Dari semalam Tiara tidak keluar kamar sama sekali, bahkan cewek itu absen makan malam. Bunda Intan tidak tau apa yang tengah terjadi dengan sang putri, apa ini ada kaitannya dengan kejadian di depan sekolah kemarin? Mungkin. Bunda Intan mondar mandir di depan kamar Tiara, wanita itu sudah berusaha mengetuk pintu kamar putri kalem nya, tapi tak ada tanda-tanda Tiara akan membukanya.
Keadaan itu tentu saja membuat Bunda Intan semakin khawatir kalau maag yang diderita Tiara kambuh lagi.
Pagi ini, Bunda Intan selesai membuat sarapan, jam menunjukan pukul 6 pagi. Biasanya Tiara sudah rapi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
"Ti, kamu belum bangun ya?" Bunda Intan mengetuk pintu kamar Tiara sekali lagi. "Tiara, keluar dong. Bunda udah buatin kamu sarapan nih." masih tak ada jawaban. Sudah cukup, kekhawatiran Bunda Intan ada pucuk sekarang. Wanita itu berjalan menuju laci yang tak jauh dari kamar Tiara, wanita berusia 43 tahun mengambil kunci serep.
Saat knop pintu diputar, dan pintunya terbuka, seketika itu pula Bunda Intan berteriak kaget. "Ya allah, Tiara!" seru wanita itu, berlari mendekati Tiara yang tergeletak di lantai dengan wajah pucat. Panik tentu saja, Bunda Intan segera menghubungi seseorang yang bisa dimintai bantuan, Bima.
"Hallo, Bim. Kamu bisa kerumah sekarang? Tiara pingsan, bantuin Bunda."
“Bima kesitu, Bunda”
Fyi, rumah Bima tak jauh dari rumah Tiara. Mereka tinggal di kompleks yang sama, jaraknya hanya beberapa meter. Jadi, dengan mengendarai motornya, Bima yang sudah berseragam meluncur menuju rumah Tiara. Bunda Intan menangis sesenggukan sembari mengelus wajah Tiara, hingga tak lama akhirnya Bima datang.
Cowok itu langsung membopong tubuh sahabatnya dan membawa nya turun ke bawah menuju garasi, "Biar Bima aja yang nyetir, Bun." ucap Bima setelah memasukan Tiara ke dalam mobil. Bunda Intan menurut saja, dia sudah sangat khawatir dengan kondisi putri semata wayangnya.
"Bunda nggak perlu cemas, Tiara pasti baik-baik aja kok, Bun."
"Gimana Bunda nggak cemas sih, Bim. Dari semalam Tiara nggak keluar kamar, nggak makan malam, pasti maag dia kambuh lagi." wanita itu senantiasa mengelus kepala Tiara yang berada diatas pahanya. Bunda Intan tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Tiara, sementara di belakang kemudi, Bima menggeram dalam hati.
Ini pasti ada hubungannya dengan Daniel, hanya cowok itu lah yang membuat mood Tiara jadi berantakan. Kendaraan roda empat memasuki area rumah sakit setelah 20 menit perjalanan, tak lama beberapa suster datang untuk membantu Bunda Intan. "Kamu nyusul ya, Bim."
"Iya, Bun."
Setelah mereka masuk, Bima langsung membawa mobil Bunda Intan menuju parkiran, mungkin hari ini dia akan izin bolos sekolah. Tak apa, ini semua dilakukan demi Tiara, wakil ketua osis sekaligus sahabatnya. Langkah kaki jenjang milik Bima memasuki rumah sakit, dia mencari dimana Tiara dan Bunda Intan berada.
Untung saja, Bunda Intan tengah berada di tempat administrasi. Bima mendekat kesana. "Bima, Tiara ada di lantai dua. Kamu kesana ya, Bunda mau urus administrasinya dulu."
“Iya, Bunda.”
Bima kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju lantai dua tempat dimana Tiara dirawat. Sebenarnya dia pun khawatir, tapi dia yakin kalau Tiara akan baik-baik saja. "Awas aja kalo Tiara sampai kenapa-napa dan itu karena elo, Daniel." geram Bima dalam hati.
(^_^)(^_^)
Bau obat-obatan langsung tercium saat perlahan kelopak mata cewek jutek itu terbuka, kepala nya sangat pusing ditambah tenggorokannya yang haus. Cewek itu mencoba membiasakan pandangannya yang masih buram, menatap sekitar, "Bunda.." panggil dia lirih sekali.
“Tiara" Bunda Intan yang tadinya baru mau memejamkan mata kini harus terbuka kembali saat mendengar rintihan anak gadisnya. "Kamu sudah sadar?"
“Hauuss..”
Jemari Bunda Intan langsung cekatan menuang air ke dalam gelas, lantas membantu Tiara untuk bangun dari posisinya agar bisa minum dengan baik. Dengan telaten Bunda Intan mendekatkan gelas tersebut ke bibir pucat Tiara.
Ya allah, rasanya begitu menyakitkan saat melihat Tiara jatuh sakit dengan tubuh lemah seperti ini, padahal biasanya cewek itu kuat, tengil, manja kalau dengan Bunda Intan. "Mau lagi?" tanya sang Bunda, tapi Tiara menggeleng. Segelas air sudah cukup untuk membasahi tenggorokannya.
“Udah berapa lama aku pingsan, Bunda?" tanya cewek itu, perlahan wajahnya tidak sepucat tadi meski belum bisa dikatakan memerah seperti orang normal. "Lama banget, Ti. Kata Dokter efek obat. Maag kamu kambuh lagi karena semalam kamu nggak makan dan minum obat." perjelas sang Bunda, saat melihat raut wajah bidadarinya, Tiara sangat merasa bersalah.
"Maaf ya, Bunda."
"Buat apa, Ti?"
"Aku udah bikin Bunda khawatir."
Bunda Intan meraih tubuh Tiara untuk dipeluk, wanita itu mengecup kepala Tiara dengan sayang. Meski sering adu mulut dan kesannya Bunda Intan itu galak kalau sama Tiara, tapi sebenarnya dia begitu menyayangi Tiara. Hanya Tiara yang dia punya setelah suaminya meninggal, Tiara adalah harta satu-satunya yang dimiliki oleh Bunda Intan. Jadi wajar saja kalau wanita itu bersikap sepanik tadi.
"Udah Bunda maafin. Tapi lain kali jangan kayak gini ya, jangan bikin Bunda khawatir. Bunda nggak mau kamu kenapa-kenapa."
Tiara mengangkat jari kelingkingnya, "Janji, Tiara nggak akan buat Bunda khawatir lagi." ucap cewek itu sembari tersenyum cantik. Jam di dinding menunjukan pukul 1 dini hari, mereka berdua asik dalam obrolan. Bahkan Bunda Intan melupakan kantuknya. "Sebenernya Tiara lagi ada masalah, Bun."
“Daniel lagi?"
"Iya, masalah Tiara cuma dia doang, Bun. Nggak ada yang lain." adu Tiara yang malah membuat Bunda Intan terkekeh. "Kamu kenapa sih, Ti, sensi banget sama Daniel. Kalau dilihat-lihat dia anaknya baik kok, nggak seperti yang kamu ceritakan waktu itu."
Dengusan keluar dari hidung Tiara, Bunda nya tidak akan tau betapa menjengkelkannya seorang Daniel Dirgantara. Yang kemarin itu hanyalah pencitraan. Tiara memang cerita soal Daniel kepada sang Bunda, tapi dia belum menceritakan soal tugas yang diberikan oleh Pak Pandu kepadanya.
“Jadi gini, Bunda. Pak Pandu ngasih tugas ke aku buat ngerayu Daniel supaya dia mau ikut Olimpiade Matematika mewakili SMA Bina. Tapi Tiara nggak tau harus ngerayu Daniel dengan cara apa, Daniel itu beda sama cowok kebanyakan. Dia suka banget bikin Tiara naik darah dan sebal, suka bikin Tiara emosi jiwa raga. Pokoknya Daniel tuh..” Tiara menghentikan ucapannya, dia sudah tak sanggup menggambarkan betapa evilnya Daniel. Melihat wajah Tiara yang sedang sebal membuat Bunda Intan tak kuasa untuk tidak gemas.
"Bunda!! sakit, ih! Jangan dicubit dong pipi Tiara, nanti tambah tembem gimana?"
"Ya nggak papa, Ti. Biar makin unyu."
"Serah Bunda deh."
Wanita berusia 43 tahun itu tertawa tanpa rasa bersalah, mengusap pelan rambut Tiara. "Iya, iya, maaf. Nggak usah ngambek gitu dong, lanjutin ceritanya tentang Daniel"
“Nggak mau ah, Bunda ngeledek gitu”
“Kan sudah minta maaf, ayo lanjutin”
Masih dengan wajah kesal Tiara kembali melanjutkan sesi curhatnya, “Minggu depan waktu pendaftarannya ditutup, jadi Pak Pandu desak Tiara untuk cepat-cepat bujuk Daniel. Padahal nih ya, Bun, yang jadi ketua osis, kan, si Bima, kenapa harus nyuruh Tiara coba."
Jemari Bunda Intan tergerak untuk mengelus punggung tangan Tiara dengan lembut, wanita itu tersenyum teduh, khas ibu-ibu. "Kamu tau kenapa Pak Pandu lebih milih kamu daripada Bima??"
Tiara menggeleng.
Bunda Intan melanjutkan.“Karena Pak Pandu percaya kalau cuma kamu yang bisa. Bunda pun juga yakin, kalau anak gadis Bunda ini bisa bujuk Daniel supaya mau ikut Olimpiade"
“Tapi Tiara nggak yakin, Bun. Bunda sih, nggak tau aja sikap Daniel kalo sama Tiara tuh gimana."
“Bicarain ini baik-baik sama, Daniel. Jangan melawan setiap ejekan nya dia, semakin kamu melawan Daniel bakal semakin senang menggoda kamu” ucap sang Bunda memberitahu. “Masih dini hari, kamu lanjut tidur ya. Besok biar Bunda yang izin in kamu ke sekolah”
Cewek itu mengangguk, lantas kembali rebahan.
(^_^)(^_^)
“Tidak apa-apa, Bu. Maaf kalau saya terlalu menekan Tiara untuk mengemban tugas ini, semoga dia cepat sembuh. Biar nanti Bima yang ambil alih tugas Tiara” ucap Pak Pandu saat Bunda Intan selesai mengantar surat izin, wanita itu juga menyempatkan diri untuk menemui Pak Pandu.
Bunda Intan mengangguk dan tersenyum ramah, membuat Pak Pandu terpesona selama beberapa detik. Dasar, jiwa bujang tua nya menguar sekarang. Untung nya Bunda Intan tampak tak begitu menghiraukan tatapan Pak Pandu kepadanya, sebenarnya untuk ukuran bujang tua wajah Pak Pandu cukup tampan meski tidak tampan-taman amat. Rambut selalu tersisir rapi dan wangi, senyum cerah sepanjang masa selalu menghiasi bibir guru itu. Tapi Bunda Intan tetap tidak tergoda sama sekali, bagi Bunda Intan tidak ada laki-laki setampan mendiang suaminya.
“Terima kasih atas pengertian, Pak Pandu. Kalau begitu saya pamit, harus kerja soalnya”
“I-iya, Bu. Hati-hati dijalan”
Mengayunkan kaki menuju tempat parkir, saat hendak masuk ke dalam mobil netra Bunda Intan tak sengaja menangkap sosok yang ia kenali tengah bercermin di kaca spion motor. Bunda Intan menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum tipis.
“Daniel!” Panggil wanita itu, batal masuk mobil.
Daniel mendongak mencari arah dari mana sumber suara itu, seketika menyungsung senyum termanis saat dia mendapati calon mertua yang memanggil, berjalan dengan santai, tas tersangkut di bahu kirinya. “Assalamualaikum, selamat pagi, Bunda, calon mertua” sapa Daniel, lagi-lagi pencitraan, dia mencium punggung tangan Bunda Intan singkat.
“Bunda ngapain disini? Ah, Tiara buat masalah ya?" tebak cowok itu, sok tau.
Bukannya marah, Bunda Intan malah terkekeh. “Enggak dong, setahu Bunda, Tiara nggak pernah buat masalah” jawab wanita itu yakin, “Kamu sendiri kenapa masih disini?” Bunda Intan menatap tas yang masih menyampir di pundak sebelah kiri Daniel. “Telat ya?”
Daniel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari nyengir ke arah Bunda Intan, dia tidak tau harus menjawab seperti apa? Haruskah Daniel berbohong? Tapi dengan alasan seperti apa?
Harus yang masuk akal pokoknya. Cowok bervisual bak anime hidup itu memutar otaknya dengan cepat, ayolah, ayolah. “Nggak kok, Bun. Tadi mampir dulu ke toilet, pas mau balik udah bel aja” kilahnya.
“Emang di parkiran ada toilet ya, Niel? Bukannya toilet ada di dalem?”
Duh, bodoh banget sih kamu Daniel. Bunda Intan tersenyum tipis, jemari lentiknya dia gunakan untuk mengusap kepala Daniel dengan sayang. “Lain kali jangan bohong ke, Bunda. Bunda nggak suka, lebih baik kamu jujur.”
Cowok itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, mencoba untuk tetap bersikap setenang mungkin di depan Bunda Intan. “Kalo gitu kamu ke kelas gih, Tiara nggak suka sama cowok yang suka bolos, lho” Bunda Intan melihat raut wajah Daniel yang mulai berubah pucat. “Kamu baik-baik aja kan, Niel?” tanya wanita cantik itu, Daniel menelan salivanya, lantas mengangguk semeyakinkan mungkin.
“Ôh iya, kamu mau Bunda kasih tau sesuatu tentang Tiara nggak?”
"Apa, Bun?"
"Nggak jadi deh."
Untung orang tua, untung cantik, untung Bunda nya Tiara. Coba kalau tidak, sudah Daniel, hih! saking sebalnya. Bunda Intan tertawa melihat raut wajah Daniel yang sedang menahan kesal. "Bunda cuma bercanda tadi, tapi kalo boleh jujur, pas Tiara bilang soal kamu yang pinter Matematika, Bunda ikut bangga loh, Niel."
Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan, haduh, karena ngobrol singkat dengan Daniel dia jadi lupa waktu. Next time, Bunda Intan akan mengobrol lebih banyak tentang Daniel. Wanita itu merasa, Daniel punya suatu rahasia yang tidak diketahui oleh dunia. Bunda Intan tau dari sorot mata Daniel. "Bunda duluan ya, Daniel. Udah telat berangkat kerja."
Daniel tidak merespon, bahkan dia tak sadar kalau Bunda Intan sudah masuk ke dalam mobil. Jantungnya berdetak lebih cepat sekarang, keringat dingin mulai keluar, bahkan sekarang kaki Daniel jadi gemetar. "No, Daniel. Jangan sekarang,.. Lucas." Daniel segera berlari menuju kelas, dia butuh sahabatnya itu sekarang. Hanya Lucas yang bisa mengerti kondisi Daniel saat ini, jangan sampai Daniel melampiaskan apa yang dia rasakan pada orang-orang disekitarnya.
Bunda Intan yang hendak menjalankan mobilnya kembali terhenti saat melihat Daniel berlari dengan kencang, ada apa?
Kedatangan Daniel menyita atensi teman-teman sekelasnya, untung saja belum ada guru yang masuk, jadi aman. Lucas menatap khawatir ke arah Daniel yang datang dengan nafas ngos-ngosan, dia langsung tau apa yang sedang terjadi. Tak mau sahabatnya menjadi tontonan teman-teman sekelasnya, Lucas pun membawa Daniel keluar kelas menuju UKS, setidaknya disana ruangannya lebih tertutup.
Sampai di UKS, penjaganya, Bu Mimi tidak menuntut penjelasan panjang lebar saat melihat wajah pucat Daniel. Bahkan beliau dengan senang hati menyiapkan teh. "Terima kasih, Bu" ucap Lucas tulus. Bu Mimi mengangguk, lantas kembali ke tempatnya berjaga.
Daniel duduk, nafasnya masih naik turun.
“Niel, calm. Breathe in, breathe out..~” Lucas memegang pundak Daniel agar cowok itu lebih tenang. Dengan teratur Daniel mengikuti arahan sahabatnya itu. Lucas mengelus punggung Daniel, inilah yang dia khawatirkan. Ketakutan Daniel, kalau tidak segera ditangani pasti bakal berbuntut dan malah akan memperburuk keadaan cowok itu sendiri. “Minum dulu” dengan perhatian Lucas memberikan gelas berisi teh manis ke Daniel.
Keadaan Daniel berangsur membaik, meski dalam hati dia masih ketakutan. “Tadi, gue ketemu sama Bunda Intan--"
"Udah, Niel. Cukup, gue tau apa yang mau lo omongin, gue paham."
Daniel tak meneruskan ucapannya. "Gue takut, Cas."
"Pulang sekolah gue anterin lo ke Dr. Raina."
Sudah pernah disinggung kalau Lucas tau segalanya tentang Daniel, dia tau arah pembicaraan itu kemana kalau sampai sahabatnya meneruskan. Yang Daniel butuhkan saat ini hanyalah seorang psikiater untuk membantunya keluar dari zona abu-abu yang selama ini membayangi dirinya. Lucas membiarkan Daniel beristirahat di UKS, sementara dia akan menunggu. Daniel itu bisa dikatakan sangar diluar, tapi rapuh didalam, dan hanya Lucas seorang saja yang mengetahui kerapuhan seorang Daniel Dirgantara.
“Don’t destroy yourself, Daniel. Inget itu.”
Daniel tak menjawab, dia memilih untuk memejamkan matanya. Nafas mulai teratur meski perlahan dan membutuhkan waktu, keringat dingin yang tadi membasahi pelipisnya mulai mengering, dengan bibir yang masih sedikit gemetar cowok itu berucap. "Lo ke kelas aja, gue pengen sendiri dulu."
"Yakin?"
Cowok itu mengangguk lemah, matanya masih senantiasa terpejam erat. Daniel takut.