Alexa mengumpat kesal di kantin kampus karena dosen pembimbingnya hari ini dengan seenak jidat mengundur pertemuan mereka. Padahal Alexa sudah datang ke kampus pagi-pagi sekali. Melupakan sarapan dan membuang rasa ngantuknya. Alhasil Alexa memilih tidur di perpustakaan dari pada harus pulang ke rumah lagi. Dan sekarang dirinya terdampar di kantin untuk mengisi energi dalam tubuhnya yang sudah tinggal seperempat. Banyak yang Alexa pesan, dari soto, bakso tahu, cireng kuah kacang, cuanki dan cakue serta minuman ini itu.
"Hah... Masih jam sembilan, masih lama ke makan siang." dengus Alexa merasa bosan.
Semua makanan yang tadi Alexa pesan habis tak tersisa sedikit pun. Sekarang perutnya sudah penuh, bahkan sangat penuh sekali. Kepalanya sudah rebahan di atas meja kantin. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja tanpa irama. Otaknya berpikir keras harus ke mana. Lama-lama di kampus bisa membuat otaknya semakin keriting bagai mie sakura.
"Apa gue nge-mall aja ya?" Alexa mencari-cari ke mana dirinya akan berkelana menunggu jam makan siang.
Gadis itu memilih membayar semua makanannya terlebih dahulu sebelum benar-benar pergi dari kampus.
"Eh Al, lo mau ke mana?" terdengar suara seorang lelaki dari arah belakang, membuat Alexa menghentikan langkahnya.
"Hei Do, lagi apa lo?" Alexa menerima uluran tangan Vendo, lelaki berkulit putih s**u dan bermata belo.
"Nyari kucing tetangga gue yang hilang. Ya nyari makanlah Al, lo ngaco aja kalo nanya tuh." kekeh Vendo membuat Alexa ikut terkekeh.
"Ah elo, bisa aja. Sendiri aja nih? Nessa mana?" Alexa celingak-celinguk mencari seseorang yang selalu nempel di samping Vendo.
"Haha... Gue udahan sama Nessa, Al. Dia selingkuh sama alumni kemarin, kan b******k ya." Vendo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Alexa menepuk bahu Vendo sambil tersenyum manis.
"Lo terlalu baik buat dia. Move on brother."
"Thank Al, lo mau ke mana?"
"Gue mau pergi nih, dospem gue rese malah batalin janji gitu aja."
"Mau gue temenin? Mumpung gue lagi free."
"Lah katanya tadi lo mau makan, gue nggak enak harus ganggu waktu lo. Lagi pula gue mau ada janji sama orang, Do." tolak Alexa secara halus.
Alexa tak enak kalau kelihatan jalan sama Vendo di saat posisi lelaki itu baru saja putus dari Nessa. Alexa hanya merasa tak enak, takut dibilang perusak hubungan orang.
"Oh ya udah deh, mungkin lain kali kita bisa jalan bareng." Vendo hanya mengedikkan bahunya tak acuh.
"Ya mungkin." cengir Alexa, tak tahu lagi harus menjawab apa.
"Lo hati-hati ya, gue duluan. Bye!"
"Bye." Alexa ikut melambaikan tangannya membalas Vendo yang kian menjauh.
Alexa bernapas lega, beruntung Vendo bisa mengerti. Vendo adalah teman satu kelasnya pas SMA dulu yang ternyata ikut kuliah di sini. Vendo adalah anak matematika murni yang tidak diragukan lagi kecerdasan otaknya. Memang setahu Alexa lelaki itu selalu mendapat nilai seratus di pelajaran matematika dan fisika saat sekolah dulu.
Alexa pernah digosipkan pacaran dengan Vendo hanya karena sering terlihat berdiskusi di kantin. Alexa adalah anak teknik arsitektur, semua itu membutuhkan kepandaian menghitung dan jika Alexa merasa tidak paham dengan cara menghitung pada soal, selalu saja Alexa bertanya pada Vendo. Dan sekarang Alexa tidak mau digosipkan dengan Vendo lagi.
***
"Alihkan ke dokter Jian operasi selanjutnya, sus. Sampaikan pada dokter Jian kalau saya tidak bisa, ada urusan penting yang harus saya selesaikan." Marsel berdiri di depan ruang asistennya, meminta jadwalnya dikosongkan.
"Baik dok, kalau boleh tahu apakah dokter akan kembali ke rumah sakit atau langsung pulang?"
"Saya akan kembali ke rumah sakit pukul dua. Terima kasih." Marsel langsung kembali ke ruangannya.
Sebelum waktu makan siang tiba dan waktunya akan tersita, Marsel memilih mengecek perkembangan pasiennya dari hari ke hari melalui agendanya.
Lelaki pemilik kulit seputih s**u itu duduk di kursi kejayaannya. Kursi yang sudah dia duduki selama bertahun-tahun lamanya. Marsel baru saja selesai melaksanakan operasi dari pagi. Untung saja asistennya itu sangat pintar dan cekatan. Bisa diandalkan, tanpa diminta pun langsung mengecek kondisi pasien yang harus ditangani Marsel. Ada satu nama yang mengganggu pikirannya, tangannya langsung mendial nomor dari telfon rumah sakit.
"Ke ruangan sekarang." langsung dia letakkan lagi gagang telfon itu ke tempat asalnya.
Tanpa menunggu lama, pintu ruangan Marsel terbuka dan menampilkan sesosok suster berparas cantik dan tinggi semampai, kulit suster itu putih bersih. Tanpa diperintahkan, Brenda langsung duduk di kursi depan meja Marsel.
"Ada apa, dok?"
"Apa suster tidak salah memeriksa pasien atas nama Ranu Vikran?"
"Tidak dok, itu benar. Kondisinya melemah." Brenda menganggukkan kepalanya.
"Oh god, apa sudah diberi penanganan tadi pagi saat saya sedang melaksanakan operasi?"
"Sudah dok, dari pihak keluarga juga pihak rumah sakit sangat berharap bahwa kondisinya membaik dan bisa pulih."
"Atas tanggung jawab siapa penanganan itu?"
"Dokter Alfa, dok."
"Alfa? Baiklah, terima kasih sudah membantu tugas saya. Kamu boleh kembali ke ruangan."
"Baik dok, permisi." Brenda menganggukkan kepalanya sekali sebagai tanda hormat yang dibalas dengan anggukan kepala juga dari Marsel.
Brenda sudah benar-benar keluar dari ruangan. Marsel mengurut pelipisnya menggunakan tangannya, berharap rasa pening itu hilang dalam sekejab. Matanya melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit. Marsel menyambar stetoskop dan menutup buku agendanya. Dirinya ingin melihat kondisi pasiennya yang tadi pagi kambuh dan sangat membutuhkan perhatian ekstra.
Marsel berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat ramai oleh sanak saudara dari pihak pasien. Langkah kakinya menuju ruang anak yang ada di ujung rumah sakit. Rumah sakit ini memang sengaja menempatkan ruang anak di ujung supaya bisa dilengkapi dengan taman bermain, kolam ikan dan kebun bunga. Semua itu supaya anak-anak merasa bahwa mereka sedang berada di taman bukan rumah sakit.
"Dokter Marsel." sapa ibu dari Ranu.
"Apa sudah membaik?" Marsel memasuki ruang tulip.
Lelaki tampan itu memeriksa detak jantung, kedua mata serta suhu pada tubuh Ranu. Hanya ingin memastikan apa yang sudah diberikan Alfa itu tindakan yang tepat. Hasilnya lumayan memuaskan, kondisi Ranu sudah sedikit membaik meski deru napasnya belum normal seperti semalam.
"Dia tidur terus dari tadi dok, apa tidak apa-apa?"
"Jangan khawatir, ini hanya pengaruh obat. Kondisinya sudah membaik, nanti sore saya akan kembali lagi untuk memastikan tindakan lanjutan. Permisi." singkat, ya itulah Marsel. Dokter bedah itu tersenyum sekilas kepada ibu Ranu dan langsung pergi meninggalkan ruang tulip.
Marsel sudah berada di lantai dasar, banyak sekali suster atau pun dokter wanita yang menatap ke arahnya. Tidak heran, pesona duda beranak dua itu sangat hebat. Bayangkan saja, di usianya yang sudah menginjak awal kepala tiga tapi wajahnya masih baby face. Siapa yang percaya jika dia bilang bahwa dia seorang duda beranak dua dengan wajah seimut itu.
"Dokter Marsel, saya ada coklat buat Zulla dan Yudha. Diterima ya coklatnya." seorang dokter dari departemen neurologi datang menghampiri Marsel di depan resepsionis.
"Bukankah anda dokter saraf? Sebaiknya periksa kondisi saraf anda, dok. Permisi." Marsel meninggalkan dokter bernama Audi itu tanpa banyak bicara.
"Dan ya satu lagi, saya masih mampu membelikan coklat untuk kedua buah hati saya tanpa harus menerima coklat dari anda." Marsel membalikkan badannya meninggalkan Audi sendirian.
Kepala Audi sudah bertanduk, banyak asap-asap keluar dari lubang hidung dan telinganya.
"Bisakah dia menolak dengan cara yang lebih halus dari ini? Dasar dokter tampan sombong!" gerutu Audi kesal.
"D'alice Ren" gumam Alexa membaca nama kafe di depannya.
Alexa membaca sekali lagi alamat yang diberikan mamanya semalam. Ini benar, tidak salah. Berarti Erika mengajaknya ketemuan di sebuah kafe. Alexa melirik jam tangannya, dia sudah telat dua puluh menit dari jam yang ditentukan. Kalau bukan karena insiden rebutan buku di mall tadi, Alexa tidak akan terlambat seperti sekarang.
"Tante Erika pasti ngerti kok." Alexa berusaha menenangkan dirinya. Dengan mantab Alexa masuk dan langsung ke bagian resepsionis kafe.
"Ada yang bisa saya bantu?" sambut resepsionis itu manis.
"Reservasi atas nama Ibu Erika di meja nomer berapa ya, Mbak?"
"Oh... Dengan Alexa?"
"Iya, saya Alexa."
"Mbak bisa ke meja nomor dua puluh satu. Pasangannya sudah menunggu dari lima belas menit yang lalu, Mbak." resepsionis tadi menunjukkan arah menuju meja dua puluh satu.
"Pasangan?" alis Alexa terangkat sebelah, tidak bisa mencerna apa maksud dari resepsionis itu dengan kata pasangan.
"Mbak bisa ke meja saja kalau mau tahu jelasnya." balasnya sambil tersenyum ramah.
Alexa mengangguk-angguk mengerti.
"Makasih Mbak." Alexa memberikan senyum sebelum benar-benar pergi menuju meja nomor dua puluh satu.
Matanya melirik nomor di atas meja, berharap menemukan nomor dua puluh satu. Langkah kakinya memelan ketika sampai di angka terdekat. Pandangannya mengedar mencari di mana letaknya dan tepat jatuh di kursi yang paling pojok dekat jendela kafe. Alexa berjalan mendekat, tapi ada seorang lelaki dengan pakaian formal. Kemeja warna hitam, celana bahan, sepatu pantofel mengkilat juga dasi yang menggantung di lehernya.
"Maaf Mas tempat ini sudah di-reservasi atas nama Bu Erika. Jadi silakan Masnya cari meja lain yang masih kosong." ucap Alexa dengan beraninya tanpa rasa takut sama sekali.
"Duduk." sahut lelaki itu tanpa memandang ke arah Alexa. Tatapannya masih fokus ke buku menu di depannya.
"Maaf ya Mas, bukannya tadi saya bilang tuh udah jelas banget. Mas bisa ca..."
"Saya calon suami kamu." ujar Marsel tegas dan dingin.
Alexa tertegun mendengar perkataan Marsel. Bukan karena suaranya yang dingin, tapi karena kata-katanya yang bilang saya calon suami kamu. Apa Alexa bermimpi? Tidak! Ini nyata.
"Aw..." pekik Alexa kaget ketika rasa sakit mendera di saat tangan kanannya mencubit tangan kirinya. Berarti fix ini nyata.
"Saya ke sini cuma mau bilang kalau pernikahan kita akan tetap terlaksana. Jangan ada pikiran kalau kamu mau menggagalkan pernikahan ini." jelas Marsel memandang ke arah Alexa tajam. Gadis itu masih berdiri bagai patung.
"Hargai saya kalau sedang berbicara, duduk." titah Marsel lagi.
Mengerikan! Mendengar suaranya saja sudah membuat Alexa merinding. Apalagi kalau nanti dirinya benar menjadi istri dari lelaki dingin itu.
Alexa mengikuti perintah Marsel untuk duduk. Dari pada dirinya dimutilasi, lebih baik membicarakan hal ini baik-baik. Ya, Alexa yakin kalau Marsel dan Erika akan mengerti apa alasannya.
"Maaf, kenapa pernikahan itu harus terjadi? Bukankah kita sama-sama tidak mengenal?" tanya Alexa hati-hati.
"Masalahnya kamu dan Mama saya saling mengenal." dengusan napas kasar terdengar dari indera penciuman Marsel.
"Kenapa jadi masalah hanya karena kami saling mengenal?" Alexa masih tak paham ke mana arah pembicaraan Marsel.
"Bukankah kamu yang bilang ke Mama saya kalau kamu siap menjadi ibu untuk anak-anak saya? Hah..." tawa sinis Marsel membuat Alexa gondok.
"Aku emang bilang ke Bu Erika kalau aku mau jadi Ibunya anak-anak, tapi itu hanya sekedar di luar pas Rafli ngajak mereka ke zoo. Nggak lebih!" Alexa menekankan pada kalimat nggak lebih.
"Apa pun alasannya pernikahan ini harus tetap terjadi. Karena kamu, saya jadi melanggar janji saya kepada istri saya." terlihat jelas kekesalan di wajah Marsel.
"Aku yang akan bilang ke Bu Erika untuk batal..."
"Kamu mau membunuh Mama saya?" Marsel menaikkan sebelah alisnya.
"Maksud kamu?" Alexa semakin geram karena Marsel membawa-bawa kata membunuh. Bukankah Alexa hanya bilang akan berusaha bicara dengan Erika supaya pernikahan mereka tidak terjadi.
"Mama punya sakit jantung, dan kalau sampai Mama kena serangan jantung dadakan sudah pasti kamu yang akan saya salahkan." intonasi bicara Marsel masih tetap sama, dingin dan mengerikan.
Alexa diam, tidak menyangka bahwa perempuan yang selama ini memberikan bekal makan siang untuknya itu memiliki penyakit jantung.
"Mama juga hidup dengan satu ginjal selama ini dan itu semua karena saya. Saya hanya nggak mau dibilang anak pembangkang dan saya belum siap ditinggal Mama. Saya harap kamu mengerti."
Lagi dan lagi Alexa kaget mendengar realita. Sudah punya penyakit jantung, ditambah hidup dengan satu ginjal.
"Ini kartu nama saya, besok kita akan mulai fitting baju pengantin dan persiapkan semuanya." Marsel meninggalkan Alexa sendirian bersama kartu namanya yang dia berikan kepada Alexa.
Alexa menggeram, menjambak rambutnya sekuat mungkin. Tak mengerti lagi harus bagaimana lari dari semua ini. Dia seolah sedang berada di tengah-tengah. Maju kena mundur kena. Kalau mundur resikonya adalah nyawa Erika, kalau maju resikonya adalah masa depannya sendiri.
Ini bukan tentang dirinya yang harus menikah dengan seorang duda. Tapi tentang waktu, dirinya belum ingin menikah. Kuliah masih menjadi prioritasnya, Alexa juga masih ingin bekerja dan membantu biaya sekolah kedua adiknya. Alexa kasihan kepada mamanya kalau harus banting tulang sendirian. Andai sekarang itu waktunya tepat, ketika Alexa sudah ingin menikah. Pasti Alexa tidak akan menolak untuk menikah meski dengan duda beranak lima sekali pun.
"Argh...! B-r-e-n-g-s-e-k!" pukulan kecil terdengar di meja nomor dua puluh satu. Membuat orang-orang di sekitar meja itu memandang ke arah Alexa.
***
Next...