3. Kondangan

1386 Kata
"Kang, anak Bu Soleh nikah, kita diundang," kataku pada Kang Dadang sambil menyerahkan kartu undangan pernikahan anak Bu Soleh. "Kapan?" tanyanya tanpa mau menoleh padaku. Matanya fokus pada layar televisi yang menayangkan wanita yang punya remot langit. "Siang ini, Kang." "Males ah! Rumah Bu Soleh kecil. Orang miskin itu harusnya gak perlu pakai hajatan segala kalau nikahin anak, cukup di kantor KUA saja. Tetangga juga pasti pada paham kalau Bu Soleh gak mampu. Ini segala pakai mau hajatan. Orang miskin mah kudunya tahu diri. Mau dikasih makan apa tamunya kalau dia hajatan?" cerocos Kang Dadang sambil memandang remeh undangan yang kuletakkan di atas meja. "Ya ampun, undangannya juga yang bagus ini. Benar-benar orang miskin kebangetan!" Umpatnya secara terus-menerus. Suamiku ini tidak berkaca dari hidupnya sendiri yang selalu saja makan telur, ikan, dan kerupuk sehari-hari. "Kang, Bu Soleh itu juga makannya selalu ikan, telur, dan doyan banget kerupuk. Berarti kita sama dong, miskinnya sama Bu Soleh," sahutku sambil memutar bola mata malasnya. Kang Dadang tidak menyahut lagi, ia kembali asik di depan televisi sambil mengorek telinganya dengan cotton bud. "Ya sudah, saya saja yang pergi kalau gitu. Kang Dadang beli sendiri lauknya di warung, karena hari ini saya belum dikasih uang belanja," kataku sambil beranjak dari kursi tamu. Ia tidak menyahut, kuanggap ia setuju. Aku memang butuh waktu sendiri untuk menenangkan saraf di kepalaku yang selalu saja menegang bila berbicara dengan Kang Dadang. Mungkin dengan berjalan kondangan bersama ibu-ibu lain aku bisa sedikit refreshing. Setengah jam aku berdandan cantik. Kuoleskan minyak wangi non alkohol seharga sepuluh ribu yang dibelikan suamiku saat ia pulang salat jum'at. Kalian tentu hapal aromanya seperti apa? Tidak mengapa, daripada aku bau apek, pakai minyak wangi nyong-nyong ini pun jadilah. "Kang, minta duit untuk kondangan Bu Soleh," kataku menghampirinya yang tengah membuka tudung saji di tas meja makan. "Kamu yang mau kondangan, kenapa saya yang harus keluar uang? Uang kamu sajalah!" "Saya darimana uang kalau gak dikasih Kakang. Dengar ya, Kang, waktu kita nikah, Bu Soleh kasih amplop lima puluh ribu, saya masih ada catatannya. Tunggu, di sini!" Aku berjalan cepat menuju kamar untuk mengambil buku catatan lama. Di dalam buku itu kutuliskan lengkap siapa-siapa yang datang memberikan amplop beserta rupiahnya. "Ini, Kang, baca saja! Kalau kita tidak bisa mengembalikan sejumlah itu, paling tidak kita kasih separuhnya. Dua puluh lima ribu dan saya gak punya uang!" Suaraku mulai meninggi. "Kalau begitu gak usah kondangan! Atau kalau mau tetap kondangan, kamu kasih amplop kosong saja. Jangan ditulis namanya. Begitu saja masih tidak bisa mikir!" "Astaghfirullah, kita boleh susah Kang, tapi jangan jahat dan licik jadi orang. Kalau Kakang gak mau kasih uang, gak usah! Saya tetap akan pergi kondangan." Dengan gerak cepat, aku berjalan keluar rumah tanpa mau menoleh lagi ke arah Kang Dadang. Tujuan utamaku adalah rumah Bu Asma, karena tadi beliau yang mengajakku pergi undangan bersama. Tanpa sengaja, aku menemukan uang koin lima ratus rupiah di bawah sandal undangan butut yang kukenakan. Uang siapa yang jatuh ini? Pikirku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak menemukan siapapun di sana. Kuputuskan untuk memungut uang koin itu, lalu kubawa ke warung Pak Doni. "Pak, beli amplop kecil satu," ujarku sambil menyerahkan uang koin lima ratusan tadi. "Wah, cantik banget Mbak Nura, mau kondangan ke anak Bu Soleh ya?" "Iya, Pak, sekalian saya pinjam pulpennya ya, Pak!" kataku lagi sambil membulatkan tekad. Kubuka perekat amplop, lalu ku tempelkan kembali amplop yang tidak ada isinya itu. Kutuliskan nama suamiku di sana. 'Mohon maaf, saya sedang tidak ada uang, Bu. Dadang' "Mbak Nura mau kondangan?" aku menoleh kaget saat suara yang sangat aku hapal menyebut namaku. Ternyata Bu Widya dengan mobil mahalnya, serta beberapa orang ibu-ibu tetangga yang sudah duduk manis di dalam sana. "Ayo, bareng saya, Neng!" Seru Bu Widya, diikuti anggukan oleh ibu-ibu yang lainnya. "Saya mau bareng Bu Asma, Bu," jawabku sungkan sambil mengangguk. "Neng, saya ada di sini. Masih muat satu orang lagi!" Aku tertegun melihat Bu Asma ternyata malah berada satu mobil dengan Bu Widya. Mau tidak mau, aku berjalan menghampiri mobil Bu Widya yang tengah disopiri anaknya. "Duh, cantik banget, Mbak Nura, pantesan suaminya cinta setengah mati sama Mbak Nura," puji Bu Asma sambil mencolek pipiku yang merah dengan blush on lima ribuan. Suami saya setengah mati, saya yang kayaknya wassalam duluan kalau punya suami seperti Kang Dadang, Bu. Tentu saja kalimat itu hanya sampai pada angan-angan saja. Tidak berani aku ucapkan secara langsung di depan ibu-ibu tetangga. Tak perlu kuceritakan pun aku rasa mereka tahu apa yang terjadi dalam rumah tanggaku. Mengingat betapa seringnya aku meminta sedikit garam, sedikit gula, bahkan pernah aku meminta sedikit beras pada mereka. Belum lagi suara perdebatan kami berdua yang selalu saja menggema. Sekitar dua puluh menit di dalam mobil, kami pun sampai di Taman Mini Indonesia Indah, tepatnya di Sasono Adi Mulyo. Sungguh malang nasib Kang Dadang, ia tidak tahu kalau Bu Soleh menikahkan anaknya di gedung berkelas mewah, jika saja ia tahu, pasti ia tidak akan menolak untuk undangan. Mungkin dia orang yang paling semangat untuk bersiap-siap pergi. Sengaja aku tidak mengatakan pada Kang Dadang, biar dia kapok. "Kang Dadang gak ikut, Mbak?" tanya Bu Widya saat kami semua baru turun dari mobil. "Tidak, Bu, lagi malas katanya," jawabku berbohong. "Oh, gitu, ya sudah, ayo, kita masuk ibu-ibu," ajak Bu Widya pada kami semua. Gedung pernikahan yang sangat mewah dengan dekorasi yang sangat cantik dan menawan. Sungguh beruntung anak Bu Soleh mendapatkan istri yang kaya. "Bu, Bu Soleh beruntung ya? Padahal anaknya duda anak satu, tapi bisa dapat gadis kaya," bisik Bu Dian di belakangku. "Iya, memang rejekinya begitu, Bu. Bu Soleh juga katanya mau diajak pindah ke Yogya, tapi gak mau, sama menantunya dibelikan rumah yang di belakang saya. Sudah tidak di gang sempit lagi," jawab Bu Widya yang masih menggandeng tanganku. Yah, lelaki baik dan soleh, walaupun duda pasti dapatnya juga wanita baik dan juga soleha. Aku tahu betul siapa Mas Hasan anak Bu Soleh yang memang beneran soleh. Istrinya meninggal ketika sakit Demam Berdarah dan lelaki itu begitu setia hingga anak bayi mereka kini berusia dua tahun. Lalu jika aku yang miskin ini jadi janda, apakah akan mendapatkan duda kaya atau berondong? Sepertinya tidak. Paling bagus ojek online atau kurir paket. Ya sudahlah, bersama pawang buaya pun jadilah. Kami semua bersalaman dengan Bu Soleh dan juga mengucapkan selamat pada Mas Hasan beserta istrinya yang cantik. Kami semua juga diberikan sesi foto bersama sampai beberapa kali karena memang sangat akrab dengan Bu Soleh. Aku sampai lupa meletakkan amplop di box pengantin yang ada di depan jalan masuk tadi. Ini adalah salah satu keuntungannya pergi undangan, aku dapat makan sepuasnya tanpa memikirkan suamiku si Raja Pelit. Aneka lauk dan juga makanan terhidang di sisi kanan dan kiri aula besar ini. Tamu undangan juga terlihat berkelas, keren sekali istri dari Mas Hasan, pikirku lagi sambil menatap takjub gedung acara, lalu berpindah menatap pengantin yang tersenyum lebar di pelaminan sana. Satu jam berlalu, waktu pesta memang ditentukan hanya dua jam saja. Kami semua masih betah mengobrol sambil mencicipi semua makanan yang lama-kelamaan pun habis. "Nura." Aku menoleh kaget, begitu dengan ibu-ibu yang lainnya. Kang Dadang sudah ada di depan kami dengan napas sedikit terengah-engah. Pakaiannya sangat rapi dengan batik dan juga celana bahan. "Bu, permisi sebentar ya." Aku bangun dari duduk, lalu menarik tubuh suamiku menjauh dari kerumunan. "Saya belum mau pulang, kenapa dijemput?" "Siapa yang mau jemput kamu? Aku ke sini mau undangan. Aku juga sudah masukin amplop lima puluh ribu di depan. Kenapa kamu gak bilang kalau Bu Soleh nikahin anaknya di gedung, tahu gitu aku ikut," katanya dengan wajah tak senang. "Makanya jangan suka menghina orang dan selalu suudzon, jadinya rugi sendiri. Ya sudah, saya mau sama ibu-ibu lagi." Aku berjalan meninggalkan suamiku. Kang Dadang pun nampak masa bodoh, ia berjalan ke arah meja prasmanan. Ia mengambil piring, tetapi sepertinya lauk di sana sudah habis. Suamiku pergi ke stand makanan yang lainnya, ternyata sudah tidak ada juga makanan di sana. Ia ke sana-kemari sambil membawa piring, tetapi wajahnya nampak kecewa. "Kasihan sekali suaminya Mbak Nura, datang undangan tapi gak bisa makan. Orang lauknya sudah habis semua," ujar Bu Widya dengan iba, tapi tidak denganku. Saat ini hatiku bersorak gembira karena Tuhan membalas sendiri pedasnya mulut suamiku dengan hal yang lebih mengecewakan. Semoga setelah semua ini perlahan Kang Dadang sadar, bahwa sikap berlebihan pelit dan bermulut pedas itu tidak baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN