6. Lamaran Kedua

1875 Kata
Alexa memilih pergi ke kota tua daerah Jakarta. Dari pada mood-nya semakin hancur jika di rumah, jadi dia habiskan sisa waktunya untuk memotret tempat-tempat yang dia inginkan. Pilihan Alexa jatuh di kota tua. Tanpa ditemani siapa pun, Alexa tetap semangat mumpung hari belum gelap. "Coba aja ada Rafli, pasti ada temen ngobrol." desah Alexa sambil mengotak-atik kameranya. Hasil jepretannya sudah lumayan banyak tinggal nanti dipilih mana yang bagus dan mana yang harus dihapus. Alexa duduk di sebuah tangga sekitaran gedung tua. Kakinya berselonjor, rambutnya menari ke kanan dan ke kiri mengikuti embusan angin yang berkeliaran ingin mendinginkan jiwa-jiwa yang panas akan amarah. Sesekali Alexa mengecek ponselnya, berharap ada notifikasi entah dari siapa saja yang bisa dia ajak chattingan sore ini. Tapi nihil, tetap saja tidak ada kecuali chat group di akun whatsappnya. Alexa kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Drrtt... Drrtt... Drrtt... Mata Alexa berbinar merasakan ponselnya bergetar. Harapannya semoga Rafli atau salah satu teman kelasnya mengirimkan pesan singkat yang bisa dia balas dan akhirnya berlanjut menjadi sebuah obrolan. "Sudah makan apa belum hari ini? Jangan sampai sakit ya." "Ah elah... Aplikasi ojol aja perhatian nanyain gue udah makan apa belum. Lah manusia di sekitar gue apa kabar? Mana? Ada yang peduli gitu?" dengus Alexa merasa sia-sia mengambil dan membuka lock di ponselnya. Ternyata bukan seseorang yang mengirimkan pesan kepadanya tapi peringatan sebuah aplikasi yang dia instal di ponselnya. Kecewa. Drrtt... Drrtt... Drrtt... Alexa kembali merogoh ponselnya yang baru saja dia masukkan ke dalam saku celananya. "Airlangga Geo berulang tahun hari ini. Bantu dia untuk merayakan ulang tahunnya." baca Alexa pada notifikasi dari akun yang terinstal di ponsel pintarnya. Lagi, Alexa kecewa! Dia pikir mamanya atau adik-adiknya yang mengirimkan chat tapi malah pemberitahuan ulang tahun salah satu teman dunia maya sekaligus teman semasa SMP-nya dulu. "HBD ya, Ngga." ujar Alexa sambil mengetikkan sesuatu di beranda temannya. Usai mengucapkan selamat ulang tahun kepada Airlangga, Alexa memasukkan kembali ponselnya. "Jomblo aja berharap ada yang merhatiin." dengus Alexa tersenyum getir atas dirinya sendiri. Alexa membenarkan posisi duduknya supaya lebih nyaman. Sekarang dia topang kepalanya menggunakan kedua telapak tangannya yang bertumpu di lutut. "Coba aja peka sama perasaan gue, pasti gue nggak akan memendam perasaan ini sendirian selama ini." Alexa membayangkan sedang apa lelaki yang dia harapkan mengetahui perasaannya itu sekarang? Sedang bersama kekasihnya atau sedang berdiam diri di kamar atau bahkan sedang nongkrong bersama teman-temannya. Andai saja Alexa memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Ada kemungkinan lelaki itu akan mempertimbangkan perasaan Alexa. Sayangnya Alexa tidak memiliki nyali lebih soal perasaannya. "Gue selalu berdoa buat kebahagiaan lo nanti. Bahagia lo bukan gue dan nggak ada di gue. Bukan gue kehidupan lo." miris, suara itu terdengar sangat miris jika terdengar oleh siapa pun yang sedang melintas. Kilatan wajah lelaki yang sudah lama Alexa suka berulang kali terlihat seolah sedang merayunya. Tapi bukan! Ini kenyataan bukan halusinasi seperti apa yang Alexa rasakan sekarang. Tidak ada yang tahu atas perasaan Alexa selama ini. Bahkan Rafli sekali pun yang notabenenya adalah sahabat dekat Alexa, dia juga tidak pernah tahu bahwa sahabatnya itu memendam perasaan untuk seorang lelaki. Alexa memang tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Berniat menceritakannya saja tidak! Itulah Alexa, sangat memilih-milih mana yang harus dia ceritakan dan tidak dia ceritakan. Drrtt... Drrtt... Drrtt... Alexa kembali merasakan ponselnya bergetar. Kecewa dengan dua notifikasi sebelumnya, membuat Alexa malas membuka notifikasi yang masuk barusan ke ponselnya. Jangan-jangan itu notifikasi like dari i********: atau notifikasi update-an cerbung yang dia sukai di Dreame. "Males banget buka HP, nggak ada yang nge-chat juga." Sudah merasa sedikit tenang, akhirnya Alexa memutuskan berjalan meninggalkan kota tua. Angin menerpa anak rambutnya yang tidak ikut dia ikat. Tangannya memegangi kamera sambil memutar-mutarnya seiring kakinya berjalan mencari tempat yang enak untuk nongkrong mungkin, atau sekedar menikmati americano di sore hari. Drrtt... Drrtt... Drrtt... Alexa menggeram ketika merasakan ponselnya kembali bergetar. Tapi kali ini bukan nada notifikasi, ini nada dering ponselnya. "Siapa sih yang nelfon sore-sore gini? Biasanya juga nggak pernah." gerutu Alexa sambil merogoh ponselnya yang dia masukkan ke saku jeans bagian kanan. Sedangkan tangan kirinya memegangi kamera erat-erat. "Rafli? Ngapain tuh kupret nelfon sore-sore gini? Tumbenan banget." heran Alexa tapi akhirnya dia terima juga panggilan dari Rafli. "Ya apa?" tanya Alexa langsung pada inti. "Cie yang lagi siap-siap mau ketemu calon suami sama camer." terdengar suara Rafli menggoda di seberang. "Lo apaan sih? Sore-sore kesambet s-e-t-a-n bantal. Gue yakin lo baru bangun tidur, iya kan?" "Gue udah ganteng dong, kan mau ikut kakak gue ngelamar lo langsung." "Ngelamar gue? Sadar Bang sadar, bangun jangan ngelindur mulu." kesal Alexa. "Gue nanya deh Al, lo di mana sekarang?" tanya Rafli mulai serius. "Gue di sekitaran gedung tua habis motret." "Wait! Jangan bilang kalau lo belum siap-siap." "Siap-siap mau ngapain? Ke kondangan?" "Waelah Al, jangan bilang kalau lo beneran nggak tahu. Keluarga gue itu sekarang udah mau otw ke rumah lo buat acara lamaran Mas Marsel sama lo." "Hahaha... Nggak usah bercanda deh Raf, ng..." "Nggak usah ngeyel kalau dikasih tahu. Mendingan sekarang lo pulang, mandi terus dandan yang cantik buat kakak gue. Gue bakalan bantuin ngulur waktu di sini. "Alexa tambah bingung ketika Rafli menutup sambungan telfonnya secara sepihak. Otaknya masih belum bisa diajak bekerja dengan normal. Matanya melirik ke notifikasi yang masuk tadi. Ternyata itu chat masuk dari sang mama yang memberitahukan bahwa keluarga Marsel memang akan datang malam ini dengan acara lamaran. Maka dari itu Alexa diminta untuk segera pulang. "Aish... Kenapa harus mendadak seperti ini sih?" lagi-lagi Alexa menggeram. Gadis itu langsung memasukkan kamera dan ponsel ke dalam tas. Kakinya berlari menuju halte terdekat dan berharap akan mendapatkan bus cepat tanpa penuh. *** "Ah... Mama ini terlalu tebal." protes Alexa. "Eits... Mau apa kamu ambil tisue?" Sofya menghentikan tangan Alexa yang hampir meraih tisue di atas meja rias sang mama. "Lipstiknya ketebelen Mama, aku nggak nyaman." "Udah ah, segini cukup. Nggak ketebalan, jangan protes." Alexa mendengus mendengar larangan Sofya. Bagi Alexa yang tidak pernah dandan, semua ini terlalu berlebihan hanya untuk lelaki bernama Marsel. "Ma, lipstiknya tipisin." rengek Alexa lagi. "Diam Al! Ini untuk calon suami kamu juga, bukan untuk orang lain." Sofya langsung membawa putri sulungnya keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu mengantarkan sang putri ke kamar putri keduanya. "Qia, temani kakak kamu. Jangan sampai dia melakukan hal-hal yang tidak diinginkan." pesan Sofya. "Mama, dikira Kak Al apaan hahaha..." tawa Qia, adik Alexa. "Udah, Mama ke bawah dulu." Alexa langsung masuk dan duduk di atas ranjang milik Qia, wajahnya tertekuk bahkan make-up yang sudah dipoleskan ke wajahnya tidak bisa menutupi kekesalannya. "Cie... Yang sebentar lagi mau nikah, enak nih tiap bobok gulingnya nggak mati lagi hahaha..." goda Qia membuat Alexa meliriknya tajam tapi tak selang lama, tersenyum menggoda. "Cie yang kepengen bobok sama guling bernafas." goda Alexa balik. "Hehehe... Anget kali ya Kak kalau hujan-hujan ada yang meluk." "Mau ada yang meluk pas bobok kalau lagi hujan?" "Hehehe... Kak Al apaan sih, ngaco aja kalau ngomong." cengir Qia. "Loh, kamu kan udah ujian tinggal nunggu pengumuman. Kalau kamu nikah sekarang-sekarang juga nggak masalah. Ntar ada yang nemenin bobok tiap malemnya." "Emang boleh Kak sama Mama?" "Biar nanti aku yang mintain ijin ke Mama." "Yes, mau deh kalau gitu. Biar ada yang nemenin bobok tiap malem." "Ya udah, sekarang kamu gantiin posisi aku buat nerima lamaran tuh cowok terus ntar kamu deh yang nikah sama dia." "Ih... Enak aja aku disuruh nikah sama duda anak dua. Ogahlah ya, apaan malesin aja. Yang belum berpengalaman aja banyak. Ogah-ogah, nggak jadi mau aku." "Enak yang udah pengalaman kali Qia, kalau yang belum berpengalaman nanti sakit loh. Kalau sama yang udah berpengalaman mah enggak." Alexa masih saja menggoda adik polosnya. "Nggak sakit? Emang iya gitu kalau sama yang udah pengalaman nggak sakit? Sama aja kali ah, sama-sama sakit." "Dibilangin nggak percaya." "Bodo amat, pokoknya nggak mau aku nikah sama calon suami kakak." Cklek! "Qia, ajak kakak kamu turun. Calon suaminya sudah datang." ucap Sofya memberi tahu dari balik pintu. "Ah elah, pakai acara dateng segala lagi. Kenapa nggak macet atau ban kempes aja gitu di jalan tadi." gerutu Alexa kesal. "Ish Kak Al nggak boleh gitu. Denger calon suami dateng bukannya senang malah kesel." "Diem kamu, Qia." "Udah ah, ayo turun." Mau tak mau Alexa mengikuti Qia untuk turun ke lantai bawah menemui keluarga Fabiano. *** Alexa tidak menyangka kalau ayah dari Rafli akan pulang hanya untuk acara lamaran Marsel saja. Zulla dan Yudha juga ikut dalam acara lamaran ini. "Kedatangan kami ke sini, itu hanya sebagai simbol atau adat bahwa Alexa resmi kami lamar untuk Marsel. Berhubung tanggal pernikahan dan semua persiapan juga sudah ditentukan dan sudah 90% selesai." ucap Hans Fabiano sebagai ayah dari Marsel dan Rafli. "Ya, saya mengerti Pak. Lamaran ini saya terima. Dan saya harap Marsel bisa membimbing Alexa ke jalan yang lebih benar. Mohon maklum, Alexa memang seperti ini anaknya. Dia cenderung tomboy." "Saya akan berusaha, Bu." jawab Marsel sambil mengembangkan senyuman palsunya. Hanya acara lamaran sederhana sebagai simbol resmi belaka. Menghindari kata orang sekitar kalau ada ucapan yang tidak mengenakkan. Usai membicarakan pernikahan, Sofya mengajak keluarga Fabiano makan malam bersama. Mereka saling menikmati hidangan hasil delivery dari restoran terdekat dari rumah Sofya. Karena sudah dipastikan, tidak mungkin Sofya masak karena wanita itu harus bekerja dan pulang saat sore hari. "Saya ingin berbicara dengan Alexa sebentar." ucap Marsel di sela-sela makan malamnya. "Al, ajak Marsel ke halaman belakang gih. Kayaknya dia mau berduaan sama calon istrinya sebelum nanti masuk masa pingitan." goda Sofya sambil tersenyum. Erika dan Hans ikut tersenyum melihat mereka berdua. Mereka berharap dengan hadirnya Alexa, Marsel bisa kembali seperti dulu lagi. *** "Kalau capek duduk saja, saya bukan virus." suara Marsel memecah keheningan. Alexa kesal mendengar suara Marsel barusan. Memang, mereka sudah berdiam diri di halaman belakang selama tiga puluh menit dengan posisi Marsel duduk sedangkan Alexa berdiri. "Aw..." ringis Alexa ketika merasa sebelah kakinya kram dan kesemutan. "Kata saya juga duduk, nggak usah sok menjadi wonder women buat berdiri." Meski kesal, akhirnya Alexa mengikuti saran Marsel untuk duduk di dekat lelaki itu. Tangan kirinya masih memijit-mijit betisnya yang terasa sakit. "Nggak usah lama-lama deh, ngajak ke sini mau bilang apa?" tanya Alexa mencoba galak. "Ternyata kamu itu tipe orang yang sabar menunggu saya bicara." "Nggak usah basa-basi." "Ok, saya mengajak kamu ke sini itu mau bilang kalau tidak ada perceraian di antara kita nanti." "Kenapa? Bukankah kita sama-sama tidak saling mencintai?" "Ya, kita sama-sama tidak saling mencintai. Tapi tidak tahu dengan nanti." "Maksud kamu, suatu hari nanti kamu akan bisa mencintaiku begitu?" senyum sinis menyungging di wajah Alexa. "Bukan saya! Tapi kamu! Kamu yang akan mencintai dan tidak mau lepas dari saya nanti." "Hahaha... Kepedean jadi orang." "Memang kenyataannya seperti itu, lihat nanti siapa yang akan kalah lebih dulu." "Terserah! Intinya apa?" "Sudah jelas, intinya bahwa tidak akan ada perceraian di antara kita. Entah ada atau tidak adanya cinta, saya benci perceraian." Marsel langsung meninggalkan Alexa begitu saja. Lelaki itu akan langsung pulang menyusul orang tuanya. Marsel tahu bahwa semua keluarganya sudah pulang bersama mobil Hans. Sedangkan dirinya yang tadi membawa mobil sendiri bersama kedua buah hatinya, kini akan pulang sendirian. Alexa menatap kesal ke punggung Marsel, calon suami yang sangat tidak dia harapkan. Nafasnya memburu membayangkan betapa menderitanya nanti dia harus hidup bersama lelaki seperti itu. Semoga saja wajahnya tidak mudah keriput karena setiap hari harus marah-marah. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN