“Kalian payah, nih! Jelas-jelas itu Cewek solo traveller. Jalan sendirian, dia. Kesempatan, tahu, bisa kenalan! Mana tahu, jadwalnya banyak yang sama dengan kita. Jadwal kita juga fleksibel, kan, kata Adi?” gerutu Robby, merasakan sebuah peluang emas terlepas lagi darinya.
Reifan terkekeh, mengejek Robby yang hanya sanggup termangu di tempatnya. Reifan mendorong tubuh Robby agar berjalan lebih cepat, dan secepatnya menarik tangan Robby ke mobil yang telah menunggu mereka.
“Penyiksaan,” cela Robby.
Reifan tersenyum mengejek.
“Lagian, baru juga sampai di Kathmandu, udah kepengen mati bengong. Please, deh! Udahlah, Rob. Fokus. Ef, o, ka, u, es,” olok Reifan sembari mengeja kata 'fokus'.
"Reseh. Nggak usah begitu amat, kali!" cerca Robby lalu tersenyum miring.
Begitu keduanya masuk ke mobil dan meletakkan koper mereka, sapaan ramah pemandu wisata mereka terdengar. Sang pemandu bernama Ekata itu memberikan mereka pilihan untuk segera makan siang dan meng-explore kota Kathmandu, ataukah ke hotel untuk menaruh koper mereka dulu baru kemudian meng-explore kota. Tanpa banyak pertimbangan, keempatnya sepakat memilih opsi yang pertama.
Setidaknya, dua tempat wisata mereka kunjungi sebelum mereka di-drop ke hotel pada sore harinya. Seolah pantang melewatkan waktu begitu saja, keempatnya lekas meletakkan bagasi di kamar hotel, lalu turun untuk berjalan-jalan di sekitar area Thamel sekaligus mencari makan malam yang sesuai dengan selera mereka.
Berbekal sebuah peta di tangan, mereka berempat menelusuri jalanan Thamel yang sempit, berdebu serta berpotensi menyesatkan itu. Canda ria mewarnai kebersamaan mereka. Bima yang gemar memotret, enggan melewatkan obyek menarik apapun yang melintas.
“Di, besok kita dijemput jam berapa?” tanya Reifan.
“Standard, Fan, seusai waktu sarapan,” jawab Adi.
“Oh, oke. Cocok, tuh,” sahut Reifan.
“Deretan kiosnya kebanyakan menjual peralatan hiking melulu, ya,” celetuk Robby yang memperhatikan deretan kios di kanan kiri jalan.
“Iyalah. Secara, kebanyakan orang kemari itu mau trekking, bukan cuma plesiran macam kita,” timpal Adi.
Robby manggut kecil, menyetujui pendapat Adi.
Di tengah keasyikan mereka mengomentari aneka t-shirt yang dipajang di beberapa kios yang mereka lewati, tahu-tahu hujan lebat turun mengguyur mereka. Tanpa 'aba-aba' berupa gerimis, mendung yang menggantung di langit, atau suara petir.
Merekapun segera berlarian, melipir ke emperan sebuah café lantaran tertuntun aroma kopi yang menggoda indra penciuman mereka.
Bima sibuk mengecek apakah kameranya baik-baik saja, ataukah sempat terkena air hujan, sementara Robby tenang-tenang saja, tak terlalu memusingkan kamera yang dikalungkannya di lehernya. Robby justru mengibaskan rambutnya.
Bima mengerling dengan mimik muka mencela.
“Huh! Dasar Cowok metroseksual! Penampilan tuh penting banget buat dia, deh!” bisik Bima sok sinis. Ucapannya terluput dari pendengaran Robby.
Adi yang mendengarnya sambil lalu hanya tertawa kecil menanggapinya.
Lantaran hujan yang kian menderas, Reifan dan Adi mengelap wajah dan tangan mereka dengan sapu tangan.
“Kita masuk saja, yuk. Hitung-hitung semacam early dinner gitu. Kelihatannya menu-nya lumayan beragam. jadi, kita bisa pilih sesuai selera masing-masing,” ajak Adi, mendahului ketiga kawannya.
“Oke, lah,” Robby yang paling semangat menyambut ajakan Adi. Diikutinya pandangan mata Adi pada sebuah papan bertuliskan ‘daily menu’ yang teronggok di depan cafe.
Merekapun memilih meja terdekat dari pintu karena paling mudah mencapainya.
Seorang pelayan menghampiri mereka dan menyapa dengan ramah, lantas memberikan daftar menu kepada keempat sahabat itu. Keempatnya membolak-balik menu di tangan mereka.
“Thukpa, Tibetan bread with egg, hot capuccino,” sebut Robby cepat.
Reifan menoleh dan menanyai Robby, “Enak, apa?”
Robby mengangkat bahu sebagai jawabannya.
“Ya, mana gue tahu? Gue juga baru pertama, mau makan ini. Yang jelas, cocok, lah buat kita yang habis kehujanan begini,” sahut Robby ringan.
Reifan memperhatikan foto menu dan bergumam, “Kok selintas, tampilan thukpa-nya mirip mie rebus begitu, ya? Enggak, deh. Biasa banget.”
“Gue mau yang standard saja. Steak sama kentang goreng. Kopinya sih boleh, harum banget aromanya. Cuma jadi bingung nih, mau kopi yang mana. Kalian apa?” tanya Reifan kemudian, sambil membolak-balik daftar menu di tangannya.
“Gue mau cobain chow mien. Banyak yang bilang, jangan ngaku pernah ke Nepal kalau belum ngerasain chow mien. Minumnya Chinese tea. Lo, mau makan apa, Di?” tanya Bima.
Adi membolak-balik menu sesaat.
“Gue justru tertarik sama kue-kuenya. Cocok dipadu espresso,” sahut Adi.
Reifan mengangkat alis.
“Ah, serius? Kenyang, apa? Bisa hidup lo, makan begituan doang Di?” tanya Reifan, mengundang senyum Adi.
“Belum terlalu lapar justru. Lagian, kalau entar malam lapar, kan gampang. Kata resepsionis hotel, resto mereka buka sampai jam sepuluh. Sekitar hotelpun banyak kedai,” jawab Adi, membuat Reifan manggut-manggut.
Sesuai harapan mereka, pelayanan café amatlah cepat. Pesanan mereka lekas terhidang. Dan sebagaimana anak muda pada umumnya, mereka saling mencicipi hidangan teman mereka. Tak terasa, mereka telah melakukan repeat order kopi.
Adi menatap ke arah luar sesaat, lantas berkata, “Hujannya mulai reda. Setelah ini, kita bisa balik ke hotel.”
“Jangan langsung balik lah, ngiter-ngiter dulu dong,” tawar Bima.
“Ya sudah. Nggak masalah,” sahut Adi pendek, bersiap menghabiskan kopi di cangkirnya.
“Ha ha ha. Pantang rugi banget, ya? Hari pertama langsung gas pol, keliling ke mana-mana?” timpal Robby ditingkahi tawa renyah.
Yang lain turut menimpali. Derai tawa mereka baru mereda kala terdengar suaara Bima.
“Wow, lihat itu! Kita sudah hampir satu setengah jam di sini. Kok, baru ‘ngeh’ sekarang ya? Arah jam sepuluh,” cetus Bima tiba-tiba. Bima mengedikkan dagunya, seolah menantang Robby.
“Apa?” Robby mengikuti arah pandangan Bima.
Matanya langsung menangkap pemandangan yang mengusik perasaannya. Siapa nyana, Cewek yang tadi satu pesawat dengan mereka dan tak terkejar olehnya di bandara, ternyata ketemu di sini. Kali ini, Cewek tersebut tampaknya bukan sekadar ngelamun. Robby malah menengarai bahwa si Cewek itu tengah galau. Itu terbukti dari gerakan tangannya yang terus mengaduk-ngaduk minuman di gelasnya dengan sedotan, sementara matanya seperti enggan berkedip, menatap laptop di depannya. Robby yang sudah berpengalaman menghadapi gadis-gadis, langsung yakin, si target, pasti lagi patah hati. Keyakinan ini menggerakkannya bangkit dari duduknya.
‘Kata Afgan, jodoh pasti ketemu. Tapi kalau nggak disamperin, ya dia lolos lagi,’ pikir Robby.
“Mau ke mana, Rob? Kita sudah mau cabut dari sini,” tegur Adi curiga, mendapati wajah Robby amat sumringah.
“Itu, mau memburu si wajah berisi lamunan,” kata Bima pelan, membuat Reifan seperti tersengat lebah. Lekas ditariknya tangan Robby sebelum Robby telanjur melangkah meninggalkan meja mereka.
“Fokus dong, ah! Lihat, mungkin dia sengaja ke café buat cari suasana. Barangkali, dia itu seorang penulis atau semacamnya, dan memerlukan suasana seperti ini, buat mencari ide sekaligus sebagai trigger buat membangkitkan mood menulisnya. Jadi, berhubung ini never ending peace and love, janganlah kita saling mengganggu kepentingan orang,” tambah Reifan. Terdengar bijak, sampai memacing senyum setuju dari Adi.
“Ah, kalian pada nggak asyik! Cuma kenalan, salahnya apa? Kan nggak mengganggu,” protes Robby.
Reifan mengibaskan tangan.
“Kenalan itu awalnya. Terus pasti disambung sama niat-niat nggak jelas di otak lo! Robby, gitu loh, kartu mati! Sudah deh, jangan macam-macam. Yuk, kita jalan sekarang,” balas Reifan.
Robby mengedikkan bahu. Rasa kecewa terbias di wajahnya.
Bima terkekeh, terkesan cuci tangan.
“Dasar kompor!” Robby memukul bahu Bima dengan gemas.
"Eits! nggak kena, ha ha ha!" ejek Bima yang berkelit dengan gesit, menyebabkan pukulan Robby hanya sekilas saja mengenainya. Bima tersenyum mengejek.
Robby berdecak kesal. Dipelototkannya matanya kepada Bima.
- Lucy Liestiyo -