Fadli tercengang dengan jawaban yang terlontarkan dari mulut Wafa. Dia seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh anaknya itu. Fadli menghela napasnya, berusaha untuk bersikap tenang tanpa adanya emosi yang mengiringi.
“Baiklah, bapak ucapkan terima kasih, karena kamu sudah berani berkata jujur, Wafa. Tapi bapak minta ini menjadi pertama dan terakhir untuk kamu bolos sekolah.”
“Iya, Pak.”
“Istirahatlah kalian berdua, besok harus bangun pagi dan sekolah.”
Fadli meninggalkan kedua anaknya. Dia segera menuju kamarnya. Memegang gagang pintu rumahnya, namun terlihat pintunya telah terkunci dari dalam. Fadli mengetuk pintu berkali-kali, dan sesaat kemudian Yanti baru membuka pintu yang sengaja dikuncinya itu.
“Kenapa harus dikunci?”
Petanyaan Fadli sama sekali tak dijawab oleh Yanti. Dia kemudian menuju tempat tidur dan segera memejamkan matanya. Sedangkan Fadli merasa ada keanehan yang dirasakannya. Namun, Fadli berusaha untuk menepisnya, dia kemudian menyusul Yanti menuju fatamorgana.
***
Yanti masih terbungkus selimut dengan lelap tidurnya. Meskipun sinar mentari telah hadir menerobos jendela kamarnya. Dia masih saja terjaga. Sedangkan Fadli sudah harus masak untuk sarapan pagi.
Fadli tak muluk-muluk untuk sajian sarapan bersama anak dan istrinya. Dia cukup menanak nasi, lalu menggoreng telur dadar dan juga berhias sambal tomat. Semua itu sudah lebih dari cukup baginya.
Fadli kemudian menuju ke ladang yang tak jauh dari rumahnya, setidaknya masih ada waktu untuknya menanam bibit cabe yang telah diberinya kemarin di pasar. Dengan semangat baja, Fadli pun menunaikan niatnya.
Fadli menaruh harapan pada biji cabe yang telah ditanamnya itu. Tak hanay cabe, Fadli pun telah menanam tomat untuk bisa menopang ekonominya. Dia yang harus mengumpulkan rupiah demi biaya persalinan dan juga kebutuhan rumah tangganya.
Fadli yang melihat mentari semakin cerah dan beranjak meninggi. Dia dengan cepat kembali ke rumahnya untuk segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dia melihat Wafa dan Wafi sudah duduk di meja makan untuk sarapan.
“Pak, uang untuk bayar sekolah mana?”
Suara Wafi terdengar sangat jelas, saat dirinya melihat Fadli yang baru saja masuk rumah melalui pintu dapur itu.
“Iya, sebentar. Bapak ambilkan dulu.”
Fadli dengan cepat menuju ke kamarnya untuk mengambil uang sekolah anaknya. Dia mengambil tasnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dia segera membuka tasnya, namun Fadli seketika panik, saat dirinya tak mendapati uang di dalam tasnya itu.
Fadli mengeluarkan seluruh isi tasnya. Dia mencoba mencarinya lebih teliti lagi. sayangnya, semua isi tasnya itu sudah dikeluarkannya. Namun, dirinya masih saja tak menemukan sedikit uang yang masih disimpannya.
Fadli mencoba memutar memorinya. Dia ingat betul jika uang itu ditaruh di dalam tasnya dan tidak dipindahkan ke mana pun. Jumlah uang sekitar enam ratus ribu itu seharusnya masih harus berada di dalam tas miliknya.
Tiba-tiba saja, pikiran Fadli teringat saat Yanti sedang menutup pintu kamar mereka kemarin malam. Fadli sebenarnya tak ingin menaruh kecurigaan pada istrinya sendiri. Namun, tak ada lagi yang membuat pikirannya tak mengarah ke Yanti. Kerana yang ada di kamarnya hanya Yanti seorang.
Fadli pun mendekat ke arah Yanti yang masih terbungkus selimut dan terpejam matanya. Tangan Fadli pelan menyentuh tubuh Yanti, bermaksud untuk membangunkannya.
“Yan, bangun sebentar, Yan.”
Yanti yang masih terlelap itu pun sangat susah untuk membuka matanya. Bahkan Yanti mengambil guling untuk menutupi wajahnya. Dia sama sekali tak ingin mendengar apa pun yang bisa membuat telinganya terganggu.
Fadli berusaha lebih keras lagi. Dia harus tetap membangunkan istrinya. Fadli harus menanyakan keberadaan uang yang ada di dalam tasnya itu. Fadli sedikit kencang menggoyahkan tubuh Yanti, hingga Yanti merasa tak nyaman dan segera membuka matanya.
“Kamu ini apa-apaan sih, Mas. Aku ingi ngantuk dan butuh istirahat yang cukup.”
“Tolong jangan marah dulu, Yan. Aku hanya ingin tanya, apa kamu tahu uang yang ada di dalam tasku.”
“Emmm ... aku tidak tahu.”
“Yan, tolonglah kamu jujur, itu uang untuk bayar sekolah anak-anak, tolong kembalikan.”
“Aku tidak tahu, Mas.”
“Yan, tak ada orang lain yang masuk ke kamar kita, selain aku dan kamu, kembalikan sekarang atau ...”
“Atau apa?! kamu mau marahin aku, aku juga butuh uang, mas.”
“Iya, aku mengerti. Begini saja, nanti pulang sekolah aku akan menjual dua ayamku dan akan kuberikan uangnya kepadamu.”
“Aku tidak mau.”
“Yan, tolong pikirkan Wafa dan Wafi. Mereka sudah telat bayar tiga bulan, biarkan aku cicil dulu p********n mereka dengan uang itu.”
“Aku sudah bilang tidak ya tidak, Mas.”
Yanti kembali membungkus dirinya dengan selimut dan mencoba untuk melelapkan kembali tidurnya. Sedangkan Fadli terasa bingung dengan langkah yang akan diambilnya.
Fadli memutuskan untuk mandi sebentar. Di dalam kamar mandi, dia seolah mendapat sebuah bisikan yang seakan bisa membantunya untuk mendapatkan uangnya kembali. Fadli tersenyum kecil. Dan setelah dia selesai mandi, Fadli tahu apa yang harus dilakukannya, meski nantinya dia akan bertengkar lagi dengan Yanti.
***
“Ini ada uang enam ratus ribu, sementara bapak baru bisa cicil biaya sekolah kalian dua bulan, nanti jika ada uang, bapak akan kasih lagi untuk kalian.”
Fadli kemudian membagi uang itu untuk anaknya. Tiga ratus ribu untuk Wafi dan tiga ratus ribu juga untuk Wafa. Fadli berharap, dengan begitu anaknya tidak merasa malu lagi jika menunggak uang sekolah terlalu lama.
Wafa dan Wafi pun segera berlalu terlebih dahulu. Sedangkan Fadli masih harus mengambil termos es untuk tempat es lilin yang sudah dibuatnya kemarin. Fadli berhias senyum dan membawa termos es itu dengan sepeda pemberian dari ayah Tama.
Fadli mengayuh sepeda itu dengan penuh harapan yang tergantung di langit biru. Dia kemudian menitipkan esnya di kantin sekolah. Fadli tanpa rasa malu, mencoba bagaimana caranya dia mendapatkan tambahan finansial.
“Bu, saya mau nitip es lilin ini, dari saya harganya empat ribu saja perbiji, nanti ibu bisa menaikkan sendiri harga esnya.”
“Ini pak Fadli sendiri yang buat?”
“Iya, bu. Ibu tidak keberatan kan kalau saya titip dagangan ini?”
“Sama sekali tidak, Pak. Nanti jika tidak habis bapak bisa bawa kembali esnya pulang, ya.”
“Tentu, bu.”
“Baik, Pak Fadli.”
Fadli sangat senang. Ibu kantin menerima tawarannya dengan sangat terbuka. Setelah menitipkan dagangannya itu, Fadli segera menuju ke kantor guru sebelum bel masuk berbunyi.
“Pak Fadli, gak nyoba CPNS?”
“Memangnya ada pembukaan, Bu Dinar?”
“Iya, pak. Jadwalnya sih mulai minggu depan dibuka pendaftarannya, ayo sama –sama mencoba, pak. Siapa tahu rejeki.”
Bu Dinar, guru junior yang ramah kepada guru-guru lain. Fadli merasa sangat beruntung memiliki rekan kerja seperti bu Dinar. Rekan yang lain, seolah menanggapi apa yang diperbincangkan oleh Fadli dan juga wanita ramah itu.
“Bu Dinar kan masih muda, kesempatannya masih terbentang luas, kalau pak Fadli usianya kayaknya sudah habis deh untuk daftar CPNS lagi.”
Suara Rois menimpali. Dia yang sudah lama sebagai abdi negara itu pun seolah memili rasa tinggi hati dengan apa yang diucapkannya itu.
“Tidak apa-apa pak Rois, siapa tahu kali ini keberuntungan berpihak kepeda kita semuanya, kalau pak Rois kan tinggal menikmati hasil perjuangannya dulu, kan?”
Fadli tak menimpali pembicaraan mereka. Dia seolah tertantang dengan apa yang dikatakan Rois kepadanya. Fadli terdiam cukup lama.
***
Mengerjakan soal CAT yang etrdiri dari berbagai macam pengetahuan. Hujan diterjang demi sebuah impian. Perut lapar pun harus tertahan, hanya karena sebuah keinginan yang menjulang. Belajar semalaman untuk hasil yang memuaskan.
Saat itu, Fadli yang selalu berjuang setiap tahunnya untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil, yang memiliki banyak sekali keuntungan untuk hidup yang lebih baik. Bahkan dia sudah hampir sepuluh kali mencalonkan dirinya.
Namun, mimpi itu masih tak bisa diraihnya. Fadli selalu gagal meraih gelar PNS itu. meskipun keyakinan yang dimiliki cukup kuat. Fadli harus mengiyakan sebuah kenyataan yang terasa pahit baginya.
Sepuluh kali gagal, bukanlah hitungan yang sedikit. Bahkan sebuah kejadian yang memilukan pun pernah dilaluinya. Fadli harus naik angkutan umum dan dompetnya dicopet. Dia pulang harus berjalan kaki seratus kilometer.
Fadli yang melewatinya dengan tetes air mata kala itu, namun dia masih belum berhasil untuk mendapatkan sebuah impian yang didambakannya. Semua kisah masa lalu itu seolah memberikannya sebuah kekuatan yang sangat berharga.
“Pak Fadli, ayo kita apel pagi dulu.”
Suara bu Dinar membuyarkan lamunan Fadli. Dia mengingat perjuangannya saat mengikuti seleksi CPNS beberapa tahun ke belakang. Dulu dia rela berpayah-payah demi sebuah keinginan, dan sepertinya kali ini Fadli pun masih tertantang untuk mencobanya kembali.
***
Yanti yang baru saja membuka matanya. Mengibaskan selimutnya dan seketika matanya melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Yanti pun bergegas meninggalkan tempat tidurnya. Dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Yanti berhias senyum, kala dia keluar dari kamar mandi. Yanti segera membuka laci mejanya. Dia hendak mengambil sesuatu yang sangat diagungkannya. Namun, Yanti tiba-tiba saja menjerit tanpa diketahui sebabnya,
Dia kemudian mengeluarkan semua isi lacinya. Demi mendapatkan apa yang sedang dicarinya itu. Kepanikan pun mendekat dan menjalar ke seluruh tubuhnya.
“s**l! Di mana uangku?”
Yanti tak mendapatkan apa yang sedang dicarinya. Uang adalah benda yang kini membuat kepanikannya seakan bertambah. Yanti kembali mencari-cari, namun sepertinya seisi kamarnya itu hanya bisa menyaksikan tanpa menemukan.
Yanti begitu sangat geram. Tak lama, dia mendengar suara Fadli yang memanggil namanya. Yanti pun segera keluar kamar dengan emosi yang menjulang dalam batinnya.
“Mas, kamu ambil ya uang dilaciku.”
“Memangnya itu uangnya siapa?”
“Jelas saja itu uangku.”
“Bukankah kamu mengambil uang itu dari tasku?”
“Mas, uang suami itu uang istri juga, jadi secara tidak langsung itu juga uangku, cepat kembalikan!”
“Sayangnya itu bukan uangku, Yan. Uang itu uangnya anak-anak untuk bayar sekolah yang sudah nunggak berbulan-bulan.”
“Mas, ini kapan sih bisa bahagiakan aku, betahun-tahun aku hidup sama kamu adanya cuma susah, gak ada bahagia-bahagianya. Aku menyesal mau menikah denganmu.”
Yanti membanting gelas yang ada di atas meja. Dia seolah dihinggapi kemarahan yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja Wafa yang baru datang dari sekolah, ikut serta melihat apa yang Yanti lakukan itu.
“Pak, bu. Bisa tidak sih kalian ini menyelesaikan masalah tanpa harus bertengkar dan berteriak keras seperti itu, apalagi harus membanting barang dan pecah, malu di dengar tetangga.”
“Heh kamu ini anak bau kencur, tahu apa kamu dengan urusan orang tua,” tukas Yanti.
“Yan, kamu gak boleh berkata seperti itu!” ujar Fadli.
Wafa merasa tak nyaman. Dia kemudian melangkah menuju kamarnya. Dia merasa bosan mendengar sebuah pertengkaran. Wafa pun kemudian menyalakan musik di kamarnya agak keras daripada biasanya.
Fadli menarik tangan Yanti menuju kamar. Dia kemudian menutup pintu kamarnya dengan cepat. Fadli menatap Riyanti penuh dengan keseriusan.
“Lepaskan aku, Mas.”
“Yan, bijaklah sebagai orang tua, tidak sepantasnya kita bertengkar di depan anak kita, apalagi kita sampai berkata kasar kepadanya.”
“Masa bodoh, aku sudah bosan hidup denganmu, Mas. Ceraikan saja aku!”
“Jangan sembarangan kalau bicara, hati-hati dengan ucapan yang tak sepantasnya engkau katakan itu.”
“Aku tidak sembarangan, aku minta kamu ceraikan aku!”