Azka mengeluarkan semua yang ada di dalam tas ranselnya satu persatu. Air, bebungaan, daun kelor, jeruk purut, bermacam rempah kering hingga garam, semua ia letakkan dalam sebuah wadah. Wadah itu diletakkan lagi ke atas sebuah baki, tepat di sebelah buku peninggalan Bima, serta beberapa foto saat liburan, yang ada Lyra-nya.
Kemudian, Azka duduk bersila di atas lantai keramik, tepat di sisi ranjang Adi. Dia memandang Ryn, memberi isyarat agar Ryn mendekat. Ryn mengikutinya tanpa berkomentar. Mereka lalu duduk berhadapan, hingga lutut mereka saling bersentuhan satu sama lain. Dengan sangat hati-hati, Azka meletakkan baki sarat isian itu, memanjang di atas pangkuan mereka berdua.
“Tangan kamu,” ucap Azka setelah memastikan posisi baki stabil. Suaranya teramat datar, tak ubahnya kalimat berita, bukan kalimat permintaan atau perintah.
Ryn mengusir selintas rasa tak nyaman yang menyelinap di benaknya.
“Yang mana, kiri atau kanan?” tanya Ryn pada Azka.
“Dua-duanya,” sahut Azka kalem.
“Harus banget?” protes Ryn lirih, mirip sebuah gumaman yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
Azka menahan napas mendengarnya.
“Niat mau bantu nggak? Atau batal? Nggak masalah juga sih, buatku,” kata Azka, masih sedatar sebelumnya Papan kayupun rasanya bakal kalah datar dengan nada ucapan Azka ini. Air mukanya juga tenang saja, terkesan tak peduli malahan.
Di telinga Ryn, ucapan Azka dapat disimpulkannya menjadi satu kalimat, “Nothing to loose.” Sial! Kini ia dapat merasakan bertapa bola panas ada di tangannya.
“Oke,” kata Ryn dengan berat hati.
“Hm,” sahut Azka pendek.
Kedua telapak tangan Azka terbuka, menghadap ke atas. Azka menyambut tangan Ryn yang terulur ragu ke arahnya. Azka segera menempatkan telapak tangan Ryn dengan posisi menangkup telapak tangannya.
“Siap, Ryn?” kini Azka bertanya dengan lembut. Ryn dapat merasakannya. Ryn menyahutinya dengan anggukan kepala saja, sambil mengusir selintas debar di dadanya.
“Bagus, kita mulai. Fokus, ya,” sahut Azka seraya memejamkan matanya.
Ryn mengikuti apa yang dilakukan oleh Azka. Diapun memejamkan kedua matanya, memusatkan pikiran ke satu fokus yang sama dengan Azka.
Ruangan serba putih itu seketika hening. Perlahan, aura mistis mulai terasa.
Zizi yang duduk di sofa, menanti dengan gelisah. Tangannya menyibak vertical blind, memantau suasana di koridor, sebentar kemudian memandangi Adi yang tertidur lelap. Akhirnya, pandangannya bermuara pada dua orang yang duduk bersila di lantai, di samping pembaringan sang kekasih.
Ryn dan Azka. Mengamati mereka, Zizi menebak-nebak, apa gerangan yang mereka lakukan. Mulanya, Zizi menyaksikan peluh mulai membanjir membasahi dahi Azka, seolah Cowok itu tengah mengerahkan energi yang besar.
Tidak lama kemudian, Zizi mendapati baki bergoyang lembut namun konstan. Meski tiada angin yang berembus, buku catatan Bima membuka dengan sendirinya, helai demi helai. Zizi jelas terheran, sebab dia yakin sekali, buku harian itu terkunci. Kuncinyapun tak pernah disertakan dalam kiriman paket yang ditujukan pada Adi.
‘Apakah Azka menemukan cara untuk membuka buku harian itu tanpa merusaknya? Kapan?’ pikir Zizi dalam bingung yang bercampur heran.
Tak mendapat jawab atas pertanyaan ayng singgah di kepalanya, Zizipun mengalihkan pandang kepada dua orang yang dimintainya tolong, Azka dan Ryn.
Saat itu lah, Zizi melihat Azka seolah tengah mentransfer sesuatu penglihatan kepada Ryn. Zizi melihat, badan Ryn sedikit bergetar, seiring butir-butir keringat yang tampak di keningnya. Ingin benar dihapusnya keringat di wajah Azka dan Ryn, tetapi Zizi takut, aksinya justru berpotensi mengganggu konsentrasi mereka. Karenanya, dia hanya dapat menurunkan suhu air conditioner, mendobeli selimut Adi, lalu merapatkan jaketnya sendiri.
Sementara Ryn dan Azka bak terbawa ke suatu masa, dua setengah tahun lalu. Kronologis yang lebih rinci terbayang, dibandingkan potongan-potongan kecil peristiwa, yang pernah didapatkan oleh Ryn sebelumnya.
- Kilas Balik -
Empat pemuda terlihat keluar dari badan pesawat. Secara beriringan, mereka memijakkan kaki di garbarata dan menyusuri lorong menuju area kedatangan internasional. Wajah mereka cerah ceria, setelah penerbangan menempuh penerbangan lebih dari empat jam lamanya.
“Yuhuuuuu….! Finally! Never ending peace and love! I’m coming!” sorak Robby, yang tertua di antara mereka, menyebut nama negeri mungil yang terjepit di antara ‘dua negara raksasa’ itu. Ya, Nepal, negara penuh bentang indah panoramanya, yang berada di antara Tiongkok dan India. Setengah berlari, Robby memotret obyek apapun yang menarik minatnya. Lagaknya menyerupai seorang bocah yang mendapatkan mainan yang telah lama dia dambakan.
“Salah, Bro! Mustinya…. Yuhuuuu… ! Akhirnya… lulus jugaaa!” koreksi Reifan, tak kalah gembira.
“Betul, betul, betul!” sahut Robby dengan gaya Ipin-Upin.
Gelak tawa dan canda riapun menyertai langkah mereka berempat, menuju area counter imigrasi.
“Ssst…, Rob, Cewek yang tadi di pesawat! Yang lo sebut ‘seraut wajah berisi lamunan’ itu, loh!” bisik Bima pada Robby yang langsung menoleh mengikuti pandangan mata Bima.
“Mana?” Robby balas berbisik. Penuh minat. Ia harus sedikit membungkukkan badannya karena Bima lebih pendek darinya.
“Arah jam dua belas lewat sepuluh,” Bima balas berbisik sambil setengah berjinjit.
“Sial. Jam gue digital,” canda Robby yang segera melayangkan pandangan sesuai titik ‘ordinat’ yang dideskripsikan oleh Bima. Dalam sekejap, dia menemukan apa yang dicarinya.
“Kalian sudah siapin foto kan, untuk visa on arrival nya?” tanya Adi yang sedari tadi lebih banyak menimpali saja, dan memperhatikan ekspresi bahagia ketiga kawannya.
“Ssst…, sudah! Tapi yang lebih penting, gue barusan berhasil candid Cewek yang begini,” sahut Robby sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Dia kelihatannya pergi sendirian. Dekatin yuk, kenalan sama dia! Kan bikin liburan kita makin seru yang penuh warna,” sambung Robby.
Adi menggeleng, bermaksud memperingatkan teman-temannya.
“Eits…! No, no, no! Tujuan kita kesini liburan. Nggak usah aneh-aneh, deh! Nih, isi formulirnya, terus buruan masuk ke antrian. Biar operator tour yang jemput kita nggak kelamaan nunggu di luar,” Adi menarik tangan Robby, lantas menyodorkan sebuah kertas untuk diisi.
“Nggak asyik nih, Adi!” keluh Robby seraya menerima kertas yang disodorkan Adi. Tergesa mengisinya, lantas ikut mengantri di belakang Adi.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, paspor mereka berempat telah mendapatkan stempel. Selang sebentar saja, empat sekawan itu terlihat menyeret bagasi masing-masing menuju pintu keluar.
“Nah, itu supir yang jemput kita! Buruan, yuk! Sudah nggak sabar buat mengeksplor negara mungil nan eksotis ini!” kata Adi, begitu melihat seorang warga lokal membawa kertas bertuliskan namanya. Ya, Adi yang mengaturkan perjalanan ini, mencari operator lokal hingga menata jadwal harian mereka demi merayakan kelulusan mereka dari perguruan tinggi yang sama. Pencapaian yang sempat tertunda.
“Eksotis? Yang itu, baru eksotis!” kata Reifan. Diarahkannya jari telunjuknya, mengarah pada seorang gadis ramping berkulit kecoklatan yang sedang membuka pintu taksi, dan terpaut tiga ratus meter saja, dari tempat mereka berdiri.
“Wuiiih… baru datang, kota ini langsung membuai kita lewat pesona keindahannya. Tapi gue heran, itu Cewek, kok pakaiannya kelewat berani, ya, menurut gue? Kalau ngelihat fisiknya tuh, orang kita banget. Ya meskipun rambutnya sengaja diwarnai coklat tua begitu. Tapi kok dia pakai t-shirt ketat tanpa lengan dipadu celana jeans pendek begitu? Minimal, pakein pashmina kek, biar menyamarkan keseksiannya itu,” tambah Reifan.
Bima mengikuti arah pandangan Reifan. Dia terlonjak gembira setelahnya.
“Rob! Si ‘wajah berisi lamunan’! Rejeki memang nggak kemana,” Bima menepuk-nepuk bahu Robby dengan semangat.
“Mana? Mana?” tanya Robby girang. Ia bergegas melayangkan pandangan ke sekitar. Tidak lama kemudian, Robby mendapati sang target baru akan memasuki taksi. Gerakan refleks Robby adalah melangkahkan kakinya.
Namun Reifan keburu bertindak, mencegah Robby dengan memalangkan kakinya. Nyaris Robby terjungkal kalau tidak refleks mengerem langkahnya.
“Oiii! Fokus, Bro! Fokus! Itu taksi sudah mau jalan, tahu! Si kompor meleduk, Bima malahan sudah jalan di depan, ngikutin Adi ke mobil jemputan kita,” Reifan terus menghalagi Robby.
Robby mendengus. Cerminan atas kombinasi rasa kecewa dan sebal yang dirasakannya.
*^ Lucy Liestiyo ^*