"Bhadra...."
"Ya?"
"Tolong."
"Apa, Tata? Saya nggak dengar."
"Tolong."
"Untuk?"
"Kita cuma perlu datang ke sana, ikuti apa maumu, dan selesai. Kita selesai. Sesuai janji awal. Okay?"
"Okay? It's not okay, Tata. Nggak gitu cara mainnya. Pelan-pelan, Baby."
Aku mengepalkan tangan, bersiap untuk kembali melayangkan tinju, tetapi semuanya tertahan karena ia sudah menarik tanganku kuat. "Lepas!"
"Lain kali, bertanya dulu sebelum memutuskan. Ah, saya tahu, kamu terbiasa hidup dengan abai pendapat orang."
Aku memilih diam, malas buat menjawab orang macam dia. Hanya akan membuat kepala pening.
"Ganti celana."
"Sorry?" Aku tertawa. "Kamu kok lucu banget sih, Bhadra. Dengar ya, saya bukan budakmu. Nggak ada ganti baju."
"Kamu yang lucu, Tata. Bukan b***k saya? Terus, ngapain sekarang kamu berdiri di sini, mengikuti permainan saya? Hm?"
Good job, Tata! Aku kehilangan kata-kata.
Senyumnya merekah lebar. "Kamu memang bukan b***k, tetapi tahanan---kamu bisa menyebutnya begitu. Karena kalau-kalau kamu mau tau, Papa saya adalah orang yang nggak bisa mentolerir perselingkuhan dalam jenis apapun. Kamu bisa bayangkan, apa yang akan dia lakuin kalau tahu anak sulungnya, punya gadis macam kamu?"
"Saya nggak takut dan nggak peduli."
"Saya tahu. Kalau gitu, apa yang kamu takutin sekarang? Naik."
"Sabaarrr! Saya perlu hati-hati pakai helm-nya!" Aku bahkan nggak menyangka di motornya sudah ada dua benda penutup kepala k*****t ini. Dengan susah payah, aku berusaha naik di belakangnya.
"Memang terlihat, kamu kayaknya nggak punya pengalaman memakaikan helm. Tapi kan selain Mas Agra, masa iya kamu nggak makein helm di junior pria lain? Hm? Atau kamu memang suka tanpa peng---s**t!"
Laki-laki satu ini, Tuhaaaaaan! Rasakan benturan helm itu!
Tetapi, apa yang dia katakan benar. Ngapain sih aku nurut dan ikuti semuanya? Aku bisa saja memilih berhenti dengan Mas Agra dan pura-pura nggak mengenal lagi Bhadra. Maka, semua beres. Bukannya malah begini, terlibat dalam situasi yang semakin runyam. Kacau. Dan, aku kehilangan akal.
Apalagi, setelah motor yang kami kendarai memasuki rumah ... Crap. Well, aku hafal plat dan segala tentang mobil itu. Kendaraan roda empat yang sekarang terpakir sempurna di depan motor Bhadra ini. Aku membenarkan dress, sambil menyemangati diri agar tak terlalu gugup. Rasanya ... aneh. Ada keinginan untuk kabur, tetapi firasatku bilang kalau malah akan bertambah kacau. Sebentar, yakinkah kalau dengan melakukan ini maka masalahnya selesai dan baik-baik saja? Bagaimana jika---"Saya bisa sendiri. Jangan sentuh saya."---setelah ini malah aku kembali terpojok?
Bhadra menarik tangannya yang tadi akan ia gunakan untuk merapikan rambutku. "Mas Agra boleh menyentuhmu di mana pun kan? Sata bayar lho, Ta. Suwer."
"Saya nggak semurah itu!"
Ada tawa menghina yang kentara sekali. Lalu, genggaman yang tiba-tiba membuatku terhenyak tetapi tak sempat membentak sebab jarak dari carport ke pintu ternyata tak membutuhkan banyak waktu.
Di sana, di depanku dan Bhadra yang sedang berjalan ini, sudah ada laki-laki tampan, laki-laki malang yang aku rela menghabiskan waktu untuk membantunya bangkit. Ada perempuan juga yang sedang mengajak balita ngobrol. Dan, laki-laki paruh baya yang nggak sulit buat menebak kalau dia adalah sang papa.
Aku bergetar saat pandangan Mas Agra menemukanku. Tatapan itu ... yang sering kali ia gunakan kalau baru datang membawa cerita duka. Tatapan nelangsanya. Dia ... kenapa? Apa semua orang sudah tahu dan memojokkannya?
"Hai, Bhadra...." Adalah Lolita, orang pertama yang menyambut dan membuat Bhadra melepas genggaman hanya untuk memeluk perempuan itu. "Ya ampun, akhirnya kamu dateng ke sini nggak cuma kayak tamu yang sejam-dua jam, tapi kita bisa makan malam bareng lagi."
"Kangen aku ya?"
"Banget!"
Aneh. Interaksi yang aneh untuk hubungan kakak dan adik ipar, terlebih beda kelamin. Namun, bukan itu yang menjadi fokusku ini. Ada pria paruh baya itu yang terlihat malah bangga, menatap pelukan anak dengan menantunya. Sementara, Mas Agra masih diam, memandangiku.
Aku ingin memberinya senyum, tetapi tidak kulakukan. Aku ingin bilang, 'Apa kabar Mas?' sebagai pertanyaan favoritnya di detik pertama kalau kami bertemu, tetapi kutahan. Hingga tatapanku menemukan Lolita kembali ke kursi---tanpa menyapaku? Apa dia sudah tahu?---dan meminta anaknya untuk menyambut adik sang ayah.
"Paman Adela.... Dila kangeeeeeeen."
"Masa sih? Baru dua hari lalu lho, Paman main. Bohong nih, Dila, nih. Hahaha. Sini, sini. Ugh," Bhadra menggendongnya, membawa Dilara duduk di pangkuan. "Makan apa sih? Kok makin berat." Laki-laki itu terbahak di saat sang balita merengut. Kemudian, tatapannya beralih pada pria tua itu. "Gimana, Pa? Sehat?"
"Sehat, alhamdulillah. Rasanya luar biasa kedatangan anak bungsu yang udah ngerasa paling dewasa dan nggak mau tinggal bareng sejak Mas-nya menikah." Tawanya ramah, auranya terlihat bijak. "Ada yang bersedia mengenalkan siapa dara cantik yang berdiri di sana? Silakan duduk, Sayang. Bhadra ... kamu punya pacar akhirnya?"
"Ah, Bhadra lupa." Setelah mendudukkan Dilara di sebelah ibunya, tetangga songongku itu menghampiriku. "Dia ini agak aneh, Pa. Itu kenapa Bhadra berani ngenalin. Ayo, Cantik. Jangan cemburu gitu dong. Dia keponakanku." Melihat dia tersenyum penuh kemenangan, rasanya aku mual seketika. Namun, aku harus pura-pura tersenyum saat sudah duduk di samping Bhadra. "Semuanya, kenalin, dia Tata. Milik Bhadra dan berdoa aja nggak ada yang rebut lagi. Gimana, Mas? Cantik nggak?"
Hanya Papa Bhadra yang tertawa. Mas Agra lalu tersenyum dan mengangguk, sementara Lolita ... ada apa dengan tatapan itu? Hei, aku Tata, dan bukan cewek bodoh yang tak mengerti mana bentuk ramah dan ekspresi selamat-datang atau pengusiran.
"Tata, saya Rama. Nggak nyangka lho, kamu mau sama bungsu saya ini. Kerjaannya nggak jelas. Katanya nulis itu menghasilkan uang, padahal dunia tahu kan seberapa untungnya dari menulis?"
Aku meringis. "Saya juga menulis, Om."
"Walah. Serius. Dan nulis di blog juga? Maaf, maaf. Saya nggak bermaksud---"
"Nggak apa. Menulis memang seharusnya dijadikan hobi aja, jangan profesi."
"Kamu sama Bhadra sama berarti? Sama-sama blogger?"
Aku diam sesaat. Melirik laki-laki yang sekarang sedang menyuapi Dilara. Dia blogger? Apa yang ia tulis? Apakah tentang tips dan trik menyakiti lawan bicara? Atau, bentuk-bentuk lekuk tubuh terbaik wanita, menilik dari bagaimna kotor mulutnya itu.
"Mas Agra, nggak mau kenalan sama milikku?”
Bhadra .... kapan dia ini bisa lebih manusiawi sedetik saja?
"H-ai." Laki-laki malang itu tersenyum hangat, seperti biasa. Malam ini pun, ia tampan mengenakan kaus rumahan, sementara aku heboh menghias diri. "Saya Agra."
"Tata." Aku senyum lebar.
Mas Agra ... semoga kamu selamat dari keluargamu. Kamu harus selamat karena kamu laki-laki hebat. Lolita hanya belum tahu seberapa banyak kamu diidamkan oleh perempuan di luar sana, termasuk Bebel.
"Loli, nggak mau kenalan sama Tata?"
"Oh? Iya, iya. Sori. Aku lagi sibuk milihin daging lobster buat Dilara." Tangannya terulur. "Hai. Aku Loli. Kamu penulis? Penulis apa kalau boleh tahu?"
"Novel."
"Well, semoga bisa sesukses JK. Rawling ya, Tata."
Aku hanya mengangguk, malas menginterpretasi kalimatnya lebih dalam. Sejak detik pertama tadi, aku sudah tahu kalau aku tidak menyukainya. Bukan karena dia istri Mas Agra, sungguh, kali pertama mendengar tentangnya dari mulut sang suami, kata yang keluar dari mulutku adalah: Wow, dia wanita hebat. Namun, kini, alam memberi bukti, bahwa Lolita mungkin memang selayak itu untuk ditinggalkan Mas Agra dan dibela mati-matian oleh orang macam Bhadra.
"Tata nggak makan lobster, Sayang."
Seharusnya nggak perlu begini suasana yang tercipta setelah satu kalimat itu terlontar. Seharusnya tak ada kerutan dahi dan alis menyatu pada wajah Lolita dan Om Rama. Seharusnya Dilara nggak perlu bengong menatapi kami gantian karena tak ada yang bersuara.
Seharusnya.
Namun, karena kalimat itu yang mengatakan adalah Agraprana, yang dalam konteks ini harusnya nggak menganalku---sialan banget, Tuhan!---maka beginilah. Aku sudah harus siap kalau dalam hitungan detik, sebuah tamparan atau jambakan seperti apa prediksi Bebel akan kuterima. Astaga, tolong! Aku tidak mau dipermalukan.
"Tadi Bhadra kirim pesan sebelum datang. Ingat, Bhadra?"
Dengan cepat kubuka kelopak mata dan aku nggak bisa menahan kagum akan berkembangnya kepintaran Mas Agra! Hahaha. Good job, Mas! Terima kasih sudah menyelamatkanku.
"Ohya? Aku kirim pesan ke Mas Agra? Hm, masa sih?" Toloooong, Bhadra. Laki-laki ini sungguh b******n. "Hahaha. Santai aja semuanya, Mas Agra benar. Aku tadi kirim pesan. Oya, Pa, gimana Tata menurut Papa? Secantik Loli atau lebih waw dari Loli?"
"Cantik. Papa suka punya menantu lain dengan rambut panjang begitu. Supaya mudah membedakan dengan Loli. Tata, kamu yakin kuat bareng Bhadra? Bhadra ini galak sama pacarnya. Saya ingat dulu, waktu masih SMA, pacarnya sering ngadu ke sini kalau berantem sama dia."
Aku ikut tertawa. Membayangkan seorang Bhadra di saat SMA pasti enggak banget. Dia kan begitu. Ganteng juga nggak terlalu, pesona tidak ada dan ... well, aku suka messy hair-nya.
"Jangan gitu, Pa. Gini-gini, Tata udah cinta mati sama Bhadra." Si Bungsu menepuk d**a, pongah, kemudian, tanpa bisa kucegah, satu tangannya sudah merangkul bahuku. "Sayang, jangan terlalu didengar ya omongan Papa. Maklum, udah nggak sabar mau punya mantu lagi." Aku meringis, berkali-kali berusaha melepaskan tangannya tetapi yang ada malah semakin kuat. Lalu, sebuah kalimat lain kembali Bhadra bisikan, "Selamat datang di dunia sesungguhnya, Tata. Saya nggak akan membiarkan perempuan macam kamu berkembang biak."
"Lepas." Aku berusaha mendorong wajahnya, tetapi Bahdra malah semakin menempelkan bibirnya di telingku. Tidakkah dia tahu kalau ini adalah meja makan?!
Bisikkan lain ia tambahkan. "Kamu memang sama parasitnya dengan ameba, tetapi kali ini, khusus buatmu, diperlukan penanganan khusus dan saya dengan sukarela melakukannya." Selanjutnya, hal yang tak hanya membuatku terkejut, tetapi mata Mas Agra sempat membesar, saat dengan kurang ajar Bhadra mengecup pipiku. "Cinta banget aku sama Tata ini! Hahaha. Sama lah kayak Papa yang tergila-gila sama almarhum Mama, sama kayak Mas Agra yang rela melakukan apapun buat Lolita. Ya, Tata, ya?"
Aku ... mengangguk.
"Jadi, kalau begitu, Tata, selamat datang di keluarga Bayuadjie! Om berharap kamu bisa mengakrabkan diri."
Mampus. Duniaku berakhir. Semuanya tak semudah apa yang dikatakan Bebel. Bhadra bukan laki-laki semudah itu. Otaknya picik. Dia terlihat sangat dendam padaku.
to be continued ...