2. Bunga Tidur

1260 Kata
"Nura, bangun! Yey... ngapain sih saya dicubitin? Sakit nih!" Kang Dadang mengusap pinggangnya dengan wajah meringis. Aku baru sadar, ternyata perdebatan tadi hanyalah mimpi semata. Padahal aku sudah begitu semangat untuk angkat koper dari rumah kontrakan ini. "Saya mimpinya lagi bagus banget, Kang." "Mimpi apa? Ada keluar angka gak di mimpi kamu?" Kang Dadang mendadak semangat. Ia bangun dari duduknya, lalu menatapku antusias. "Saya mimpi bertengkar dengan Kakang, terus saya pergi dari rumah ini dan kita bercerai. Bagus itu mimpinya, Kang. Padahal saya udah ngarep beneran, rupanya cuma mimpi," jawabku sambil melirik suamiku dengan sengit. Kang Dadang menaikkan sebelah alisnya, lalu tanpa berkata lagi ia kembali berbaring memunggungiku. Karena adzan subuh sudah berkumandang, aku pun memutuskan untuk salat subuh, dilanjutkan dengan kegiatan beres-beres rumah. Lelah dengan pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya, aku pun memutuskan untuk menggoreng telur saja. Hari sabtu seperti ini pasti Kang Dadang bangun siang, sehingga aku bisa sarapan lebih dahulu. Begitu kubuka pintu kulkas, tidak kutemukan apapun bahan makanan di dalam sana. Hanya ada sirop merah sisa lebaran tahun lalu. Aku memutuskan untuk meminta uang pada Kang Dadang. "Kang, bangun, saya minta uang buat beli telur," rengekku sambil mengusap lengannya pelan. Tubuhnya yang kekar adalah salah satu hal yang membuatku naksir padanya waktu itu. Jika ingin menyesal, maka sudah tidak berguna lagi. Tidak ada pergerakan dari Kang Dadang, ia masih sangat nyenyak tidur sambil memeluk guling. "Kang, bangun, saya minta uang untuk beli telur," kataku sekali lagi, kali ini dengan suara cukup keras. Lelaki itu akhirnya menoleh, lalu menunjuk ke arah pintu kamar. "Ambil di dompet. Ada lima ratus lima ribu. Kamu ambil lima ribunya, beli telur kerupuk, sama tahu." Baru saja aku mau bersorak senang, tetapi suamiku lagi-lagi mematahkan semangatku. Lima ribu untuk beli telur seperempat, tahu, dan kerupuk? Mana cukup? Sedangkan di dompetnya ada lima ratus ribu. "Kenapa bengong? Udah sana pergi ke warung, aku juga lapar! Beli telur satu saja, kerupuk beli satu, tahunya sebungkus. Pasti cukup lima ribu. Kamu jangan bilang gak cukup kalau belum sampai warung!" Katanya dengan ketus. Aku pun beranjak dari sisi tempat tidur, lalu mengambil uang dari dalam dompet suamiku. "Ada uang koin seribu rupiah di sana, jangan mencoba curang!" Katanya lagi tanpa menoleh ke arahku. Kenapa ia hapal sekali uang yang ada di dalam dompetnya? Aku mendesah tak bersemangat. "Kang, tapi ini mana cukup uangnya. Masa yang sarapan Kakang saja, saya tidak sarapan?" kataku lagi dengan nada protes. "Suami itu harus diutamakan di dalam rumah tangga. Sudah sana, pergi cepat! Telurnya kita masih bisa bagi duakan? Kerupuk juga bisa dibagi dua. Kalau tahu bisa untuk lauk makan siang ini, tinggal diulek sambal." "Tahu satu bungkus empat ribu, Kang, gak bisa beli setengah bungkus." "Ya sudah, kalau gitu kamu ke tukang gorengan aja, beli tahu 1, kerupuk 1, telur 1 harga tiga ribu'kan? Berarti cukup!" Daripada tekanan darahku naik drastis gara-gara masalah uang lima ribu, lebih baik aku segera pergi dari depan wajah Kang Dadang dan melakukan seperti apa yang ia minta. Sabar dan aku tidak tahu harus bersabar sampai kapan lagi. Dengan satu tangan aku menekan gas motor matic suamiku, sebelah tangan lagi meraba perut ini. Kenapa beberapa hari ini selalu saja keroncongan saat bangun tidur? Apa aku terkena maag? "Mbak Nura! Mbak!" Suara teriakan membuat aku menekan rem motor dengan perlahan. Aku menoleh ke asal suara yang memanggilku. Ada Bu Widya di sana, tetangga kaya yang selalu baik padaku. "Sini!" Panggilnya lagi dengan gerakan tangan dan tentu saja senyuman lebar di bibirnya. "Ada apa, Bu?" tanyaku begitu sampai di depan rumahnya. "Eh, ini, anak saya ulang tahun, jadi saya bikin nasi kuning. Masuk sini, saya buatkan dulu." "Ya ampun, Bu, saya jadi tidak enak, gak papa, Bu, ini saya baru mau beli sarapan," kataku dengan sungkan. "Sudah, jangan begitu! Gak boleh nolak rejeki, ayo!" Wanita itu menarik tanganku. Mau tidak mau, aku pun memarkirkan motor di depan rumah besar Bu Widya. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya lewat pintu samping, sedangkan aku memilih untuk berjongkok di depan kolam hias yang ada di teras. "Permisi ya, Mbak," ujar seorang lelaki yang membuatku langsung bangun duduk dengan kaget. "Eh, Willy, iya, maaf ya, silakan. Mau kuliah ya?" "Iya." Tanpa basa-basi lagi dan tentunya tanpa senyum, pemuda bernama Willy itu langsung mengeluarkan motor besarnya dari garasi. Beda sekali Willy dan ibunya. Tunggu, kalau anak Bu Widya ulang tahun, berarti Willy orangnya, karena anak Bu Widya hanya satu. "Duh, si Willy, disuruh makan dulu, malah langsung pergi saja." Bu Widya muncul dengan sebuah piring yang terisi penuh. "Nih, makan dulu, temani saya sarapan sambil memperhatikan ikan-ikan." "Bu, t-tapi.... " "Gak papa, suami kamu pasti lagi nyenyak tidur. Kamu makan dulu saja." Aku menelan ludah melihat nasi kuning lengkap dengan ayam goreng paha berbumbu serundeng. Bihun, kerupuk, orek sambal, irisan timun dan juga telur dadar "Ya sudah, terima kasih banyak, Bu." "Sama-sama. Ayo, makan!" Dengan sedikit sungkan, aku menyendok nasi kuning itu ke dalam mulut. Seketika mataku terbuka lebar, takjub akan rasanya yang enak dan juga lemak. Bumbu kunyit dan santan begitu terasa. Benar-benar rejekiku pagi hari. "Siapa yang ulang tahun, Bu?" tanyaku pada Bu Widya. "Si Willy, ulang tahun ke dua puluh dua tahun. Sebentar lagi lulus kuliah. Gak terasa ya, Nura. Nanti kamu juga gitu, seperti saya, merasa kesepian jika anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Makanya, saya sarankan, jangan hanya punya satu anak, tetapi lima kalau bisa, biar ramai." "Wah, lima. kebanyakan, Bu." Aku tertawa miris. Mengisi satu mulut istrinya saja, Kang Dadang perhitungan, apalagi dengan lima anak? Lagian Kang Dadang sudah mengeluarkan fatwa, bahwa kami tidak boleh memiliki lebih dari dua orang anak. Mengingat suamiku membuat selera makan seketika menguap begitu saja. Tidak, aku harus makan kenyang hari ini, karena bisa saja nanti siang, ia kembali memintaku untuk membeli 1 biji telur, 1 tahu goreng, dan satu kerupuk. Tanpa terasa, nasi di piring ini pun habis. Aku berpamitan pada Bu Widya karena harus segera sampai ke tukang gorengan. "Oh, iya ini bawakan untuk suamimu." "Ih, Ibu, jangan! Saya saja makan di sini sudah sangat sungkan, jangan dibawakan lagi, Bu." "Gak papa, ini, bawakan untuk Dadang." Bu Widya langsung menaruh bungkusan plastik itu di motorku. "Terima kasih banyak ya, Bu." Aku tersenyum penuh haru sebelum bergegas naik ke atas motor. Sesuai dengan permintaan Kang Dadang, aku membelikan semuanya. Saat aku masuk ke dalam rumah, suara kecipak air di kamar mandi menandakan suamiku tengah mandi. "Kang, dapat nasi kuning dari Bu Widya!" Seruku dengan semangat. Pintu kamar mandi terbuka, dan suamiku pun bergegas duduk di kursi makan. "Wah, enak ini," pujinya sambil mengangkat box nasi ke dekat hidungnya. "Kalau begitu, telur itu buat kamu saja, tahunya sini, buatku!" Kang Dadang merampas satu biji tahu goreng yang ada di atas meja. "Kamu gak boleh banyak makan kerupuk, nanti radang." Kang Dadang kembali meraih satu kerupuk putih bulat lalu sengaja ia taruh di giginya. Sebelah tangannya memegang box nasi kuning, sebelah lagi tahu, dan mulutnya menggigit kerupuk. Sungguh serakah! Mungkin ia mengira aku akan meminta jatah sarapannya. Untung aku sudah makan di rumah Bu Widya, jika tidak, maka dapat dipastikan, aku tidak akan diberi jatah nasi kuning oleh suamiku. "Yah... yah!" Suara benda jatuh membuatku yang sedang menyapu, ikut menoleh. "Rugi banget!" Umpat Kang Dadang saat melihat box nasi kuning masuk ke dalam tempat sampah. "Loh, kenapa dibuang, Kang? Itukan enak!" tanyaku tidak terima. Kudekati tempat sampah dan nasi kuning sudah bercampur dengan sampah yang lain. "Siapa yang buang? Box itu jatuh dari tanganku. Arg! Harusnya bisa makan nasi kuning, malah jadi makan telur lagi," gerutunya dengan kesal. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati, ini adalah balasan dari Tuhan untuk suami serakah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN