Part 30 - Puspa dan Harapan

1966 Kata
Diam tak berdaya. Beberapa alat medis telah terpasang pada beberapa anggota tubuh Yanti. Berharap sebuah kesembuhan akan segera datang. Bu Dinar dengan penuh rasa yang tersimpan dalam hatinya. Dia sungguh tak bisa membayangkan tentang kondisi anak dan ibu yang kini seolah sama-sama harus berjuang, demi bisa bersama dalam segala kondisi. “Bu Yanti, harus kuat ya. Bayi ibu sehat dan sangat lucu sekali, ibu harus segera melihatnya. Segera sembuh ya, bu.” Tak banyak kata yang keluar dari Bu Dinar. Hatinya kelu, menoreh sebuah rasa iba yang tak bisa dibohongi. Dia tak bisa berlama-lama berada di ruangan itu. Setelah sedikit memberikan doa kepada Yanti. Bu Dinar pun akan segera kembali menuju ke kantor polisi, dia akan memberi tahu kabar baik tentang kelahiran putrinya itu. Belas kasih yang sangat tertanam kuat pada seorang wanita yang penuh dengan perasaan. Bu Dinar sangat tak tega dengan kondisi keluarga Fadli. Dia seolah berpikir keras untuk bisa segera membebaskan sang teman itu dari penjara. Sayangnya bu Dinar tak tahu langkah apa yang harus diperbuatnya. Bu Dinar bukanlah seorang yang pandai mencari bukti dari sebuah kasus. Dia hanya bisa berusaha dengan untaian kata yang bisa memperngaruhi seseorang. Bu Dinar membuyarkan pikirannya, setelah dia berada lagi di kantor polisi. Meminta agar petugas mengijinkannya bertemu dengan Fadli. Dan dengan aturan yang diberlakukan, bu Dinar akhirnya bisa kembali bertatap muka dengan teman sejawatnya itu. “Pak, saya bawa kabar bahagia untuk bapak.” “Kabar bahagia apa bu Dinar?” Raut wajah Fadli seolah tak sabar untuk bisa segera mendapatkan informasi terkait sebuah kabar kegembiraan dari rekan kerjanya itu. Fadli menatap tanpa lepas wajah bu Dinar yang meneduhkan itu. “Bu Yanti sudah melahirkan pak, bayi bapak perempuan.” Mendengar kabar itu, fadli berhias senyum dan tangis yang penuh haru. Dia sama sekali tak menyangka dengan hadirnya bayinya yang begitu cepat. “Bu Dinar, Yanti mengandung belum sampai sembilan bulan, apa benar dia sudah melahirkan?” “Benar, Pak. Bayinya lahir prematur.” “Bagaimana kondisi bayi dan juga ibunya bu?” Pertanyaan itu seketika membuat bu Dinar terdiam. Dia seakan tak kuat hati untuk menyampaikan kondisi yang kini sedang terjadi pada bayi dan juga ibunya itu. Bu Dinar terdiam cukup lama, hal itu seolah membuat Fadli ingin cepat mengetahui jawaban atas pertanyaannya. “Bu, kenapa tidak segera jawab pertanyaan saya?” Bu Dinar tersentak dengan kata-kata pak Fadli yang seolah tak sabar untuk sebuah jawaban yang ditunggu itu. Dengan penuh rasa iba, bu Dinar pun mengatakan kondisi dua keluarga Fadli yang kini sedang berjuang dalam menjalani kehidupan itu. “Bayi bapak sedang menjalani perawatn intensif, masih di inkubator karena ada gangguan di pernapasan, sedangkan bu Yanti...” Bu Dinar menjeda pembicaraan itu. Dia mengalihkan pandangan matanya ke lantai bawah. Tanpa sengaja dan tanpa diminta, tiba-tiba aja air mata bu Dinar menghiasi pipinya. Hal itu semakin membuat Fadli dalam tanda tanya besar. “Apa yang terjadi pada Yanti, bu?” “Bu Yanti mengalami koma, Pak. Pasca melahirkan bayinya.” Fadli seperti dilempar bom yang besar dan seolah akan segera meledak di tubuhnya. Fadli memegang kepalanya yang terasa begitu berat beban hidup yang harus dipikulnya itu. Bu Dinar tak sanggup melihat raut wajah Fadli yang dengan cepat seperti tertekuk layu. Dia mendongakkan kepalanya, sepertinya menahan air matanya agar tak sampai menetes menghiasi kesedihannya itu. “Saya bolehkah minta tolong ke bu Dinar?” “Apa itu, Pak?” “Tolong bantu anak dan istri saya bu, tak ada satu pun keluarga yang bisa saya mintai tolong.” Bu Dinar mengangguk pasti dengan permintaan yang terlontar dari mulut seorang teman. Dia tak sanggup bila membayangkan semua kejadian itu menimpa dirinya, pastinya bu Dinar juga pasti akan sangat merasa sedih. “Pak, apa saya boleh tanya sesuatu?” “Iya, bu.” “Saya harap pak Fadli tidak marah dengan apa yang ingin saya tanyakan.” Fadli mengangguk lesu. Dia masih sangat kepikiran dengan dua orang yang begitu dicintainya. Bayi dan istrinya yang menjadi penyemangat dalam menjalani kehidupan, kini sedang berjuang dalam sakit yang penuh harapan akan kesembuhan. “Bisakah bapak mengatakan pada saya dengan jujur, tentang uang yang bapak ambil dari sekolah itu.” “Saya sama sekali tidak mengambilnya, bu. Itu hanya sebuah kesalahpahaman, memang saya meminjamnya tapi saya belum bisa mengembalikannya.” Bu Dinar menginterogasi Fadli. Dia berharap bisa mengetahui cerita yang sebenarnya versi Fadli. Dia sangat ingin membantu Fadli yang kini dalam kondisi terpuruk itu. Dan Fadli pun dengan tegas menceritakan sebuah kejadian yang terjadi sebelumnya. Bu Dinar geleng kepala dengan pengakuan Fadli. Bahkan pihak sekolah sepertinya tak mau mengetahui secara detil kisah yang diceritakan dari mulut Fadli itu. Semua memang pandai bersandiwara. Bahkan sesuatu yang benar bisa jadi salah dan sebaliknya, suatu kesalahan bisa tertutup dengan kebenaran yang palsu. Bu Dinar memutar otak dengan semua cerita yang sudah Fadli suguhkan kepadanya. Waktu kunjungan tak bisa sebebas yang diinginkan. Kini bu Dinar terbentur waktu yang tak bisa dilanjutkan lagi. Fadli harus dipindakan ke sel tahanan. Bu Dinar tak berani meminta kelonggaran, dia pun menerima jika Fadli harus menjalani hukumannya. Saat Fadli berdiri. Dan hampir melangkah pergi. Tiba-tiba saja, dia menghentikan kakinya yang bergerak meninggalkan ruangan kecil itu. Dia menatap kembali ke bu Dinar dengan penuh pengharapan. “Bu, tolong beri nama bayiku Puspa, Puspa Hapsari.” Bu Dinar mengangguk. Tanda mengiyakan atas apa yang dikatakan Fadli kepadanya. Lalu pandangan mereka pun berakhir. *** Sekolah menjadi tempat paling membahagiakan bagi para guru-guru. Sebuah wadah untuk memberikan ilmu yang sangat berharga bagi anak didiknya. Pagi itu, Bu Dinar yang begitu serius menghadap ke layar laptopnya. “Serius sekali, bu.” Rois datang dengan senyum menggoda. Dia menatap bu Dinar dengan rasa yang kian menggelora. Tak dihiraukan siapa pun yang berada di dalam kantor. Pandangan matanya hanya ingin menatap bu Dinar yang semakin terlihat menawan di matanya. “Saya ingin bicara dengan bapak, sepulang sekolah di kantin.” Bu Dinar kemudian menutup laptopnya dan beranjak melangkah untuk segera masuk ke kelas, dia sudah harus memberikan pengajaran pada muridnya. Tanpa menjawab, Rois tersenyum lebar dengan ajakan bu Dinar kepadanya. Rois mencubit kulitnya, dia mengira jika dia telah bermimpi. Nyatanya dia merasa cubitan itu sangat sakit. Rois meyakini dia tidak sedang bermimpi, bu Dinar benar-benar sedang mengajaknya untuk berbincang berdua. Hati Rois berbunga-bunga. Jantungnya berdetak lebih kencang, seperti genderang yang akan melaju dalam peperangan. Dia melompat kegirangan, bahkan tak peduli dengan beberapa guru yang melihat tingkah anehnya itu. Rois sama sekali dalam ketidakpercayaan. Dia yang selama ini berusaha keras untuk bisa dekat dengan bu Dinar. Sayangnya, setiap usahanya itu tak membuahkan hasil. Namun, kini Dewi Fortuna seperti sedang berada dalam genggamannya. Tanpa mendung dan juga hujan yang menyapa, kini tiba-tiba saja bu Dinar mengajaknya untuk sekadar berbicara. Hal itu sudah membuat Rois dimabuk kepayang. Bayangan wajah bu Dinar terus saja berputar-putar pada kedua bola matanya. “Pak Rois gak ada kelas? Kok masih santai di kantor.” “Bu Isma ini gak bisa lihat orang senang apa? ganggu saja!” “Pak Rois kesambet apa sih? Ini waktunya ngajar pak, semua guru sudah tidak ada di kantor, bapak masih saja di sini.” “Dasar bu Isma, iya saya ngajar gak usah begitu ngomongnya.” Rois segera mengambil buku ajar dan beranjak keluar kantor. Entah mengapa dia tak bisa berkonsentrasi dengan materi yang akan disampaikannya. Pikirannya hanya terbayang tentang kata-kata bu Dinar yang membekas dalam hatinya. *** “Ada apa bu Dinar mengajak saya untuk bertemu di sini?” Suara Rois terdengar sangat penasaran dengan apa yang akan dilakukan bu Dinar kepadanya. Sedangkan Bu Dinar yang juga sedang mengisi perutnya dengan semangkok soto. Dia seolah mencoba untuk membuat suasana bisa sedikit kondusif. “Pesan makanan saja, pak. Nanti kita bicara.” Bu Dinar kembali menunduk dan menikmati makanan yang sudah dipesannya itu. Rois pun tak mau diam saja, dia segera memesan menu yang sama dengan bu Dinar. Lalu beberapa menit kemudian satu mangkok soto beserta teh panas sudah menghiasi meja Rois. Tak mau menunggu lama lagi untuk menyantap menu yang baru saja datang itu. Rois menyeruput sedikit minuman itu. Lalu dia menyendok segera soto yang sudah siap untuk masuk ke mulutnya. Kedua guru itu pun menikmati menu makan siang. Setelah selesai. Tak ada yang dilakukan keduanya kecuali saling berbicara sesuatu yang sangat serius. Bahkan aura wajah bu Dinar yang biasanya meneduhkan saat dipandang. Kini tiba-tiba berubah menjadi sangat garang dengan keseriusannya itu. “Ada apa bu Dinar?” “Tolong katakan dengan jujur, Pak.” “Katakan apa?” “Untuk apa pak Rois memfitnah pak Fadli, dan mengatakan jika dia menggelapkan uang sekolah?” “Untuk apa saya fitnah dia, itu memang kenyataan bu Dinar, bukan sekadar fitnah.” “Pak, saya sudah tahu semuanya, saya tidak butuh berita bohong lagi dari bapak.” “Saya tidak mengerti dengan apa yang bu Dinar katakan itu.” “Pak Rois hanya meminjam bukan menggelapkan.” Wajah bu Dinar begitu sangat menakutkan. Keseriusan yang terlihat tanpa senyuman yang mengiringi. Bu Dinar menatap kedua mata Rois tanpa lepas. Seolah tak ingin membiarkan Rois lari begitu saja. “Saya tidak ada waktu untuk membahas masalah yang tidak penting ini.” “Tunggu pak Rois!” Rois beranjak lebih dulu. Dia seolah memang tak ingin membahas masalah tentang Fadli. Semua terasa begitu membosankan baginya. Rois pun meninggalkan bu Dinar dan terlihat dia segera mengoperasikan kendaraannya keluar area sekolah. Bu Dinar yakin, Rois pasti akan pulang. Bu Dinar menarik napas panjang. Dia ingin mencari solusi dari masalah yang menimpa Fadli. Dia tidak mau melihat Fadli yang terus mendekam di penjara. Apalagi anak dan istrinya sangat membutuhkan kehadirannya. Dinar tak mau berlama-lama lagi di kantin. Dia harus pergi ke rumah sakit untuk menjenguk bayi Fadli dan juga Yanti. Sekadar membantu dan menunaikan sebuah amanah yang dipercayakan kepadanya. Bu Dinar yang ringan tangan itu, sama sekali tak mengeluh dengan perjalanan yang membutuhkan waktu yang tak sebentar. Berkat semangat yang bersatu di dadanya. Bu Dinar dengan cepat telah berada di depan ruang bayi. Lalu, Bu Dinar menuju ke ruang dokter, dia ingin mengetahui informasi terbaru dari kondisi sang bayi dan juga ibunya. Namun, saat itu dokter hanya menyampaikan hal yang sama dengan kemarin. Belum ada kemajuan sedikit pun dari bayi dan ibunya. Bu Dinar pun mencoba menerima dengan lapang. Lalu dia pun menginformasikan sebuah nama untuk sang bayi yang diberikan dari ayah kandungnya. Puspa Hapsari menjadi tanda bahwa bayi itu kini memiliki sebuah nama yang begitu indah. Hati Bu Dinar terasa tercabik-cabik, melihat dua manusia yang tengah dalam kondisi tidak baik-baik saja. Belum lagi, ingatan bu Dinar kembali mengingat raut wajah Fadli yang sangat terpukul dengan apa yang telah disampaikannya. Bu Dinar tak bisa diam. Dia harus berusaha kembali, agar temannya itu segera bisa menghirup udara bebas. Bu Dinar yang masih belum bisa menemui kepala sekolah karena kondisi yang tidak memungkinkan. Kasus Fadli masih belum bisa menemukan titik temu. Tapi Bu Dinar seolah sangat yakin, jika semuanya bersumber dari Rois. Begitu pun dengan pelaporan yang Rois berikan kepada pihak yang berwajib. Bu Dinar tak mau menyerah. Dia akan kembali menemui Rois di kediamannya. Bu Dinar bahkan tak pulang dulu untuk sekadar beristirahat sejenak. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Rois. Dengan semangat pantang menyerah. Kini bu Dinar telah berada tepat di depan pintu rumah Rois. Bu Dinar mengetuknya segera. Berharap pintu itu segera dibukakan oleh tuannya. “Bu Dinar, ada apa kemari?” “Aku akan memberimu apa saja, pak. Asal engkau cabut laporan tentang pak Fadli di kepolisian.” Rois tertawa kecil mendengar ucapan bu Dinar. Sepertinya wanita itu berjuang penuh untuk bisa membebaskan Fadli dari penjara. Rois menatap wajah Bu Dinar yang sangat diinginkannya itu. “Benarkah engkau akan memberiku apa pun itu?” tanya Rois. “Ya,” jawab bu Dinar jelas. “Aku mau hatimu, kita menikah.” Tak ada jawaban yang keluar dari mulut bu Dinar. Dia seolah hanya mendengarkan sebuah petir yang menyambar begitu menakutkan. Menohoknya, membuat pikirannya seolah terhenti.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN