Alexa sudah siap dengan kaos oblong berwarna putih, kemeja kotak-kotak berwarna hijau tua dan celana jeans hitam. Marsel sendiri pun juga sudah siap dengan kaos oblong berwarna merah dan jeans navy. Rambut mereka sama-sama basah, bedanya milik Alexa sudah lumayan kering karena pengaruh hairdryer. Seperti biasa, Alexa selalu mengikat rambut panjangnya bagai ekor kuda.
"Biar saya yang bawa." Marsel membawakan koper milik Alexa menuju lantai dasar.
"Pasti buat pencitraan doang biar Mama gak curiga, iya kan?" gadis itu berjalan sambil menggendong tas ranselnya yang berisi kamera, dompet, charger dan bebagai perlengkapan yang sekiranya penting.
"Kalau sudah tahu, kenapa masih nanya?" Marsel berhenti sejenak, membalikkan badannya ke belakang melihat Alexa yang malah mendengus dan membuang muka tak suka.
Mereka menuruni tangga bersamaan, seolah seperti pasangan suami istri bahagia. Sampai pada akhirnya mereka berada di ruang makan.
"Eh... Pengantin baru udah seger aja, sini kita sarapan bareng." Sofya menyambut putri sulung dan menantunya dengan seulas senyuman.
Di meja makan sudah ada Qia dan Galuh, kedua adik Alexa. Mereka pun sudah siap dengan seragam sekolah masing-masing.
"Iya Kak, kita sarapan bareng." kali ini Galuh yang antusias ingin sarapan bareng dengan kakaknya, padahal adik bungsunya itu orang yang paling pendiam.
"Nanti kalian bareng, biar sekalian." Marsel ikut duduk di sebelah Alexa.
Sofya memasak sayur lodeh, ayam goreng serundeng, ikan lele balado dan perkedel kentang. Wanita paruh baya itu sengaja bangun lebih awal untuk memasak. Hal seperti ini sangat jarang dilakukan oleh Sofya karena kesibukan wanita itu sebagai wanita karier. Tapi dulu saat Papa-Alexa masih hidup, Sofya selalu masak untuk sarapan. Berbeda dengan sekarang, Sofya menjadi tulang punggung keluarga. Mau tak mau, Sofya harus mengorbankan waktunya untuk bekerja dan bekerja dari pagi sampai malam.
"Karena ada Mas Marsel, Mama jadi masak buat sarapan kita. Biasanya Mama jarang banget ngelakuin ini setelah Papa meninggal. Kita lebih sering sarapan di sekolahan." celoteh Qia sambil terkekeh.
"Qia, jangan ngomong gitu."
"Gak papa Al, memang kenyataannya seperti itu kan? Maafin Mama yang jarang ada waktu buat kalian." Sofya tersenyum melihat ketiga buah hatinya secara bergantian.
"Kami tahu kok kalau Mama ngelakuin ini untuk kami. Maafin kami kalau banyak salah ke Mama." Alexa membuka suara, mewakili isi hati kedua adiknya.
"Iya Al, Maafkan Mama juga."
"Nah dari pada mellow, mendingan sekarang kita langsung sarapan. Nanti aku telat." Galuh sudah mengambil secentong nasi ke piringnya dan berlanjut mengambil beberapa lauk yang ada.
"Ambilin dong suaminya, Al."
Alexa mendengus saat Sofya menegurnya karena perempuan itu hanya mengambil nasi untuk dirinya sendiri.
"Layani suami dengan baik, kamu gak lupa kan gimana dulu Mama layanin Papa."
"Aish... Iya Ma, ini diambilin." dengan sangat terpaksa, Alexa menuruti perintah Sofya. Dari pada nanti dirinya dicurigai kalau dirinya tersiksa menikah dengan Marsel, lebih baik dirinya menurut.
"Gimana masakannya, Sel? Enak?" Sofya menunggu jawaban dari Marsel yang sudah menyendokkan sayur lodeh dan ayam goreng ke dalam mulutnya.
"Enak Tante." puji Marsel, masakan ibu mertuanya itu memang benar-benar nikmat.
"Loh kok Tante sih, Mama dong manggilnya."
Marsel terhenti, pandangan matanya jatuh ke wajah cantik Sofya. Meski pun wanita itu sudah berusia lebih setengah dari usia Alexa, tapi Sofya terlihat lebih muda dari usianya.
"Iya Ma." ralat Marsel menurut.
Mereka akhirnya sarapan bersama, tidak lama karena semuanya memiliki jam berangkat masing-masing.
"Ma, aku berangkat dulu. Bye semua." inilah Galuh, si bungsu yang tidak pernah menyalami tangan Sofya dan kedua kakaknya setiap kali mau pergi atau pulang. Padahal Sofya sudah sering menegur putra bungsunya itu.
"Dia biasa berangkat bareng temennya." potong Alexa saat Marsel mau membuka mulutnya.
"Kalau gitu aku juga berangkat ya Ma, Kak." Qia mencium punggung tangan Sofya, Alexa dan Marsel bergantian.
"Gak bareng?"
"Hehe... Udah ditunggu temen di depan Mas, next time mungkin bisa."
"Tiati..."
"Siap Kakakku yang cantik!"
"Mama juga gak bisa bareng kalian, kita beda arah. Nanti malah bikin kalian capek." Sofya juga berpamitan, dirinya harus segera ke kantor karena ada sedikit pekerjaan yang belum dia selesaikan dan harus diberikan kepada atasannya pagi ini juga.
Tinggal Alexa dan Marsel di ruang makan. Alexa menikmati sarapan paginya, apalagi ini masakan ibunya. Masakan Sofya memang sangat dirindukan oleh Alexa, benar yang dikatakan Qia. Usai papa mereka meninggal, Sofya sangat jarang memasak.
"Saya sudah selesai, bisakah kamu mempercepat makanmu?" piring Marsel sudah kosong. Hanya tersisa tulang ayam.
Alexa tak mempedulikan Marsel, wanita itu malah menambah nasi ke piringnya lagi dan mengambil lele balado juga perkedel kentang. Perutnya sangat lapar, apalagi kemarin dirinya tidak makan dengan benar. Menjadi Ratu sehari membuatnya tersiksa karena tidak bisa bebas makan banyak. Padahal kemarin makanannya enak-enak semua. Alexa hanya makan dua kali, pagi dan malam, siang hari dirinya tidak memiliki waktu untuk makan karena terus menyalami tamu undangan. Padahal kata Erika, tamu segitu terbilang sedikit. Bagaimana kalau banyak? Mungkin bisa keram tangan Alexa terus terulur menyambut salaman demi salaman semua orang.
"Hey... Saya bilang saya sudah selesai." Marsel sangat tidak suka waktunya dibuang sia-sia oleh orang lain.
Marsel ada jadwal operasi nanti sekitar pukul sebelas siang. Sekarang sudah pukul sembilan pagi, masih harus mengantar Alexa ke rumah sakit untuk suntik, mengantar wanita itu ke rumah, menemui kedua buah hatinya dan kembali ke rumah sakit.
"Ya udah, pulang aja sendiri." jawab Alexa santai, perempuan itu malah asik memakan lele balado.
"Cepat atau saya akan memberikan surat pernyataan kepada universitas bahwa kamu mengambil cuti kuliah selama setahun?" ancaman Marsel cukup canggih, Alexa langsung menyudahi acara makannya dan membereskan semua makanan. Menaruhnya ke dalam kulkas dan mencuci semua wadah kotor.
"Saya tunggu kamu di mobil lima menit lagi." Marsel sudah pergi tanpa membawa koper milik Alexa yang tadi dia bawa dari lantai dua.
"Ish... Mimpi apa gue punya laki arogan kayak dia?" Alexa memejamkan matanya kesal.
Tanpa mau mendapat omelan lagi, Alexa segera menyudahi acara cuci piringnya. Karena tidak ada asisten rumah tangga di sini, hal itu membuat seisi rumah harus saling bantu membantu untuk kebersihan rumah.
***
"Oma, kenapa Ayah belum pulang juga?" Yudha merebahkan kepalanya ke meja makan. Semua masakan yang dimasak oleh Erika serasa tidak menggugah selera makannya.
"Sabar, nanti Ayah sama Bunda juga bakal pulang kok. Sekarang Yudha makan dulu ya, Oma udah masakin fried chicken nih." di tangan Erika sudah ada sepiring nasi dan fried chicken.
"Kakak Zulla udah siap!" suara lengkingan dari gadis kecil yang masih berdiri di anak tangga itu menggema di kediaman Hans.
"Cucu Opa yang cantik ini mau berangkat sekolah bareng Opa?" Hans tiba-tiba datang dan menjemput Zulla ke atas.
"Mau, aku bosen berangkat sekolah sama Om Rafli mulu." Zulla merasa sangat nyaman berada dalam gendongan Hans.
"Ke mana Om Rafli? Jam segini belum kelihatan." Hans berjalan mendekat ke arah meja makan dan bergabung.
"Om Rafli masih ngorok di kamar, tadi aku bangunin gak mau bangun juga. Jadi males, apalagi Om Rafli kalau tidur bikin pulau."
"Hahaha... Om-mu itu dasar pemalas, jam segini masih bergelut dengan dunia mimpi."
"Opa, aku juga mau berangkat sekolah bareng Opa." Yudha langsung mendongakkan kepalanya menatap Hans.
"Kalau mau berangkat sekolah bareng Opa, ada syaratnya."
"Apa syaratnya Oma?" kedua bocah kecil itu menatap Erika penuh tanya.
"Kalian harus sarapan dan gak boleh males-malesan."
"Aku mau. Pokoknya aku mau berangkat sekolah sama Opa, kan udah lama gak main bareng Opa." Zulla sangat exited, kedua tangannya mengambil nasi sebisanya dan meminta bantuan Hans untuk mengambilkan lauk yang dia inginkan.
"Tuh Kak Zulla udah makan, sekarang Yudha juga makan." Erika masih berusaha menyuapi cucu laki-lakinya.
"Aku kangen Ayah, Oma."
"Ayah nanti pulang sayang, sekarang pokoknya Yudha harus makan, berangkat sekolah terus nanti siang jalan-jalan sama Oma sama Opa. Jarang-jarang kan Opa di rumah, bisa minta apa aja sama Opa." Erika masih mencoba membujuk.
"Beneran mau jalan-jalan sama Opa sama Oma?" Yudha nampak semangat.
"Iya beneran dong sayang, tapi syaratnya harus makan dulu dan dapat nilai bagus di sekolahan."
"Iya, aku mau Oma. Sini suapin aku."
Hans tersenyum melihat kedua cucunya tumbuh dengan sehat dan periang. Di lubuk hatinya paling dalam, Hans sangat mengkhawatirkan kondisi psikis mereka yang tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Jika Zulla pernah merasakan bagaimana lembutnya belaian ibu. Jika Yudha, hanya saat bayi, mana mungkin bocah kecil itu akan mengingatnya? Tapi sekarang Hans bersyukur karena Marsel mau menikah lagi dengan gadis yang benar-benar mau menerima keadaan Marsel yang seorang duda beranak dua.
***
Suasana di dalam mobil sangat awkward bagi Alexa. Catat, bagi Alexa! Bukan untuk Marsel! Lelaki itu hanya terdiam menikmati alunan lagu dari band Jikustik berjudul setia, yang diputar dari radio. Bayangan-bayangan kesehariannya bersama Airin beberapa tahun lalu kembali berputar dalam ingatannya.
"Aku... Masih di sini untuk setia..." Marsel mengikuti alunan lagunya.
"Bisa nyanyi toh, gue kira pita suara dia itu mahal banget." gumam Alexa tanpa menoleh ke arah Marsel. Pandangan matanya masih fokus ke arah jalan raya.
"Lagu ini menandakan isi hati saya yang masih setia kepada Airin, istri saya." ujar Marsel tanpa menoleh pula ke arah Alexa.
"Kok dia denger sih? Perasan gue ngomong udah paling pelan deh." Gumam Alexa dalam hati.
"Jadi kamu jangan berharap lebih dari pernikahan kita kemarin. Karena bagi saya, istri saya hanya Airin. Raganya memang mati, tapi cintanya akan selalu hidup di hati saya." lanjut Marsel tanpa mempedulikan Alexa.
"Iya deh yang punya istri Airin. Aku mah apa? Cuma remahan kerupuk yang gak bakal dilirik." bukannya sakit hati, Alexa malah menggoda Marsel.
"Lagian siapa juga yang ngarep jadi istri kedua lo. Gak ngaca aja jadi orang." Alexa lanjut membatin kekesalannya.
Marsel memarkirkan mobilnya di tempat parkiran khusus dokter pemilik jabatan atau pemilik gelar dokter terbaik di rumah sakit ini. Tanpa mempedulikan pandangan semua orang, Marsel langsung keluar dan menunggu Alexa menyusulnya.
"Ayo cepetan!" teriakan Marsel kembali membuat Alexa mendengus.
Gadis itu langsung menutup pintu mobil kencang-kencang. Tas ransel masih bertengger di punggungnya. Raut wajahnya terlihat sangat kesal.
"Saya membeli mobil itu menggunakan uang saya sendiri, jangan seenaknya kamu merusaknya." Marsel mendengus melihat tatapan tak acuh dari Alexa.
"Udah ah ayo cepetan, pegel nih aku berdiri terus." Alexa menghentakkan kakinya beberapa kali karena kesal tingkat dewa kepada Marsel.
Marsel menggamit pinggang Alexa, mereka berjalan beriringan menuju lift khusus dokter yang masuk ke dalam organisasi rumah sakit. Selain itu tidak diperbolehkan. Sebelum benar-benar menuju lift, Marsel membawa Alexa ke meja resepsionis.
"Sus, apa janji saya dengan dokter Fana sudah beres?"
"Dokter Marsel?" suster tadi malah terkesima oleh penampilan Marsel yang memakai pakaian non formal. Jarang-jarang karyawan rumah sakit melihat dokter memakai pakaian santai seperti sekarang.
"Jawab pertanyaan saya, Sus."
"Su... Sudah dok, sudah selesai. Dokter tinggal ke ruangan dokter Fana." suster tadi menjawab secara gagap. Terkesima oleh ketampanan Marsel.
"Permisi sus." pamit Alexa saat tiba-tiba Marsel kembali menggamit pinggangnya berjalan menuju lift.
"Eh... Lihat deh, istrinya dokter Marsel cantik banget ya. Masih imut-imut gitu lucu, mereka serasi banget. Yang cewek cantik, yang cowok ganteng." komentar satu suster yang juga menjaga resepsionis.
"Iya, mereka cocok."
"Yah... Patah hati massal deh." suster yang tadi menjawab pertanyaan Marsel memegangi dadanya.
"Yaelah, masih banyak kali dokter tampan di rumah sakit ini." komentar suster yang ada di sebelah suster mellow.
"Eh tapi ya, gue yakin kalau yang paling sakit hati itu dokter Audi. Dia kan yang kelihatan blak-blakan deketin dokter Marsel." ada tiga suster yang berjaga di meja resepsionis, mereka sedang nimbrung jadi satu membicarakan hot news tentang pernikahan Marsel dan perasaan dokter bernama Audi. Mungkin ketiga suster tadi masuk ke dalam organisasi Lambe Turah.
"Dokter Audi tuh yang mana sih?"
"Ituloh yang dokter saraf."
Di saat ketiga suster tadi asik membicarakan Marsel, Alexa dan Audi, sepasang suami istri baru itu sedang berjalan menuju rungan dokter Fana, atau lebih terkenalnya dokter kandungan di rumah sakit ini. Banyak pasang mata memandang mereka, mungkin kesal karena baru juga datang langsung bisa diperiksa. Meski pun sekarang Marsel masih sedang berbincang-bincang dengan seorang suster.
"Silakan masuk, dok. Dokter Fana sudah menunggu." seorang suster datang dari dalam mempersilakan Marsel masuk.
"Terima kasih sus." tanpa menghiraukan tatapan kesal dari banyak pasien yang sudah mengantre, Marsel langsung membawa Alexa masuk ke dalam ruangan Fana.
"Sus, dokter Marsel ganteng banget ya pakai kaos biasa sama jeans dan sepatu kets. Beda banget sama style-nya kalau lagi tugas."
"Ya iyalah beda, namanya juga di luar jam kerja sama di dalam jam kerja."
Marsel sudah duduk di kursi yang disediakan untuk pasien. Tak beda jauh dengan Alexa. Wanita ini duduk dan diam tanpa sepatah kata.
"Apa dokter mau program hamil?" Fana tersenyum melihat pasiennya kali ini adalah istri dari dokter di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Bukan dok, tapi saya mau menunda kehamilan." ujar Marsel langsung kepada poinnya.
Nampak Fana kaget atas permintaan Marsel. Bagaimana mungkin seseorang yang masih berstatus pengantin baru langsung meminta untuk KB. Tapi tak berselang lama, sebisa mungkin Fana menetralkan raut wajahnya.
"Bukannya kalian masih pengantin baru? Lalu kenapa malah program KB?" tanya Fana hati-hati.
"Alasannya karena istri saya ini kan masih kuliah dok. Apalagi sekarang di semester akhir, saya hanya takut mengganggu kuliahnya." jawaban Marsel kali ini bisa diterima secara logis, Fana tidak berpikiran yang aneh-aneh.
"Mau pakai pil atau suntik?" tanya Fana, pandangannya terarah ke wajah cantik Alexa.
"Alexa, dok. Panggil saja saya Alexa."
"Yah, Alexa. Kamu mau menggunakan pil atau suntik? Suntik juga ada dua, yang satu ada untuk satu bulan dan satunya lagi untuk tiga bulan."
"Perbedaannya apa dok?" tanya Alexa sedikit gugup. Dirinya benar-benar tidak tahu tentang masalah seperti ini.
"Kalau pil, harus rutin minumnya dan jangan sampai lupa setiap harinya. Kalau suntik saya sarankan yang satu bulan, karena kalau tiga bulan akan membuat darah kotor tidak keluar."
Alexa hanya nyengir, bingung harus memilih yang mana. Ini pertama kalinya dirinya konsultasi dengan dokter kandungan, dan sekalinya konsultasi bukan membahas kehamilan malah membahas tentang obat pencegah kehamilan.
"Istri saya ini punya kebiasaan lupa dok, apalagi kuliahnya sangat sibuk dan padat. Lebih baik suntik saja yang satu bulan." Marsel merangkul bahu Alexa.
"Baiklah, kalau begitu bisa ikut saya Al." Fana berdiri menuju brankar pemeriksaan.
Alexa hanya mengikuti saja, dalam hatinya was-was. Dirinya takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Rileks saja Al, ini tidak akan berlangsung lama. Bisa tengkurap." perkataan Fana mampu membius Alexa, dirinya lumayan tenang usai mendengar perkataan dokter cantik satu ini.
Alexa sedikit meringis ketika merasakan jarum suntik itu menembus pantatnya. Terasa ngilu, ini pertama kalinya Alexa merasakan suntik di p****t.
"Cairan sialan! Dari pada gue disuntik cairan ini, lebih baik gue gak ngerasain apa itu yang namanya bercinta sama suami. Tapi mau gimana lagi? Gue udah jadi istri orang dan gue harus nurut sama suami gue." Alexa masih saja meringis sambil membatin, rasanya sangat ngilu. Membayangkan setiap bulan dirinya akan disuntik KB seperti ini terus membuatnya bergidik ngeri.
***
Next...