“Kadang kehadiran diri tak selamanya membuat lingkungan merasa senang.”
Tama Wijaya
Bagaimana rasanya hatiku, saat sebuah hinaan kembali kudengar. Siapa juga yang ingin menjadi yatim piatu. Tanpa ayah dan tanpa ibu. Aku seakan terlunta tanpa arah dan tujuan. Seseorang yang baik, seperti memungutku dari tumpukan sampah.
Namun, tak berselang lama, seseorang ingin mengembalikanku lagi di tempat sampah. Sungguh, rasanya getir sekali hatiku. Aku bukan wanita yang dengan mudahnya meneteskan air mata. Tapi aku tak memungkiri, bahwa jika dadaku sudah mulai sesak, aku pun selalu menghadirkan kristal bening dari kedua pelupuk mataku.
Dan kini, aku kembali tercengang dengan setiap kata yang dilontarkan bu Yanti padaku. Aku tak kuasa menahan sakit di d**a. Keberadaanku hanya membuatnya terus merasa marah. Tak ada senyum yang mengiringi pandangan matanya.
Mungkin baginya, aku seperti kotoran yang teramat menjijikkan. Dia tak menyukaiku, lebih tepatnya dia sangat membenciku, sejak awal kedatanganku di rumah sederhana ini.
Tubuhku bergetar hebat, menyaksikan tatapn garang bu Yanti yang tak pernah pudar. Dia seperti akan mencengkeramku, kaku kurasa pada setiap persendianku. Tak ada daya upaya bagiku. Aku masih saja diam, sembari mataku terus menelisik tanpa henti.
Sosok laki-laki penyabar itu sangat meneduhkan pandanganku. Dia panutan dalam hidupku, setelah ayahku tiada. Dia sangat baik, namun tidak dengan pasangan hidupnya. Aku sangat mengerti tentang keresahan yang kini sedang dialaminya.
Kebingungan seolah akan merenggut keputusannya. Dua pilihan yang pastinya sangat sulit untuk dipilihnya. Istri yang teramat dicintai dan aku, yang bukan siapa-siapa. Hanya sebatas murid yang selalu memberikan beban padanya.
“Ayo mas, cepat kamu usir dia dari rumah ini, atau aku yang pergi.”
Kata-kata itu membuat telingaku semakin panas. Betapa riuhnya raut wajah laki-laki yang tak jauh dariku. Sangat kentara jika dia memang tak bisa semudah itu menjawab pertanyaan yang begitu membingungkan.
Aku berdiri segera. Tak ingin perdebatan itu terdengar semakin panjang. Aku sendiri yang akan memutuskan. Demi ketentraman tanpa bpercekcokan. Aku berlari secepat kilat. Aku tak peduli lagi dengan keluarga itu.
Laki-laki yang amat kuhormati. Dia sempat mengejarku. Tapi, tubuhku yang kecil, serta aku memiliki kelebihan di bidang lari. Aku selalu memenangkan juara di setiap evennya. Bahkan aku sudah pernah mewakili propinsi. Dan aku pernah memenangkan predikat juara satu.
Tak sulit bagiku untuk bisa berlari seperti kuda atau bahkan kilat sekalipun. Kumenoleh, laki-laki yang teramat kuhormati itu, sudah tak terlihat lagi. Dia seperti kehilangan jejakku. Kini aku sendiri, di bawah cahaya rembulan yang meneduhkan.
Aku hanya menoleh ke beberapa penjuru. Aku seperti memiliki keraguan untuk melangkahkan kakiku. Aku tak tahu lagi kemana tujuanku. Hanya sepi dalam kebimbangan yang kini menemaniku. Aku pun masih tetap tak berderak. Diam memikirkan hal yang sama sekali aku tak mengetahuinya.
***
Fadli tak bisa menemukan Tama. Dia kembali ke rumahnya dengan perasaan bercampur aduk. Dia merasa khawatir dengan laki-laki kecil itu. Tapi, Fadli juga tak bisa meninggalkan anaknya sendiri di rumah sakit.
Fadli bak simalakama. Dia harus memutuskan dalam kepahitan. Wafa yang sekarang juga dalam kondisi jatuh. Dia harus tetap berada di sampingnya. Fadli pun kembali berbelok arah. Dia akan kembali lagi ke rumah sakit.
Semalaman Yanti tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya menari-nari tentang kondisi dua anaknya yang kini seolah dalam kepiluan. Yanti tiba-tiba membangunkan tubuhnya. Dia tersadar bahwa seharian tak melihat batang hidung Wafi.
Yanti yang menatap jam dindingnya pukul satu pagi. Dia dengan segera keluar kamar dan menuju kamar Wafi. Sayangnya, Yanti tak melihat sosok anaknya di dalam kamar itu. Yanti memanggil nama Wafi berkali-kali, namun dia sama sekali tak mendengar jawaban atas panggilannya.
Yanti melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu. Dia terduduk kaku sambil memegang dahinya. Apa yang dirasakannya seolah sangat berat. Belum lagi dia menatap perutnya yang semakin besar. Kandungannya ini juga menjadi beban baginya.
Kedua mata Yanti basah. Dia tak tahu bagaimana nantinya, tetangga-tetangga akan membicarakan dan mencemooh keluarganya. Semuanya terasa kalut.
Hingga tak terasa, Yanti yang hanya berkutat dengan beban pikirannya. Pagi pun menyapa. Jarum jam tengah menunjukkan pukul lima pagi. Dilihatnya Fadli yang ternyata baru saja datang dari rumah sakit.
“Kenapa kamu pulang? Wafa sama siapa di sana?”
“Aku harus ke ladang, sebentar lagi sayuran-sayuran kita panen, supaya bisa dijual untuk kebutuhan kita.”
“Kalau begitu biar aku ke rumah sakit.”
“Jangan, kamu di rumah saja, biar Wafa aku yang urus.”
“Kenapa begitu?”
“Aku hanya ingin kamu tidak letih, kamu kan sedang hamil.”
Tak tahu lagi bagaimana caranya Fadli mencari alasan agar Yanti tidak bertemu dengan Wafa. Seolah, Fadli tak sanggup bila Yanti segera mengetahui bila Wafa sekarang tak bisa berjalan lagi. Fadli yakin, Yanti akan semakin sedih hatinya.
“Kamu tidak ke sekolah.”
“Nanti dari ladang, aku akan ke sekolah sebentar untuk ijin, setelah itu aku akan kembali menjaga Wafa.”
Baru saja Fadli akan beralih. Terlihat Wafi yang baru saja datang dari luar. Fadli menatap anaknya yang terlihat sedang mengantuk berat. Dia bahkan jalan sempoyongan. Yanti dengan segera menarik Wafi untuk duduk di kursi.
“Bu, sakit tanganku, kenapa harus ditarik sih?”
“Kamu bilang sakit? Sakitmu itu akan mudah hilang tapi tidak dengan sakit yang kamu torehkan di wajah ibumu ini.”
Nada bicara Yanti meninggi. Fadli yang tak mengerti dengan maksud ucapan yang keluar dari mulut istrinya itu. Begitu juga dengan Wafi. Dia sama sekali tak memahami kata-kata dari sang ibu.
“Bu, yang tenang, jangan marah-marah lagi, nanti tensimu naik,” bujuk Fadli.
“Bapak tahu apa yang telah dilakukan anak ini?!”
Tatapan mata Yanti semakin garang. Wafi hanya menatap tanpa merasa dosa. Dia sama sekali tak mengerti. Hanya diam dan seakan berlaku masa bodo dengan apa yang dikatakan ibunya. Sedangkan Fadli, terus saja berusaha untuk menenangkan istrinya, dia mengelus bahu istrinya dengan lembut.
“Kamu tahu, wanita yang kamu hamili itu menuntut tanggung jawabmu, keluarganya ke sini dan meminta kamu untuk menikahi anaknya.”
Nada bicara Yanti semakin tak terkontrol. Wafi mendengar kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Dan Fadli seolah ingin memastikan kembali kata-katayang didengarnya. Dia tak ingin salah. Fadli mendekat ke arah Yanti.
“Apa yang kamu katakan itu sebuah kebenaran, Yan?” tanya Fadli.
“Ya, Wafi telah menghamili seorang gadis.”
Air mata Yanti kembali terjatuh. Hatinya terasa sangat beku, mengingat kedatangan orang tua Indah yang menuntut sebuah tanggung jawab.
Fadli seakan tertampar dengan berita itu. Dia merasa gagal mendidik anaknya sendiri. Kekecewaan hadir tanpa diminta. Bias kesedihan pun mengiringi, kediaman yang kini menjadi sunyi. Tak ada kata-kata yang keluar, selain hanya embusan angin yang masuk melalui pintu dan ventilasi jendela.
“Aku tidak menghamilinya, aku hanya difitnah, pak, bu.”
Wafi mencoba untuk membela dirinya. Dia berusaha untuk meyakinkan Fadli dan juga Yanti. Sayangnya, tak ada lagi ucapan di antara mereka. Masih sunyi, dengan hiasan air mata Yanti yang mengiringi.
“Kamu harus menikahinya, Wafi.”
“Tidak, aku bukan ayah dari janin itu, aku tidak akan menikahinya.”
Yanti yang mendengar jawaban Wafi, seketika kemarahannya seperti berada di ubun-ubun. Seketika dia menampar Wafi dengan cukup keras. Wafi sangat terkejut dengan perlakuan ibunya itu.
“Kamu mau meniru jejak ayahmu? Meninggalkanmu saat kamu berada di janin, ibu. Iya?”
“Ayah siapa? Fadli?”
Yanti bergidik dengan ucapannya sendiri. sedangkan Fadli mencoba menenangkan Yanti yang sedang diselimuti emosi.
“Kamu harus menikahinya, harus!”
“Tidak bu, aku tidak pernah menghamilinya.”
“Diam kamu Wafi!”
Suasana semakin memanas. Kemarahan Yanti sudah tidak terelakkan. Fadli mencoba menjadi air yang bisa memadamkan api. Meski dirinya sendiri sangat terpukul dengan apa yang kin terjadi dalam hidupnya.
Serasa, ujian tak habis menghampirinya. Fadli menarik napas panjang. Dia kemudian meminta Wafi dan Yanti duduk bersama di ruang tamu.
“Wafi, bapak tahu kamu anak bapak yang ...”
“Sudahlah, pak. Tak usah banyak omong lagi, bapak mau memarahiku seperti ibu, kan? Aku sudah bilang, aku sama sekali tidak menghamili wanita itu. ”
“Tenang, kita bisa berbicara baik-baik terkait hal ini.”
Selang beberapa detik kemudian. Tak disangka Indah dan keluaganya sudah berada di depan pintu rumah Fadli. Pintu yang terbuka lebar itu pun menghantarkan pandangan mereka pada keluarga Fadli yang tengah berbincang.
Yanti yang tatapan matanya mengetahu kedatangan keluarganya Indah. Dia segera membuang wajahnya. Melemparnya ke kiri dan menatap lantai putih di bawahnya.
Perlahan, keluarga Indah pun masuk dengan sambutan hangat dari Fadli. Duduk di kursi dan saling bertukar senyum. Wafi serasa ingin melarikan diri. Sayangnya, posisi duduknya terhimpit. Menjadikan Wafi diam tak bisa berkutik lagi.
“Maafkan kami, tidak sepantasnya kami bertamu sepagi ini, kami hanya ingin bertemu Wafi, untuk memintanya segera menikahi putri kami.”
Wafi yang mendengar ucapan itu, seakan terseulut emosi. Dia menatap ayah Indah dengan tatapan garang. Bahkan dia berdiri dari tempat duduknya dan kedua tangannya berada di pinggang.
“Aku tidak akan menikahi Indah, karena aku sama sekali tak pernah melakukan apa pun dengannya,” sahut Wafi.
“Jangan bohong kamu, Fi. Apa kamu tidak ingat, malam itu di rumah Tristan,” Indah berusaha untuk menyangkal.
“Aku sama sekali tidak menyentuhmu, Indah.”
“Bohong, kamu datang ke kamar itu dalam keadaan gelap saat aku tertidur, dan kamu ...”
Indah tak melanjutkan perkataannya. Dia tak kuasa menahan beban di benaknya. Indah meneteskan bulir air matanya berkali-kali. Dia tak sanggup lagi mengingat kejadian yang membuatnya ingin menjerit keras.
Rintihan dalam hatinya, seperti tak bisa lagi untuk dibendung. Dia merasa sangat terpukul dengan kondisi yang menimpanya.
“Apa buktinya jika engkau hamil, Indah!”
Wafi kembali menentang ucapan Indah. Dia tak mau begitu saja menyerah dengan himpitan keluarga yang kini seakan mengepungnya.
Indah membuka tas kecilnya. Dia mengeluarkan alat tes kehamilan. Memperlihatkannya pada Wafi. Dua tanda garis merah itu terlihat sangat jelas. Yanti dan Fadli pun turut melihatnya. Rasa pilu memeras hati masing-masing.
“Jika memang terbukti Wafi yang menghamili Indah, Wafi akan bertanggung jawab untuk menikahinya.”
Suara Fadli terdengar lirih. Wafi merasa tak terima dengan ucapan yang didengarnya itu. Dia sama sekali tak menaruh hati pada Indah. Namun, kata menikah seolah membuat dunia Wafi seakan kiamat, berakhir.
“Usia kehamilan Indah sudah sepuluh minggu, saya harap pernikahan ini segera dilaksanakan,”seru ayah Indah.
Yanti kali ini hanya menjadi pendengar. Dia sama sekali tak berkomentar apa pun. Hatinya bak diperas. Tercabik-cabik dengan rintihan rasa kelam yang mencekiknya. Air matanya selalu hadir, di setiap embus napasnya. Tak terbendung lagi, rasa kecewa penuh penyesalan dalam benaknya.
Sedangkan Wafi. Dia terus saja mengumpat dalam diam. Dia tak siap bila harus menjadi suami sekaligus ayah dari janin yang sekarang Indah kandung.Wafi akan menerima beban berat jika dia menikah dengan Indah. Pikirannya terasa buntu.
“Ppak Fadli, saya harap lusa mereka bisa menikah terlebih dulu di bawah tangan.”
Suara ayah Indah, membuat suasana semakin sunyi. Semua sibuk berpikir dalam kepiluan. Tak ada yang mengiyakan dan tak ada pula yang menolak. Semua hanya karena waktu, yang seolah semakin menipu.
Yanti terus saja tersedu. Kejadian di masa lalu berkelibat selalu di kedua kelopak matanya. Tak menyangka, jika sang anak telah mengikuti jejak laki-laki yang tak mau bertanggung jawab atas kehamilannya.