itu. “Pak Fadli kenapa? Apa ada yang sedang membuat pikiran bapak terganggu?” “Iya, bu. Saya sangat kepikiran istri saya, entah mengapa sejak malam pikiran saya terus saja tertuju pada Yanti, apalagi ditambah dengan sebuah mimpi. Hal itu membuat saya terus memikirkannya tanpa henti. Padahal biasanya saya tak pernah begini sebelumnya.” Fadli menunduk, dia seperti menahan tangis yang dirasa begitu pelik itu. Tak lama, tangan kanan itu terlihat menyeka salah satu matanya. Pemandangan itu membuat bu Dinar juga tak kuasa dengan perasaannya sendiri. “Pak Fadli tenang ya, saya akan coba ke rumah pak Fadli untuk melihat kondisi bu Yanti.” Mendengar jawaban itu, kedua mata Fadli seolah berbinar kegirangan. Dia tersenyum lebar dan menatap bu Dinar dengan mimik wajah yang berubah secepat kilat. “Saya minta tolong ya, bu. Saya benar-benar khawatir.” “Iya pak, bapak tenang saja. Nanti saya akan kabari lagi jika sudah bertemu dengan bu Yanti.” “Terima kasih bu Dinar.” “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.” Bu Dinar tak berlama-lama lagi. Dia yang datang seorang diri. Dengan cepatnya kakinya melangkah meninggalkan kantor polisi. Sekarang tujuannya adalah pergi ke rumah Fadli untuk melihat kondisi bu Yanti. Hanya untuk memastikan sebuah pikiran yang sedang tidak baik-baik saja. Bu Dinar yang penuh dengan kebaikan itu pun, begitu ringan tangan saat dirinya mendengar keluhan dari Fadli. Dia ingin membantu Fadli meski tidak dengan perbuatan yang sangat besar dan bermakna. Setidaknya hanya dengan sedikit tenaga yang masih dimiliki. Bu Dinar akan melaksanakan apa yang sudah dikatakan sebelumnya. Perjalanan yang melelahka itupun telah berujung pada sebuah bangunan di pinggir jalan kecil. Rumah yang terlihat begitu sederhana, menjadi tempat yang harus didatanginya. Bu Dinar melihat pintu pagar yang tak terkunci. Tanpa berpikir panjang, bu Dinar pun segera masuk ke halaman rumah Fadli. Dia melihat bunga-bunga indah yang tertanam di area rumah rekan kerjanya itu. Namun sekilas, pandangannya itu pun diakhiri. Bu Dinar segera menuju ke teras dan segera mengetuk pintu rumah yang tertutup itu. Ketukan pintu yang terdengar begitu keras seharusnya membuat penghuni rumah mendengar jika sedang ada tamu yang berkunjung. Sayangnya, Bu Dinar yang sudah berkali-kali mengetuk pintu sama sekali tak mendapatkan jawaban atas tindakannya. Bu Dinar berpikir jika penghuni rumah itu sedang tidak ada di tempat. Bu Dinar nampak bingung, mencoba mengulangi lagi usahanya. Dia mengetuk pintu lebih keras lagi.Namun, semuanya tetap saja nihil tanpa hasil. “Ibu mencari siapa?” Tiba-tiba saja suara dari arah pintu pagar rumah Fadli terdengar di telinga bu Dinar. Wanita yang sagat energik itu pun tak mau hanya berdiam di depan pintu. Dia segera melangkah ke arah sumber suara. “Pak, saya sedang mencari bu Yanti. Apa orangnya di rumah? soalnya sejak tadi saya panggil-panggil tidak ada jawaban sama sekali, pak.” “Rumahnya kosong, bu Yanti semalam dibawa ke klinik.” “Ke klinik,apa bu Yanti sakit?” “Saya kurang paham ya, bu. Karena saya hanya dapat kabar begitu dari teman saya yang mengantar bu Yanti.” “Di klinik mana, Pak.” “Di klinik Sehat abadi, bu.” “Apakah jauh dari sini, Pak?” “Tidak bu, sekitar satu kilo meter dari sini, ibu keluar jalan ini lalu belok kanan, setelah itu di kiri jalan kliniknya sudah pasti terlihat gamblang karena plakatnya yang besar.” “Baik, Pak. Terima kasih untuk bantuan informasinya, saya permisi.” “Sama-sama bu.” Bu Dinar segera melangkah untuk menuju ke klinik. Dia harus melihat kondisi Yanti secara langsung. Dia ingin memastikan jika Yanti dalam kondisi baik agar Fadli tak merasa kepikiran terus menerus dengan kondisi sang istri. Lewat penjaga customer service, bu Dinar telah mengantongi sebuah informasi terkait Yanti. Bu Dinar segera menemui dokter yang menangani Yanti. Rasa keingin tentang kondisi Yanti sangat dibutuhkannya. Bu Dinar pun melangkahkan kaki dengan begitu cepat. Dia tak mendapatkan informasi tentang kamar Yanti. Petugas informasi hanya meminta bu Dinar untuk menemui dokter Wilman. “Selamat pagi, dokter.” “Pagi, ada yang bisa dibantu?” “Saya Dinar, teman dari bu Yanti, pasien yang tadi malam dibawa ke klinik ini, dok.” “Oh iya, silakan duduk.” Dinar segera mengambil tempat. Dia sudah tak sabar ingin mendapat penjelasan yang akurat dari dokter yang menangani Yanti. Setelah itu Bu Dinar berpikir untuk bisa bertemu dengan istri Fadli itu. “Bagaimana kondisi bu Yanti dok, dan sekarang dirawat di ruang apa?” Dokter terlihat menghembuskan napas panjang. Kemudian dia menatap wajah Bu Dinar tanpa lepas. Kedua mata mereka bertemu, seolah akan menyampaikan sebuah kabar yang ditunggu-tunggu. “Bu Yanti terpaksa kami rujuk ke rumah sakit, dia harus melahirkan anaknya secara prematur, karena ketubannya pecah dini. Di sini alat-alatnya masih sangat minim, sehingga kami tidak bisa menanganinya.” “Lalu bagaimana kondisi Yanti dan bayinya, dokter.” “Kami belum memantau hal tersbut, mungkin lebih baiknya ibu datang langsung ke rumah sakit Abadi sejahtera.” “Kalai begitu terima kasih atas bantuan informasinya, dokter. Saya mohon undur diri.” “Silakan.” Bu Dinar tak mau membuang waktu lagi. Dia ingin melihat dan mendengar langsung kabar Yanti dari pihak yang menanganinya. Oleh karena itu tak ada alasan bagi bu Dinar untuk hanya diam di klinik. Dia dengan segera menuju ke rumah sakit yang dikatakan oleh dokter kepadanya. Dengan penuh perjuangan, Bu Dinar kini telah sampai di rumah sakit Abadi Sejahtera. Dia harus segera menemui dokter yang menangani Yanti. Melalui petugas rumah sakit yang berjaga, Bu Dinar dengan mudah diarahkan ke ruang dokter dengan segera. Di depan ruangan yang tak jauh dari tempat awal bu Dinar menginjakkan kaki di rumah sakit. Kini bu Dinar segera mengetuk pintu dan ingin masuk untuk menemui dokter yang menangani Yanti. “Silakan masuk, bu. Ada yang bisa saya bantu?” “Permisi dok, saya keluarganya bu Yanti, tadi malam dirujuk dari klinik sehat abadi. Saya ingin tahu bagaimana perkembangan bu Yanti dokter.” “Bu Yanti kemarin harus mengalami ketuban pecah sebelum waktunya, hal itu yang mengharuskan kami untuk segera mengeluarkan bayinya.” “Lalu bagaimana kondisi bayinya dokter?” “Ada sedikit masalah pada pernapasannya, sehingga kondisinya juga masih dalam pantauan kami, semoga saja hari ini semakin membaik.” “Lalu bagaimana dengan ibunya, dokter?” “Bu Yanti mengalami koma pasca melahirkan.” Bu Dinar merasa sangat terkejut mendengar kabar itu. Dia tak menyangka dengan apa yang didengarnya. Dan baru saja bu Dinar ingin menanyakan kembali rasa penasaran yang berpijak pada hati kecilnya, namun tiba-tiba saja suster masuk dan mengatakan bahwa ada pasien baru yang harus segera ditangani. Dokter pun tak memiliki waktu yang lama lagi untuk menemui bu Dinar. Dengan sangat terpaksa pertemuan mereka harus terjeda untuk sementara waktu. Kondisi pasien yang serius dan harus ditangani, membuat dokter melangkah dengan sangat cepat. Bu Dinar pun, harus berdiri dari tempat duduknya untuk keluar dari ruangan dokter. Kemudian langkah pertama yang akan ditujunya adalah menuju ke ruangan bayi. Dia harus melihat kondisi bay Yanti yang sedang mengalami sistem pernapasan itu. “Suster, saya keluarganya bu Yanti, apa suster bisa bantu saya untuk menuju ke ruang bayi.” “Oh ya bu, sebelumnya saya mau menginformasikan jika ada beberapa berkas yang perlu ditanda tangani oleh keluarga, karena kemarin kondisi bu Yanti kritis, dan pengantarnya adalah tetangga, jadi kemarin masih ada berkas yang belum terselesaikan.” “Baik, sus. Nanti saya akan menyelesaikannya.” “Lebih baik sekarang ya, bu. Jika nanti sudah selesai saya akan mengantarkan ibu ke ruang bayi.” Dengan dibantu seorang suster, bu Dinar harus menyelesaikan terlebih dahulu beberapa berkas yang memang perlu ditand tangani sebagai prosedur wajib dari rumah sakit.  Setelah bu Dinar selesai dengan tumpukan kertas yang memang harus segera diselesaikan itu, kemudian dengan cepat bu Dinar pun diantarkan untuk melihat kondisi sang bayi yang baru saja menatap dunia. Bu Dinar melihat penuh di balik kaca. “Suster, kalau boleh tahu jenis kelamin anak bu Yanti laki-laki atau perempuan?” “Bayinya perempuan, bu.” Bu Dinar merasa tersentuh hatinya. Saat melihat bayi perempuan itu terpasang beberapa alat di tubuhnya. Bu Dinar tiba-tiba saja ingat dengan perjuangannya dulu melahirkan anaknya sendiri. Tak sengaja tanpa dirasa, kedua mata bu Dinar pun basah karena tumpahan air mata. Bu Dinar segera mengusap air mata itu dengan cepat. Dalam pandangannya itu, terselip sebuah doa untuk sang bayi perempuan yang kini sedang berjuang demi keberlangsungan hidupnya. “Suster, apa saya boleh melihat bu Yanti?” “Tapi hanya sebentar ya, bu.” “Baik suster.” Bu Dinar melangkah dengan penuh kecemasan. Entah mengapa kini kekhawatiran seakan menyesaki setiap partikel yang ada di dalam tubuhnya. Suara langkahan sepatu yang beradu dengan lantai, menambah sebuah ketakutan yang bertubi-tubi. Betapa jantungnya berdetak sangat kencang daripada sebelumnya. Menuju ruang ICU, seolah bu Dinar memperlambat langkahnya. Dia sangat berat untuk menatap wajah perempuan yang sedang berjuang dalam mempertahankan hidupnya. “Sus, apa ruangannya masih jauh?” “Masih lurus dan nanti belok ke kanan, bu.” Bu Dinar seolah tak bisa menguasai dirinya sendiri. Dia dalam kegelisahan yang dalam. Tak lama, ruang ICU telah berada di depan mata. Meski masih tersimpan trauma di benaknya, namun bu Dinar harus segera masuk untuk bisa melihat kondisi istri temannya itu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN