tiga

1287 Kata
"Sadeeesss! Gue nunggu momen ini dan ternyata jauh di luar ekspektasi." Bebel masih terbahak sambil terus menata rambutku. "Gue tuh mikirnya mainstream banget lho, Ta. Elo bakal kepergok sama bininya atau ya minimal anaknya lah biar sama kayak yang viral itu. Tapi, ini tuh lebih apa ya, k*****s banget gitu lho. Keciduk sama adiknya, Nyet, apa yang lebih murahan dari itu." Si Ceriwis sudah menemukan bahan baru untuk mengejekku. Jadi, setelah dia pulang dari menyanyi di luar kota berhari-hari, akhirnya dia menemukanku yang tengah sibuk memilah pakaian---untuk apa kalau bukan karena tetangga songong satu itu---dan mengalir lah cerita mengenai tragedi Tata-Mas Agra-Bhadra. Dan, meskipun aku merasa enek pada tawa Bebel, di sisi lain aku senang dia sudah kembali. "Tapi serius deh, Ta, kalau gue jadi elo sih, gue lepas Mas Agra. Ada yang lebih sempurna di depan mata, apa yang lo pikirin lagi?" Aku memejamkan mata, saat Bebel menyemprotkan cairan ampuh itu ke wajah. "Tapi kan kita sama Bhadra baru kenal, Bel." "Emang lo sama Mas Agra udah lama kenal dulu, sebelum lo jadi pelakor dan jalanin hubungan haram ini?" "Setan, gue bukan pelakor!" "Apa dong?" pancingnya, sambil melakukan sentuhan-sentuhan akhir pada rambutku. "Tata, you are perfect. Banget. Gue tahu, semuanya ini nggak direncanakan. Kita memang pada awalnya seneng aja ngobrol sama laki-laki yang ternyata pikirannya jauh lebih njelimet, lalu Mas Agra datang dan semuanya berubah. Tapi, sampai kapan, Tata?" Dulu saat aku masih bekerja seperti warga kota lainnya, datang ke pub bersama Bebel adalah terapi ketika semuanya terasa berantakan. Alunan musik, minuman dan suasana yang tak berisik seperti paket lengkap untuk membuat tubuh lebih rileks. Kemudian, aku merasa sudah tidak bisa lagi melanjutkan kerja sebab semuanya membosankan dan memilih menulis, menuangkan segala bentuk imajinasi---meskipun semuanya juga tak mudah, ada banyak aturan dari pihak kedua yang harus kuikuti. Dan, seperti kata Bebel, bertemu dengan orang-orang di pub cukup menyenangkan. Ada banyak cerita yang kami dapatkan. Ada banyak pembelajaran yang coba kami pahami. Ternyata, seperti hal lainnya, tak ada yang abadi di dunia. Aku bertemu Mas Agra dan semuan berhenti, menjadi fokus hanya padanya. "Elo ... Nggak jatuh cinta sama Mas Agra kan, Ta? Don't you dare ...." "No," selaku, kayaknya terlalu impulsif. "Bebel, elo tahu gimana pandangan gue terhadap romantic relationships. Dan, jatuh cinta bukan salah satu goal dalam hidup gue. Bukan." "Kalau begitu, harusnya dengan mudah elo lepas Mas Agra." "Enggak bisa gitu." "Why?" Karena aku hanya diam, sepertinya hal itu digunakan Bebel untuk menembakku dengan kalimat lainnya. "Dear, My Tata. Biar gue bantu jelasin berdasarkan cerita lo tadi ya. Selama ini, sejauh yang gue tahu, elo ke Mas Agra itu ibarat aji mumpung---cmiiw. Kita ketemu dia sama kayak kita ke mereka lainnya. Bedanya adalah, Mas Agra itu menawarkan hal lain, uang untuk membayar waktu yang udah elo kasih---kayaknya saking baik dan polosnya tuh orang. Gitu kan? Oke, jangan dijawab dulu. Lalu, semuanya berjalan, mengalir meskipun elo dan gue sama-sama tahu, itu melukai Lolita kalau sampai cewek itu ngerti. Tapi, seperti apa motto elo, kalau semua manusia itu menjadi pelaku, bukan korban, lo abaikan semua itu. Dan, sekarang, sekarang ini, My Tata, ada jalan keluar, Honey. Jalan keluar buat semuanya. Tawaran bahwa elo bakal dapatin uang untuk waktu yang lo kasih tanpa menyakiti cewek lain. Apa yang lebih mudah dari ini?" Meet Bellaria Anggraini. Penyanyi solo yang aku bersyukur banget diciptakan menjadi sahabat sekaligus roommate. Omongannya yang panjang lebar begini juga salah satu favoritku dalam dirinya. Terdengar indah. Menenangkan. Meski tak selamanya. Tapi satu yang pasti, dia ini seorang Ear Tickler. Aku masih diam, membiarkan Bebel memutar tubuhku, berjongkok sambil terus meremas kedua tanganku. "My Tata .... Jadi, apa yang bikin lo nggak bisa melepas Mas Agra?" Apa? Aku bahkan tidak pernah terpikir kalau semuanya akan berjalan serumit ini. Dibayanganku, hubungan ini akan mudah. Aku dan Mas Agra saling memberi, bertukar sesuatu, maka beres. Aku tahu, aku dan Mas Agra akan ada masanya, tetapi bukan sekarang, bukan dengan cara ini. "You love him." "Love siapa?" "Agraprana Bayuadjie." "Enggak." "Para pelakor di sosmed dihujat, Tata." Senyum usilnya kembali hadir. "Dan, gue nggak mau sahabat gue ini mengalami hal yang sama." "Bebel...." "Hahahaha. Kenapa sih seorang Tata sekarang mikirnya ribet banget. Perawan lo masih utuh---nggak tau kalau bibir, udah lo kasih belum ke dia. Dan, ngapain masih ribet banget buat lepas satu ikan, ambil yang lebih besar, hm?" Aku baru akan membuka mulut, tetapi terhenti karena tarikan Tata hingga membuat tubuhku berdiri. Dia bilang, "Menjalani sesuatu yang nggak lazim untuk masyarakat, kadang memang cukup menantang, Tata, tapi bukan sesuatu yang bisa dibanggakan selamanya. Elo," tunjuknya pada bahuku, sambil membenarkan posisi dress. "harus mengakhiri ini sebelum makin runyam. Dan, kalau yang gue liat, Bhadra nggak buruk amat kok. Handsome juga dan agak ... sedikit fakboy, am I wrong?" Aku terbahak. "Nggak tahu. Yang jelas mulutnya cabe. Pedes." "Kalau gitu, pulang nanti, kasih gue review apakah bibir dan lidahnya sama pedes kayak omongannya. Oke, Honey?" Mataku melotot. Astaga cewek satu ini!   ***   "Have something to say?" Aku mengerutkan kening, memperhatikan Bhadra dengan penampilannya. Dia salah kostum, pasti! Tidak mungkin kan makan malam dengan keluarga---apalagi kalau mengingat ucapannya semalam ini adalah kali pertama (lagi)---mengenakan jeans dan jaket kulit, kendati aku nggak tahu apa yang ada di dalamnya. Tapi kan, gila aja gitu lho, belum ada aku nemu makan malam pakai outfit se-serampangan ini. "Ayo, Tata." Sudahlah. Bukankah aku hanya bisa mengikuti permainannya kali ini agar bisa bebas kemudian? Persetan dengan Mas Agra di rumahnya nanti. Persetan dengan Lolita dan anaknya. Dan, persetan dengan ... sialan, jantungku rasanya kayak mau naik ke tenggorokan! Ini memang konyol dan sumpah mati harusnya aku menghindar. Datang ke rumah laki-laki yang bersamamu di saat makan malam dengan keluarga? Apa yang lebih lucu dari ini, Tuhan! Well, Tata, tarik napas dalam-dalam. Ayo, ayo, mulailah semuanya semudah awal dulu. Sesimpel saat kamu dan Bebel hanya membutuhkan terapi, lalu Mas Agra datang sebagai bonus. Tunggu, kalau Mas Agra hanya bonus, harusnya mudah saja jikapun ia harus musnah, kan? Namun, mengapa ini terasa ada yang salah. Ada yang.... tadaaaa! Kejutan apa lagi ini?! Aku nyaris mengacak rambut, kalau saja tidak ingat Bebel mati-matian menatanya. Lihat aja coba di depanku ini. Bukan kendaraan roda empat, bewarna putih, hitam, merah, hijau, perak atau lainnya, tetapi kendaraan roda dua! You are right, Bhadra sudah nangkring di atas motor besar bewarna merah. Lalu, aku bagaimana? Adalah senyum iblis yang kutangkap kali pertama di basement ini. "Naik. Apa perlu saya angkat?" Aku tergelak. Bhadra ini lucu banget. Layak jadi guyonan masyarakat. "Kamu bercanda kan?" "Ngapain? Memangnya, Mas Agra bisa bercanda sama kamu? Kalau seinget saya, laki-laki itu kacau soal humor." "Bhadra...." Apa dia tidak bisa melihat bagaimana penampilanku malam ini? Kalau begitu biar aku yang menjelaskan dengan amat baik dan detail. Dengarkan aku, Pria yang terhormat! "Look at me---" "Sedari tadi." "Saya pakai dress di atas lutut, saya pakai heels tujuh senti, saya minta teman buat menata rambut sedemikian rupa. Dan, saya menggunakan make up terbaik. Jadi, Bhadra ... saya nggak butuh guyonan untuk saat ini." "Saya nggak sedang memberi guyonan." "Terus apa maksudnya dengan motor ini?!" Dia pemancing amarah yang handal, aku akui. Pembuat napas menjadi memburu, kalang kabut, tentu saja. "Bhadra ...." "Saya nggak minta kamu berpenampilan begitu." "Kamu minta supaya saya nggak menunjukkan siapa saya, ingat?" "Oh!" Ia menjentikkan jari. Turun dari kendaraan, lalu menghampiri aku yang sedang meremas handbag. Tubuhnya sedikit membungkuk. "Saya penasaran, kalau tampilan begini adalah Tata yang lain, gimana kalau Tata yang bersama Mas Agra ya? Nggak pakai baju? Ah sialan, saya malah makin penasaran, Tata." "Bukan urusanmu, sialan." "Tentu." Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Yang jadi masalah sekarang adalah, saya lupa bilang, Tata, kalau saya nggak sekaya Mas Agra. Gimana nih? Saya punyanya motor ini aja. Kamu butuh mobil? Saya minta Mas Agra jemput, mau?" to be continued ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN