Bab 14. Menaruh Curiga

1024 Kata
Kaila diam seribu bahasa. Dia memang tidak terlalu mengenal Farida ibu mertuanya. Mereka bahkan hanya bertemu sekitar dua kali karena rencana pernikahannya dengan Bima terbilang singkat. Persiapan pernikahan mereka pun terkesan terburu-buru kala itu. "Kenapa kamu diam aja, Kaila?" tanya Farida tatapan matanya kian tajam mengintimidasi. "A-apa maksud Mommy? Anak ini anaknya Mas Bima ko," jawab Kaila lemah masih dengan kepala menunduk. "Hal itu baru akan terbukti jika kita melakukan tes DNA kalau bayi kamu itu udah lahir, Kaila," celetuk Farida membuat Kaila seketika merasa panik. "Hah? Tes DNA?" tanya Kaila terbata-bata semakin merasa gugup. Reaksi Kaila tentu saja membuat Farida semakin merasa curiga. Mengapa menantunya ini terlihat syok saat dirinya menyebut kata test DNA? Wanita berusia awal 60-han itu seketika tersenyum sinis seraya menatap wajah Kaila dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. Sejak awal, Farida memang tidak merestui putranya menikah dengan wanita yang menurutnya tidak jelas asal-usulnya ini. Namun, ia tidak dapat berbuat apapun ketika Bima mengatakan bahwa putranya itu tidak akan menikah dengan siapapun selain dengan Kaila. "Kenapa kamu gugup kayak gitu, Kaila? Ada yang salah dengan apa yang saya katakan barusan?" tanya Farida perlahan berjalan mendekat lalu berdiri tepat di depan Kaila. "Apa Bima tau kalau bayi yang lagi kamu kandung ini bukan anaknya dia?" "Apa maksud Mommy? Siapa bilang kalau istri saya hamil anak orang lain?" tanya Bima dengan nada suara lantang. "Tega sekali Mommy mengatakan hal sekejam itu sama istri saya? Astaga!" decak Bima, dia datang di waktu yang tepat. Pria itu berjalan menghampiri Kaila, sementara Farida segera memundurkan langkah kakinya hingga terciptalah jarak di antara mereka. Farida menatap wajah Bima sinis lalu mengalihkan pandangan matanya kepada Kaila masih dengan tatapan mata yang sama. "Memangnya kenapa kalau Mommy meragukan bayi di dalam kandungan istri kamu ini, Bima?" tanya Farida menatap tajam wajah sang putra. "Bukannya ini aneh? Selama ini, kamu gak pernah dekat dengan wanita manapun, eh ... tau-tau kamu menikah sama wanita yang tak jelas asal-usulnya ini!" "Kenapa Mommy baru mengatakan keberatan Mommy sekarang? Kenapa gak dari dulu-dulu Mommy bilang kalau Mommy gak setuju dengan pernikahan kami?" tegas Bima penuh penekanan. "Kalau kedatangan kalian ke sini cuma mau mengacaukan pernikahan kami, lebih baik kalian pulang sekarang juga." "Kamu ngusir kami? Orang tua kamu sendiri?" tanya Farida dengan kedua mata yang membulat kesal. "Kamu benar-benar, Bima. Mommy kece--" "Cukup!" teriak Adiwiguna mengejutkan mereka sekaligus membuat Farida seketika menahan ucapannya. "Kalian apa-apaan sih? Apa pantas Ibu dan anak bertengkar kayak gini, hah? Malu-maluin aja sih!" bentak Adi menatap wajah putra serta istrinya secara bergantian. "Sekarang Daddy mau tanya sama kamu, Bima. Kenapa muka kamu babak belur kayak gitu? Apa kamu berkelahi dengan seseorang? Katakan siapa manusia nggak tau diri yang udah melukai kamu? Kita laporan dia ke polisi!" "Cuma perkelahian biasa, Dad. Sudahlah, saya bukan anak kecil lagi yang apa-apa harus mengadu sama orang tua. Saya udah dewasa, Dad? Apa Daddy lupa berapa usia saya? Tahun depan aja usia saya udah 40 tahun lho," decak Bima, merasa tidak nyaman dengan perhatian sang ayah yang terkesan terlalu berlebihan. "Kamu putra Daddy satu-satunya, Abimanyu. Meskipun kamu udah besar, kamu tetap anak kecil di mata kami. Daddy tak terima lho ada orang yang berani menyakiti kamu!" sahut Adi, dia begitu menyayangi putra semata wayangnya ini. Padahal, usia Bima sudah cukup dewasa, bahkan bisa dikatakan tua karena tahun ini saja usianya sudah kepala tiga. Namun, karena hanya Bima satu-satunya putra yang ia miliki, sedewasa apapun usia seorang anak tetap saja akan dianggap sebagai anak kecil di mata orang tuanya. "Kenapa kamu diam saja, Bima? Kalau kamu nggak mau bilang siapa orang yang udah menyakiti kamu, maka Daddy sendiri yang akan mencari dia dan melaporkan orang itu atas tindakan tidak menyenangkan atau bahkan tuduhan penganiayaan, paham?" tegas Adi penuh penekanan. "Sudahlah, Dad. Masalah ini jangan diperpanjang lagi. Saya udah berdamai dengan orang itu, tak usahlah Daddy mencari dia segala," pinta Bima seketika menurunkan nada suaranya. "Bisa gawat kalau sampai Daddy ketemu sama si Johan, si b******k itu bisa aja mengatakan hal yang buruk tentang Kaila," batin Bima merasa khawatir. "Benar apa yang dikatakan sama Bima, Mas. Udah, jangan cari-cari masalah lagi putra kita ini udah besar, Mas. Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri, gimana sih? Emangnya dia anak kecil apa!" decak Farida sependapat dengan putranya. "Tuh, 'kan. Mommy aja sependapat dengan saya," ucap Bima mengalihkan pandangan matanya kepada Farida sang ibu. "Ada hal yang lebih penting dari itu, Mas. Aku ingin, setelah Kaila melahirkan kita lakukan tes DNA pada bayi itu," pinta Farida membuat amarah Bima kembali naik kepermukaan. "Astaga, Mommy. Itu lagi yang di bahas," decak Bima seketika mengusap wajahnya kasar. "Saya 'kan sudah bi--" "Sudah cukup, Mas. Jangan bertengkar sama Mommy Farida, gak baik lho kamu bersikap keras sama Ibu kamu sendiri," sela Kaila bahkan sebelum Bima sempat menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan. "Kalau Mommy ingin tes DNA maka aku gak keberatan sama sekali. Mari kita lakukan tes DNA setelah bayiku lahir." Bima seketika membulatkan bola matanya merasa terkejut tentu saja. Kenapa Kaila menyetujui tes DNA yang diusulkan oleh ibunya? Bukankah hasilnya sudah jelas bahwa benih yang tertanam di dalam rahim istrinya bukanlah darah dagingnya. Bima lagi-lagi mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata yang terpejam. Mengapa masalah demi masalah tidak henti-hentinya menerpa rumah tangganya yang baru seumur jagung? "Nah, 'kan. Istri kamu aja gak keberatan ko. Eh ... kamu malah kebakaran jenggot kayak gini," sahut Farida menatap sinis wajah sang putra. "Sudah-sudah, jangan ribut lagi kayak gini. Kita ini udah lama gak ketemu, sekalinya ketemu malah bertengkar gak jelas," pinta Adiwiguna mencoba untuk mengendalikan kekacauan yang ada. "Kaila, ucapan Mommy kamu gak usah di ambil hati. Jadi dulu, kami berencana ingin menjodohkan Bima dengan putri dari temannya Mommy Farida, tapi Bima menolak dan lebih memilih menikahi kamu, makannya dia sinis sama kamu," jelas Adiwiguna menatap sayu wajah menantunya. "Pokoknya aku gak mau tau, Mas. Kalau ternyata terbukti bayi ini bukan darah dagingnya Bima, maka kalian harus bercerai saat itu juga, paham?" tegas Farida penuh penekanan. Bima seketika memejamkan kedua matanya. "Ya Tuhan, mengapa coba demi cobaan terus saja Engkau timpakan sama rumah tangga hamba? Apa yang akan terjadi jika mereka sampai tau bahwa bayi ini bukanlah darah daging saya?" batin Bima. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN