Biaya Operasi
“Pasien harus segera di operasi. Mohon pihak keluarga untuk menyelesaikan administrasi terlebih dahulu,” ucap dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat.
Bahu Niana melemas. Bagaimana Niana harus membayar biaya operasi adiknya yang pasti tidak sedikit itu? Niana tidak mempunyai tabungan sama sekali. Uang hasil bekerja selalu habis untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan biaya sekolah adik-adiknya. Niana tersenyum membalas dokter tersebut. Setidaknya memberi tahu bahwa Niana akan menyelesaikan p********n itu.
Melihat kanan dan kirinya. Ibu dan dua adiknya yang lain menangis keras. Niana makin tidak tega. Niana bingung. Apa yang harus dirinya lakukan untuk mendapatkan uang dalam hitungan detik? Memutuskan untuk menuju bagian administrasi. Akan menanyakan berapa total tagihan yang ada. Niana akan berusaha mencari pinjaman. Untuk kesembuhan adiknya, Niana rela menahan malu bahkan merendahkan diri. Ayah? Jangankan meminta uang, tahu kabarnya sekarang saja Niana tidak tahu. Ayahnya kabur, menghilang bagai ditelan bumi. Setelah mendengar kabar bahwa lelaki itu telah menikah lagi, hubungan antara ayah dan anaknya sudah terputus begitu saja.
“Permisi Mbak, boleh tanya berapa biaya operasi untuk adik saya?” tanya Niana.
“Maaf, atas nama siapa adiknya?” Mendengar itu, Niana merutuki kebodohannya. Mana tahu dia siapa adik Niana.
“Atas nama Radit mbak. Raditya Ramadan. Yang tadi baru masuk dan masih di ruang gawat darurat,” beri tahu Niana. Tangannya saling memilin. Kalau sudah tahu, Niana harus bagaimana lagi? Menguatkan diri, pasti Tuhan akan memberi jalan yang terbaik.
“Saya cari dahulu ya.” Niana mengangguk saja. Agak lama menunggu sampai kakinya pegal terlalu lama berdiri.
“Pasien atas nama Raditya Ramadan, untuk semua perawatan dan operasi yang akan dilakukan, total biayanya dua pulih delapan juta rupiah. Ini untuk rincian biayanya,” ucap bagian keuangan menunjukkan kertas yang baru saja dicetak.
“Ah, iya. Terima kasih. Saya permisi dulu.” Niana melangkah gontai. Keluar dari rumah sakit masih dengan membawa kertas berisikan nominal yang harus didapatkan dengan segera. Niana harus ke mana?
“Coba pinjam sama pak bos deh. Siapa tahu lagi berbaik hati mau kasih pinjaman,” gumam Niana. Kakinya terus melangkah sampai tiba di restoran tempatnya bekerja. Di siang hari restoran ini selalu ramai pengunjung.
“Loh Ni, bukannya hari ini Lo libur ya?” tanya salah satu karyawan yang melihat keberadaan Niana di sini. Jatah libur memang di rolling. Dan hari ini kebagian Niana untuk libur. Libur sehari setelah satu minggu bekerja.
Tersenyum tipis menjawab. Tidak tahu harus berkata apa. “Gue ada perlu sama pak bos. Dia ada di ruangannya kan?”
“Ada kok. Tadi barusan datang.”
Niana melenggang menuju ruangan yang dikhususkan bagi pemilik restoran ini. Ruangan yang sebenarnya jarang di tempati karena si pemilik jarang datang. Untung saja hari ini datang. Kalau tidak, Niana mungkin harus mengunjungi rumahnya yang tidak tahu ada di mana.
Makin mendekati pintu, langkah Niana makin pelan. Ragu untuk melanjutkan. Hatinya berkata bahwa bosnya tidak akan berbaik hati meminjamkan uang. Apalagi sebanyak itu. Namun karena paksaan keadaan, Niana melanjutkan langkah. Ini demi Radit yang masih berjuang untuk tetap hidup.
Tok tok
“Ya, masuk!" teriak dari dalam. Niana melongokkan kepalanya. Melihat atasannya yang mempersilakan masuk, Niana melangkah dengan pelan. Menunduk tanpa berani menatap lawan bicaranya.
“Ada apa Niana?” tanyanya penasaran. Ada apa gerangan pegawainya mendatangi.
“Mm ... begini Pak. Sebelumnya, saya mau minta maaf. Saya sedang membutuhkan uang Pak. Apa bapak tidak keberatan jika saya meminjamnya?” lirih Niana. Sebenarnya Niana malu. Sangat malu. Seumur hidupnya, walau selalu kekurangan tapi tidak pernah sekalipun meminjam pada orang lain.
“Untuk apa?” pria berusia awal tiga puluhan itu menaikkan alisnya. Tidak menyangka kedatangan pegawainya memiliki tujuan untuk meminjam uang.
“Adik saya kecelakaan Pak. Harus segera di operasi. Dan membutuhkan biaya sekitar dua puluh delapan juta. Saya bingung Pak, tidak tahu harus mendapatkan uang sebanyak itu dari mana,” ucap Niana putus asa. Air matanya yang sedari tadi berhasil ditahan, membebaskan diri juga. Mengalir melewati pipi sampai terjatuh begitu saja.
“Saya ikut berduka. Tapi maaf Niana, bukannya tidak mau membantu, saya tidak memiliki kewenangan untuk meminjamkan kamu uang. Apalagi dalam jumlah yang besar. Sekali lagi maaf ya,” ujar pria itu penuh sesal. Bukan tidak mau membantu, dirinya di sini juga bukan sebagai pemilik, melainkan hanya tangan kanan yang ditugaskan bos besarnya untuk mengelola restoran ini. Uang pribadi? Mereka tidak mengenal dekat selain hubungan atasan dan bawahan. Terlalu riskan, tidak ada juga yang menjadi jaminan. Siapa tahu ternyata setelah dipinjami malah kabur. Kan banyak sekarang yang seperti itu.
“Ah baik Pak, terima kasih banyak. Saya permisi dulu. Sekali lagi, terima kasih,” pamit Niana menunduk sopan. Bibir gadis itu masih sempat menyunggingkan senyum.
Kepala Niana terasa sakit. Harapan satu-satunya ya bosnya ini. Tapi malah Niana tidak mendapatkannya. Lalu, harus ke mana lagi? Niana akan mencari peruntungan pada teman-temannya selama bekerja di sini. Semoga saja ada yang mau meminjamkannya.
“Andin, gue boleh ngomong enggak?” tanya Niana. Meringis melihat wajah Andin yang kebingungan.
“Ya? Ngomong saja Na. Gratis kok,” gurau Andin namun sama sekali tidak menghilangkan wajah tegang Niana.
“Gue boleh pinjam duit Lo enggak? Adik gue kecelakaan dan harus segera di operasi,” cerita Niana. Andin menepuk punggung Niana pelan, bibirnya menggumamkan doa untuk kesembuhan adik dari temannya itu.
“Berapa Na? Kalau ada, gue pasti kasih pinjam.” Niana tersenyum. Menemukan secercah harapan dari temannya ini. Semoga saja Andin benar bisa membantunya.
“Total biayanya 28 juta Ndin. Ini rinciannya.” Niana menunjukkan kertas dengan banyak bekas lipatan.
Andin melongo. Apa tidak salah dengar? “Na, Lo tahukan kalau gue juga sama kaya Lo, kerja di sini. Gaji kita juga sama. Mana ada gue duit segitu banyak?” tanya Andin tidak percaya. Banting tulang siang malam juga tabungannya tidak akan menyentuh angka itu dalam satu tahun. Membutuhkan bertahun-tahun untuk memilikinya.
Bahu Niana melemas. Harapannya pupus lagi. “Ya sudah deh. Terima kasih Andin. Gue ke yang lain dulu ya, barangkali ada yang punya,” pamit Niana. Mendatangi temannya yang lain satu persatu. Menanyakan hal sama. Apa mereka memiliki uang 28 juta yang mau dipinjamkan pada Niana.
Sayangnya, semua yang ditanyai tidak memiliki uang dengan jumlah banyak tersebut. Niana frustrasi. Kalau sudah seperti ini, harus ke mana lagi Niana mencari? Tidak semudah itu mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Yang dipinjami walau ada juga pasti membutuhkan sesuatu yang akan dijadikan sebagai jaminan. Sesuatu yang berharga. Sedangkan Niana tidak memilikinya.
Niana melangkah lesu ke arah taman. Berpikir keras siapa yang bisa memberikannya pinjaman tanpa jaminan dan entah kapan bisa mengembalikan. Ingin langsung kembali ke rumah sakit, Niana takut mengecewakan keluarganya karena kembali tanpa kabar baik. Menatap langit yang cerah. “Tuhan, padahal hidup biasa saja sudah kesusahan. Sekarang malah ditambah dengan kejadian seperti ini. Harus mencari ke mana uang itu?” gumam Niana. Menanyakan pada Tuhan mengenai hidupnya yang dirasa tidak adil. Untuk hidup sehari-hari saja Niana harus ekstra banting tulang, itu juga terkadang masih saja tidak dapat memenuhi biaya hidup. Sampai terpaksa menjual barang berharga di rumah kontrakan. Sekarang ditimpa musibah yang luar biasa. Kenapa tidak orang kaya saja yang mengalaminya? Mereka jelas memiliki uang untuk melakukan penyembuhan.
Ponsel Niana bergetar. Dengan segera mengambilnya. Nama Ibunya tertulis di layar ponsel yang sudah retak di sana sini. “Ada apa Bu?” tanya Niana langsung. Di keadaan genting seperti ini, seolah melupakan tata krama bertelepon yang baik. Ingin langsung tahu bagaimana kondisi Radit di sana.
“Na, apa uangnya sudah dapat?” lirih Rani. Sebenarnya tidak tega membebankan semua biaya hidup pada putri sulungnya. Rani merasa gagal saat dirinya kini hanya bisa menunggu uang dari Niana. Rani yang dulu berjualan, sekarang tidak lagi. Kondisinya memburuk akhir-akhir ini. Menurut dokter, Rani terlalu lelah seharian selalu memforsir tenaganya. Dengan terpaksa berhenti bekerja. Hanya mengurus rumah saja.
Niana menghela nafas panjang. “Belum dapat Bu. Teman Niana tidak ada yang mempunyai uang sebanyak itu,” jawab Niana lemah.
“Ibu bantu cari pinjaman ya. Semoga saja dapat,” ucap Rani yang membuat seolah ada sesuatu menghantam hati Niana begitu keras. Harusnya Niana sebagai anak tidak menyusahkan Rani. Tidak menyeret Rani pada sulitnya mendapatkan uang. Niana merasa gagal menjadi anak. Sudah seharusnya Niana yang mengurus semua. Tidak melibatkan Rani. Wanita itu sudah dari dulu mengurusnya. Sudah dari dulu direpotkan.
“Ibu, maaf. Maaf belum bisa membawa kehidupan nyaman bagi Ibu dan adik-adik,” gumam Niana yang masih bisa terdengar jelas di telinga Rani.
“Seharusnya ibu yang minta maaf sama kamu. Ibu sudah menyeret kamu pada kehidupan sulit ini. Maaf ya, karena ibu, kamu harus menanggung semuanya,” balas Rani. Menahan isak tangisnya. Jika saja, Niana bukan lahir dari rahimnya, pasti kehidupan gadis itu lebih layak. Sayangnya, nasib Niana begitu buruk sampai lahir dari rahim wanita sepertinya. Wanita lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa. Niana sudah harus dipaksa menghadapi kerasnya dunia dari usia dini. Mencari nafkah untuk meringankan beban orang tua. Dan sekarang, menjadi tulang punggung keluarga. Harapan ibu dan adik-adiknya.
“Enggak. Ibu enggak boleh bilang seperti itu. Ibu tunggu di sana ya, nanti aku akan pulang bawa uangnya,” tekat Niana. Bagaimanapun caranya, Niana harus mendapatkan uang itu segera. Nasib adiknya bergantung pada usaha Niana kini. Tidak, nasib Radit sepenuhnya ada di tangan Tuhan, namun melalui perantara uang untuk biaya operasi itu.
Panggilan berakhir. Niana tidak mau menyiakan waktunya barang sebentar saja. Sekarang, mulai berpikir siapa-siapa saja yang memiliki uang dan mau meminjaminya secara suka rela.
“Mau cari pinjaman ke mana lagi?” gumam Nirina. Di saat-saat seperti ini, dirinya menyesal kenapa saat dulu tidak mencari teman sebanyak-banyaknya? Benar kalimat yang mengatakan punya banyak teman akan memberi banyak manfaat. Niana punya satu teman yang diyakini pasti akan meminjamkannya atau bahkan memberikan. Sayangnya, Niana pernah berbuat kesalahan di masa lalu sampai membuat hubungan keduanya merenggang. Karena sifat irinya, Niana jadi melakukan segala cara agar temannya itu merasakan kesulitan seperti dirinya. Memang sudah membaik hubungan antara keduanya, namun Niana tahu diri untuk tidak ke sana. Niana yang sudah membuat kekacauan, dan sekarang memohon bantuan?
“Satu-satunya pilihan cuman Laura. Tapi, mau ke rumah dia rasanya berat banget,” bisik Niana. Laura. Teman baiknya sedari masuk sekolah menengah atas. Si anak kaya raya yang selalu baik padanya. Huh, kalau mengingat tentang Laura, Niana makin diliputi rasa bersalah.
“Ayo pikir lagi. Laura akan jadi pilihan terakhir.” Sekeras apa pun Niana berpikir, tetap saja buntu. Tidak ada jalan keluar.
Berjalan pelan, tidak tentu arah. Mengikuti kata hatinya saja. Menghela nafas panjang. Menyadari betapa tidak bergunanya Niana sebagai kakak. Mencari uang untuk pengobatan adiknya saja membutuhkan waktu yang lama. Niana sedih tentu saja. Merutuki dirinya sendiri.
“Kayanya memang harus ke rumah Laura,” gumam Niana. Memutuskan menebalkan muka demi kesembuhan adiknya. Semoga saja Laura berbaik hati mau meminjamkannya. Memilih menaiki ojek online. Niana membutuhkan uang itu segera. Akan lama jika menggunakan bis. Memang uang yang dikeluarkan lebih banyak, tapi kalau untuk waktu tempuh yang lebih cepat, tidak masalah kok. Pasalnya Niana juga sedang diburu waktu.
Dalam perjalanan, jantung Niana makin berdetak kencang. Di sana akan baik-baik saja kan? Niana takut kena marah penghuni rumah. Mereka pasti masih kelas dengan dirinya yang membocorkan identitas Laura saat terpergok sedang keluar bersama salah satu aktor yang sedang naik daun saat itu. Laura di bully baik di dunia nyata maupun dunia maya
“Maaf Ra,” lirih Niana. Sayangnya sebanyak apa pun Niana meminta maaf, Niana tetap merasakan rasa bersalah itu. Walau Laura sudah mengatakan memaafkannya.
Tiba di depan pagar tinggi rumah Laura. Nirina bimbang. Haruskah melanjutkan niatnya? Atau mengurungkan dan kembali pulang? Niana bimbang.
“Gue harus masuk. Demi kesembuhan Radit.” Meyakinkan dirinya sendiri untuk segera masuk ke dalam rumah besar itu. Bertemu Laura dan mengungkapkan tujuannya datang kemari.
“Cari siapa ya Mbak?” tanya pria berbadan besar dengan seragam yang melekat di tubuhnya. Satpam rumah Laura.
Meneguk ludah kasar. “Saya mau bertemu dengan Laura. Apa ada? Oh iya, saya teman sekolahnya,” jawab Niana. Dalam hati merutuki ucapannya. Teman? Mana ada teman yang tega menyakiti temannya sendiri?
“Aduh maaf. Non Laura sedang tidak berada di rumah. Baru saja tadi keluar,” beri tahu satpam bernama Hendri itu. Bahu Niana terkulai lemas. Harapan satu-satunya pupus.
“Apa masih lama pulangnya?” tanya Niana penuh harap.
“Sepertinya akan lama. Karena sedang mempersiapkan pernikahan. Jadi akan sibuk mengurus ini dan itu. Mending telepon saja.”
Huh, sepertinya memang sudah tidak ada harapan. Menelepon? Niana bahkan sudah tidak menyimpan nomor Laura. Handphonenya yang lama hilang, hilanglah semua kontak yang ada.
“Saya boleh meminta nomor ponsel Laura? Kebetulan handphone saya sempat hilang, jadi nomor ponsel Laura juga ikut hilang.” Nirina mencoba peruntungan. Semoga saja diberi.
“Maaf sebelumnya. Saya tidak memiliki hak untuk memberikan nomor nona muda.”
“Ah baik. Tidak masalah. Saya permisi dulu kalau begitu.” Dengan langkah gontai, Niana berjalan menuju gerbang kompleks. Menunggu kendaraan di halte yang letaknya lumayan jauh.
Niana bingung. Sudah tidak tahu lagi harus mencari ke mana. Tanpa Niana sadari, kedatangan gadis itu di kediaman Laura terpantau dalam pandangan seseorang yang sekarang bahkan sudah membuntutinya dari dalam mobil yang berjalan tepat di belakangnya.
“Ada apa datang cari adik gue?” gumam pria dari dalam mobil. Pandangannya tak terputus pada wanita bertubuh kecil yang berjalan tak jauh di depannya.