Lagi-lagi sebuah ucapan permintaan cerai keluar lagi dari mulut Yanti. Fadli harus lebih ekstra membuat Yanti tak selalu menuruti emosinya. Fadli mengambilkan segelas air minum, lalu memberikannya pada sang istri.
“Yan, tenangkan dirimu. Minumlah dulu air ini.”
Yanti yang masih terbungkus emosi itu, sama sekali tak menuruti apa yang dikatakan oleh Fadli. Bahkan dia dengan sengaja, menampik gelas itu dari tangan Fadli hingga jatuh ke lantai. Benda pecah belah itu pun tak berbentuk lagi, tercecer berserakan menghiasi lantai putihnya.
“Yan, kamu sedang hamil, kontrol emosinya.”
“Kamu gak pernah tahu apa yang aku rasakan, Mas. Aku hidup miskin dan sama sekali tak pernah merasa bahagia sedikit pun bersama kamu.”
Fadli hanya diam. Dia memungut pecahan gelas kaca itu agar jangan sampai mengenai kaki sang istri yang teramat dicintainya itu. Bahkan Fadli rela merendahkan dirinya. meskipun tersakiti fisik dan juga hatinya, Fadli harus tetap kuat dan bangkit, untuk sebuah ujian rumah tangga yang selalu menggoyangkan kapalnya itu.
“Yan, maafkan aku yang selalu membuatmu menderita.”
Fadli berlalu untuk membuang pecahan gelas itu ke tempat sampah. Fadli pun teriris hatinya. Istrinya kini masih dalam kemarahan yang sangat dalam. Fadli menghembuskan napasnya, kemudian mengeluarkan perlahan.
Fadli kembali pada wanita yang menjadi sayap yang bisa membuatnya terbang mengelilingi angkasa. Fadli berhias senyum dan menatap wajah Yanti penuh dengan ketenangan.
“Ini uang hasil jualan es lilin, jumlahnya tidak banyak, tapi jika kamu ingin menggunakan uang ini, aku serahkan kepadamu.”
Mata Yanti melirik seketika, saat dirinya mendengar apa yang dikatakan Fadli kepadanya. Selembar uang berwarna biru, terlihat dalam genggaman Fadli.
Yanti dengan cepat menangkapnya. Dia mamang masih marah, namun jika matanya melihat uang, Yanti seolah mengesampingkan dulu kemarahannya itu, dia akan mengambil kesempatan yang tak pernah datang dua kali dalam hari-harinya.
“Gak ada lagi uangnya?” ujar Yanti ketus.
“Sama sekali aku tak pegang uang, Yan. Hanya itu dan sudah kuberikan padamu.”
“Jangan bohong, apa kamu tidak sedang menyembunyikannya dariku?”
“Sama sekali tidak, silakan saja kamu cari, tak akan kamu temukan uang sepeser pun padaku.”
“Kalau begitu, keluar dari kamar. Aku tak mau melihatmu.”
Fadli pun menuruti apa yang dikatakan istrinya. Dia rela harus tersayat hatinya, demi sang istri yang kini sedang mengandung anaknya. Buah dari pernikahan yang sudah lama didambakannya itu. Fadli tak ingin menyakiti hati Yanti. Dia akan terus berusaha untuk membahagiaakan wanita satu-satunya di hidupnya itu.
Fadli merasa perutnya lapar. Dia kemudian menuju ke dapur. Fadli merasa sangat terkejut dengan adanya Wafa di tempat itu.
“Wafa, sedang apa?”
“Merebus mi.”
Jawab Wafa terdengar sangat singat di telinga Fadli. Bahkan anaknya itu enggan menatap matanya. Wafa selalu saja menatao mangkok kosong yang akan digunakan untuk wadah makanannya itu.
“Wafi belum pulang?”
Wafa hanya menggelengkan kepalanya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Fadli. Kemudian, Wafa segera meniriskan mi yang sudah matang itu. Menaruhnya dalam mangkok, lalu dia segera mengambil sendok dan berlalu dari hadapan Fadli.
Tak ada lagi untaian kata yang bisa didengar dari Wafa. Dia tak seperti biasanya, Fadli pun seolah merasakan keanehan pada diri Wafa yang begitu membingungkannya. Namun, Fadli berusaha berpikir positif, mungkin saja Wafa sedang sangat lapr sehingga dia menghemat energinya.
***
“Dasar anak orang miskin, mana mungkin aku mencintainya, bayar uang sekolah saja telat, aku gak mau kalau harus melabuhkan hatiku padanya, nanti aku pasti ikutan jatuh miskin deh.”
Dipermalukan di depan umum, menjadikan Wafa tak bisa berpikir dengan jernih. Dia yang sudah lama memendam perasaan cintanya pada seorang gadis. Tak tahu dari mana angin menerpanya, Dhe sang gadis yang diam-diam dicintainya tanpa harus berkata.
Tiba-tiba saja mengerti akan sisi hatinya yang dalam. Wafa merasa dunia seakan runtuh dengan ucapan yang sama sekali tak dapat ditepisnya.
Kata-kata itu terus saja terngiang di telinganya. Bias memori itu bahkan tak mau hilang dari otaknya. hari itu di sekolah, tak ada satu pun yang menjadi pelipur laranya. Bahkan dia terus saja bertanya-tanya. Kenapa Dhea tahu tentang isi hatinya yang sesungguhnya itu.
Padahal dapat dipastikan, Wafa sama sekali tak pernah mnegungkapkan apa yang sudah lama bersemayam dalam hatinya. Bahkan lewat tulisan pun Wafa tak mampu untuk menguraikannya. Dia hanya diam dengan harapan semu yang terus berpijar di setiap malamnya.
Mi instan yang sudah menghiasi meja makan, tepat berada di depan Wafa. Sama sekali tak terjamah olehnya. Pandangan Wafa hanya lurus dan seperti kosong. Fadli yang sempat menangkap hal itu, membuatnya berpikir seribu kali di benaknya.
Fadli tak ingin mengganggu Wafa. Dia biarkan saja anaknya itu terbuai dengan perasaannya. Fadli akan mencoba untk menyelami hati sang anak beberapa saat lagi. Bukan sekarang, tapi butuh waktu yang tepat agar hati itu bisa menyatu dan tak ada penolakan.
***
Fadli tercengang, mendengar token listriknya berbunyi sangat kencang. Menandakan alarm akan habis masa pakai listriknya. Fadli menghela napasnya lagi, berulang dan menghembuskannya kembali.
Fadli tak ada simpanan uang untuk memperpanjang masa aktif listriknya. Dia seolah memutar otak dengan sangat tajam. Fadli harus kembali mendapatkan uang.
“Pak, listriknya habis, kamu harus belikan tokennya.”
Suara Yanti melengking tepat di depan anak-anaknya. Fadli pun harus bisa bersikap manis. Seolah-olah dia tidak dalam kesusahan. Senyum merekah pun disajikan tanpa henti, saat semua anggota sedang menikmati jamuan sarapan pagi.
Wafa dan Wafi dengan cepat melahap makanannya. Kemudian keduanya berlalu terlebih dahulu. Fadli melepas mereka dengan saling berjabat tangan. Doa dan harapan pun terpanjatkan dari seorang guru honorer itu.
“Yan, aku rencananya mau ikut daftar PNS lagi, kamu doakan, ya.”
“Halah, paling nanti juga gagal lagi, seperti yang lalu-lalu.”
Fadli merasa tercekik batinnya. Meski begitu dia tetap saja tersenyum di depan sang istri. Tak ada kemarahan pun yang mengiringi setiap ucapannya. Fadli yang sudah menyelesaikan sarapan itu pun segera pamit untuk berangkat ke sekolah.
“Jangan lupa token listriknya diisi, dan jatah hari ini juga harus lebih banyak dari kemarin.”
Baru saja sejengkal Fadli melangkah. Sebuah bom atom seakan meledak di belakangnya. Fadli berusaha tenang dan tak panik menghadapi sebuah ancaman dalam hidupnya.
Fadli yang kini berhias dua termos berisi es lilin itu pun tak pantang menyerah. Dia berharap pada barang dagangannya itu. Melangkahkan kaki meninggalkan meja makan. Fadli pun membuka pintu rumahnya yang tertutup.
Sebuah pandangan yang terasa aneh baginya. Fadli meletakkan dua termos es itu segera, saat sebuah kertas putih yang terlipat menjadi dua bagian itu diinjak kakinya. Fadli meraih kertas itu dan dia membacanya dengan segera.
Betapa terkejutnya, batin Fadli seakan terhempas bak badai yang seedang mengelilingi perjalanan langkahan kakinya. Sebuah surat panggilan dari sekolah sang anak, tergeletak di atas lantai dan tidak diterimanya dengan baik dari anaknya.
Fadli tak tahu, siapa yang dititipi sebuah amanah untuk menyampaikan surat pemanggilan wali murid itu kepadanya, yang jelas dia menemukan surat itu tanpa sengaja. Bahkan terbesit sebuah praduga, bahwa anaknya tak berniat untuk memberikan surat itu kepadanya.
Fadli melihat bahwa tangal di surat itu adalah hari ini. Dia mengenyitkan dahinya, Fadli merasa harus datang ke sekolah sang anak. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dilayangkannya surat itu untuknya.