Part 19 - Di antara Dua Pilihan

2008 Kata
Yanti seolah tak bisa bernapas dengan lega. Pikiran dan penglihatannya seolah terganggu dengan apa yang kini menjadi sebuah ketakutan baginya. Jantungnya berdebar hebat, dan tatapan matanya pun tak bisa beralih dengan mudah. “Bu, Wafi menghamili saya.” Wanita bernama Indah itu membuat Yanti menatap tanpa arah. Apa yang didengarnya seperti letusan bom atom yang begitu riuh. Yanti tersentak, dia masih saja enggan untuk menanggapi ucapan wanita itu. “Anak saya hamil karena anak ibu, kami tidak mau jika apa yang terjadi membuat keluarga kami semakin malu, anak ibu harus segera menikahi anak saya.” Ibu Indah, mengatakan perasaan dari lubuk hatinya yang terdalam. Dia tak mau bila sang anak menderita sendirian, meskipun sebuah kesalahan sudah terlanjur terjadi. Kedua orang tua indah mencoba untuk memecahkan solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan Yanti yang mendengar kata menikah, seolah  tak kuat menahan sesak di dadanya. Umur sang anak masih sangat belia. Masa depannya masih sangat panjang untuk diraih. Namun, kini batu besar seakan menjadikan halangan bagi Wafi untuk melangkah. Yanti tak kuasa menahan beban itu. Badannya seketika lemas tak berdaya. Yanti tak bisa berpikir dan badannya jatuh di senderan kursi. “Yah, bagaimana ini?” “Ayah juga bingung.” Keluarga Indah tampak saling pandang satu sama lain. Yanti masih saja tak membuka matanya. Ibu Indah berusaha untuk menepuk pipi Yanti berkali-kali. Sayangnya usahanya itu tak membuahkan hasil. Yanti tetap saja diam tak bergerak. Tak lama, Tam datang berlari memasuki rumah. Dia berteriak memanggil nama Yanti. Tak tahunya, wanita yang sedang dalam ucapan bibirnya itu kini tengah terbaring dengan terpejam matanya. “Ada apa dengan bu Yanti, kenapa?” Rujak buah yang menghiasi genggaman tangan Tama, tak sadar dia jatuhkan ke lantai. Tama segera mendekat ke arah Yanti dan berusaha untuk membangunkan Yanti dengan menggoyah-goyahkan tubuh yang tengah kaku tak berdaya itu. “Pak, tolong bawa bu Yanti ke rumah sakit.” Tama menatap wajah ayah Indah penuh dengan pengharapan dalam benaknya. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu. Tama mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang berada di dekat Yanti. “Bu, ayo cepat bawa bu Yanti ke dokter.”   “Tidak perlu, berikan saja minyak angin, saya yakin dia akan sadar.” Tama banyak diam. Dia segera mencari apa yang dikatakan ibu Indah kepadanya. Tama mencari di berbagai tempat minyak angin itu. Namun, Tama tak menemukan apa pun. Tama hampir mneyerah dengan apa yang sedang dicarinya. Tama kembali berlari keluar. Dia terus saja menggoyah-goyahkan tubuh Yanti tanpa henti. Tama tak mau menyerah. Dia sangat ketakutan, bila Yanti tak segera sadar. Tama memanggil Yanti dengan keras di telinga kanan Yanti. Tama tak mau menyerah. Dia harus bisa membuat Yanti untuk segera bangun dari pejaman matanya. Dan akhirnya, usaha Tama pun telah mendapat hasil yang baik. Yanti mulai menggerakkan tubuhnya perlahan. Tama menghadirkan senyumnya. Dia senang, jika Yanti sudah sadar dari pingsannya. Tama sangat cekatan. Dia kemudian mengambilkan segelas air putih. Dan diberikannya segera pada Yanti. Agar Yanti bisa sedikit bisa lebih tenang. “Bu, minum dulu!” pinta Tama. Yanti hanya diam, dan menerima uluran gelas dari Tama. Meneguk sedikit air putih dari gelas. Lalu pandangan Yanti kembali kepada dua orang asing yang masih berada di depannya. Yanti seolah tak bisa berkata lagi. Air matanya menetes tanpa diminta. Dia tetap diam dalam pikiran yang berkecamuk, riuh seperti angin p****g beliung yang memporak-porandakan isi hatinya. “Tama, ke mana suamiku?” Pertanyaan Yanti seketika mengingatkan Tama tentang kejadian yang menimpa Wafa beberapa jam yang lalu. Bahkan Tama sampai lupa untuk memberitahukan hal tersebut pada Yanti. Dan kini pertanyaan itu, seolah menjadi pengingat baginya. “Bapak ada di rumah sakit, bu.” “Rumah sakit. Untuk apa?” “Mas Wafa tadi mengalami kecelakaan, dan bapak mengantarkannya ke rumah sakit.” Bulir air mata seketika menghiasi kedua pipi Yanti. Kali kedua dia harus menerima berita tak mengenakkan itu. Yanti terisak, tak tahu apalagi yang bisa dilakukannya, selain hanya menangis. Tak peduli dengan kehadiran kedua orang tua Indah di depannya. “Saya minta kalian pulang sekarang.” Suara Yanti menggema. Dia tak tahu lagi pikirannya akan menyikapi kenyataan seperti apa lagi. Yanti hanya ingin jeda ruang dalam batinnya. Kedua orang tua Indah saling memandang satu sama lain. “Ijinkan aku untuk bertemu Wafi, bu. Karena beberapa hari ini Wafi sulit sekali aku temui.” Indah menatap wajah Yanti dengan iba tertorehkan. Namun, Yanti yang pikirannya sedang kacau itu, tak bisa berkomunikasi dengan baik. Seolah dia hanya ingin kesendirian tanpa siapa pun yang mengganggunya. “Datanglah besok, aku harus pergi ke rumah sakit untuk melihat putraku, pergi dari rumahku.” Sura Yanti lirih namun intonasinya sangat jelas. Dia menatap ke lantai. Sama sekali tak menghantarkan kepergian keluarga Indah. Yanti seolah ingin menjerit, tapi bibirnya tak mampu untuk melakukan itu. *** Fadli harus berusaha untuk kuat demi sang anak. Ketika dokter datang memberikan kabar yang sama sekali tak pernah terbayang di benaknya sebelumnya. Anak yang paling dicintai, kini harus menerima penderitaan seumur hidupnya. “Wafa mengalami lumpuh permanen, Pak.” Kata-kata dari dokter itu terus saja meraung dalam benaknya. Dia masih belum bisa menemui Wafa. Seolah Fadli masih perlu mneguatkan dirinya dulu, sebelum akhirnya dia menyampaikan kenyataan pahit di depan Wafa. Cukup lama, Fadli terdiam dengan pikiran yang terus melayang. Dia kini seakan lebih bisa tenang daripada sebelumnya. Fadli pun berdiri dan segera melangkah untuk menemui Wafa. Senyumnya merekah, menutupi topeng kesedihan yang sedang merajuknya. Di depan Wafa, Fadli selalu menghadirkan senyumnya tanpa henti. Namun, senyum itu tak terbalaskan. Wafa hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Fadli pun mengambil posisi duduk di samping Wafa. Akan Tetapi, seketika Wafa memalingkan wajahnya dari Fadli. Ada keanehan bagi Fadli melihat sikap Wafa kepadanya. Fadli pun membelai mesra tangan kanan Wafa. Dan hal yang mengejutkan kembali diterima Fadli. Wafa seolah mengibaskan sentuhan dari Fadli. “Semua akan baik-baik saja, nak.” “Apanya yang baik-baik, Pak. Jika aku lumpuh seperti ini, apa itu juga baik untuk hidupku.” Fadli tersentak dengan ucapan yang didengarnya itu. Fadli mengira jika Wafa belum mengetahui kondisinya. Dan ternyata dugaannya salah. Wafa sudah mengetahui kondisi kakinya yang sudah tak bisa dipergunakan untuk berjalan seperti biasanya lagi. “Ini hanya sementara, kamu pasti bisa sembuh, nak.” “Aku minta bapak keluar. keluar!” “Wafa, tenanglah. Bapak akan tetap menjagamu di sini.” “Aku bilang keluar, keluar sekarang!” Emosi Wafa memuncak. Dia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Kemarahannya tak bisa dihentikan. Bahkan dia sempat menjerit dengan sangat keras, dan suster pun datang untuk melihat kondisinya. Wafa tak kuasa menahan air matanya. semua tertumpah dengan hati teriris sembilu. Fadli yang melihat kondisi anaknya pun seakan tak mampu berdiri lama dalam kebimbangannya. Suster mengarahkan agar Fadli mengikuti keinginan Wafa, demi menjaga kestabilan emosi pasien. Hal yang wajar jika pasien belum bisa menerima keadaannya pasca kecelakaan. Fadli menahan air matanya agar tak jatuh. Perutnya yang lapar saja tak dihiraukan. Fadli kini hanya memikirkan nasib anaknya. Seolah harapan untuk meraih masa depan pun tergadaikan. Tugas Fadli kini akan semakin berat. Dia harus bisa memberikan motivasi untuk membangun kepercayaan diri anaknya. Kondisi yang kini membuat jurang seakan tak bisa dihindarkan. Fadli menarik napas panjang. Dia terdiam dengan menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. “Pak, bagaimana kondisi Wafa?” Suara yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Fadli. Dia membuka kedua telapak tangannya yang sedari tadi menutup wajahnya. Sosok wanita yang sangat dicintainya itu kini telah datang di dekatnya. “Yanti, kamu ke sini dengan siapa?” “Tidka penting, katakan bagaimana kondisi Wafa?” Fadli terdiam dan dibuat sibuk dengan pikirannya sendiri. Fadli dalam ketakutan untuk menyampaikan kenyataan yang kini sedang dialami Wafa. Kehamilan Yanti membuat Fadli maju mundur untuk berkata jujur. “Pak, jangan diam saja, cepat katakan!” “Dia sudah siuman, Wafa bak-baik saja, bu.” “Aku ingin bertemu dengan anakku.” Yanti melangkah dengan cepat menuju ruangan Wafa. Namun, dengan cepat pula Fadli mencegahnya. Dia tak mau jika Yanti mengetahui kondisi yang mengejutkan itu. “Yan, tunggu, Wafa sedang istirahat dan tidak boleh diganggu.” “Kenapa? Aku ibunya Mas, aku berhak untuk melihat anakku sendiri.” “Iya, aku tahu. Tapi ini sudah aturan rumah sakit, kita tidak bisa mengganggu istirahat pasien.” “Mana mungkin begitu, aku ini ibunya.” “Iya, Yan. Aku tahu itu. Tapi Wafa memang sedang butuh istirahat yang cukup, agar dia bisa cepat pulang.” Yanti terdiam dengan ucapan Fadli. Dia sangat ingin bertemu dan melihat kondisi Wafa. Namun, lagi-lagi dia mendengarkan apa yang dikatakan Fadli kepadanya. Yanti pun kembali terduduk dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Tangisan itu kembali hadir. Yanti tak bisa membendung rasa sakit dalam hatinya. Kedua anaknya kini sedang menghadapi masalah dalam hidupnya. Yanti terisak, hal itu membuat Fadli merasakan keanehan pada istrinya. Yanti yang akhir-akhir ini jarang sekali meneteskan air mata, bahkan yang dia tahu, Yanti selalu emosi dan menghiasi hari-harinya dengan kemarahan. Namun, tidak dengan sekarang. Dia seperti dalam kepiluan. “Kenapa kamu menangis? Wafa baik-baik saja, Yan.” Fadli mencoba menyeka kedua mata Yanti yang masih meneteskan air mata itu. Yanti pun memandang suaminya dengan perasaan hancur berkeping-keping. “Kamu tahu Mas, anakmu menghamili anak orang.” Fadli tersentak dengan informasi yang dikatakan Yanti itu. Fadli masih belum tahu siapa yang dikatakan Yanti. Wafa atau Wafi yang melakukan hal k**i itu. Fadli menatap Yanti dalam tanda tanya besar. “Siapa yang kamu maksud, Yan?” Yanti hanya diam dengan tetes air mata yang terus menghiasi kedua matanya. Yanti tak bisa menahan riuh dadanya. Dia menunduk menatap lantai putih yang diinjaknya. Fadli merasa ingin cepat tahu atas jawaban yang dinantinya itu. “Wafa?” Suara Fadli lirih terdengar di telinga Yanti. Namun, gelengan kepala Yanti seolah menandakan bila apa yang dikatakan itu tak benar. “Wafi?” Fadli memastikan lagi. Yanti tak mengangguk dan juga tak menggeleng. Dia tak memberikan isyarat atas pertanyaan itu. Hanya saja, dia kembali menangis dengan menyembunyikan wajahnya pada kedua tangannya. Hati Fadli terasa digunting perlahan. Perih dan bahkan seperti mengeluarkan tetesan darah yang tak henti-hentinya menetes. Berita yang membuat Fadli seakan ingin menggebrak benda di sampingnya. Tapi, lagi-lagi Fadli harus memasang topeng ketegaran pada wajah dan juga sikapnya. Fadli hanya ingin menjaga ketenangan hati Yanti. Istrinya harus berjuang untuk tetap menjaga kandungannya. Meskipun dalam hati Fadli sudah tak berbentuk lagi emosi dan rasa kecewanya. Tapi, dia harus benar-benar pandai bermain drama. “Sudahlah, Yan. Semua akan baik-baik saja, semua ini juga akan berlalu.” “Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan, Mas.” Fadli mendekap istrinya, seolah memberikan semangat atas apa yang kini terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. “Aku antarkan kamu pulang, ya. Kamu istirahat di rumah saja, lagian Wafa juga sudah tidur.” Yanti hanya diam dengan kelinglungan hatinya. Fadli kemudian menggandeng Yanti untuk melangkah keluar rumah sakit. Fadli menyetop angkot yang lewat jurusan rumahnya. Mempersilakan Yanti untuk naik terlebih dahulu. Sesampainya di rumah, Yanti melihat rujak buah terjatuh di lantai dan berserakan. Sedangkan tak jauh dari situ, terlihat Tama telah terbaring dalam tidurnya. Yanti segera melangkah dan membangunkan Tama. Dengan diselimuti rasa kantuk, Tama pun membuka matanya dengan sangat berat. Fadli mencoba untuk menghentikan apa yang dilakukan Yanti pada istrinya. “Siapa yang suruh kamu tidur di sini, bangun!” Tama begitu merasa ketakutan dengan ucapan garang Yanti, menggema memenuhi seluruh ruangan. Tama hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. “Yan, berhenti berkata kasar pada Tama, dia juga anak kita.” “Kata siapa dia anak kita, tidak. Dan asal mas tahu, gara-gara anak ini, kita menemui musibah yang besar.” “Jangan sembarangan jika berbicara, Yan.” “Buktinya, setelah kehadiran anak ini di sini, Wafa kecelakaan dan kabar Wafi menghamili anak orang menjadi bencana besar bagi keluarga kita.” “Cukup! Masuk ke kamarmu sekarang.” “Tidak, Mas. Kamu harus pilih aku atau dia. Jika kamu pilih anak pembawa s**l ini, aku akan pergi dari rumah ini.” “Apa yang kamu katakan itu, Yan?” “Cepat usir dia dari rumah ini, atau aku yang pergi!” Fadli tercengang dengan ancaman Yanti. Dia tak mudah untuk memutuskan. Fadli terdiam, sembari pandangannya terus saja tertancap pada anak yatim piatu yang teramat dicintainya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN