Pesaing

2528 Kata
"Kami bergerak karena nurani kami berkata bahwa peraturan apapun tanpa kebijakan akan rusak! Dan bila yang terhormat para pemangku tahta yang memiliki kebijakan hanya diam, maka kami yang akan terus bergerak dengan membawakan massa untuk meminta keadilan di sini!" Teman-temannya berseru di bawah sana. Mereka semangat sekali hari ini. Tidak perduli teriknya matahari. "Turunnya kami ke jalan adalah simbol dari ketidakadilan yang terus terjadi! Kami tidak mau ketidakadilan pada negeri ini terus berlangsung hingga terus menyengsarakan masyarakat Indonesia!" Agha tampak tersenyum dari kejauhan sana. Ia menyukai gaya Maira berorasi. Selalu bisa mengompori orang dan membuat semua orang akan menatapnya. Oke, ia tahu alasannya kalau bukan hanya orasinya saja yang menarik tapi juga orangnya. Eeeeeh! Bani menyenggol lengannya sambil tersenyum tipis. Apa arti dibalik senyuman Agha pada gadis yang berdiri di depan sana? Hohoho. "Hati-hati naksir, bro," belum terjadi apa-apa ia sudah memperingatkan sambil menepuk-nepuk bahunya. Kemudian berjalan menuju gadis lain untuk mengusilinya. Bukan suka, ia tak mau menyebutnya begitu. Ia ingin usil saja karena ternyata itu memang membuatnya ketagihan. Lalu Agha? Cowok itu hanya geleng-geleng kepala saja. Yaa kalau suka sih tidak, ia berdalih mengagumi. Lagi pula, ada lelaki lain yang tampak lebih serius menatap gadis itu. Laki-laki yang satu fakultas Maira juga tahu kalau sudah lama menaruh hati. Semua orang juga penasaran sebetulnya. Apakah Maira menaruh hati yang sama pada lelaki yang notabene-nya adalah sahabat karib sendiri? Usai berorasi, gadis itu turun dan tentu saja langsung disambut Hanafi. Lelaki itu menyodorkan sebotol minum. Dari pada tenggorokannya sakit karena terus berbicara di depan sana. Lalu cowok itu pergi ke arah lain untuk berbicara dengan teman yang lain. "Thanks, Hanaf." Hanafi hanya mengangguk dengan senyuman tipis yang aduhai. Sementara Maira mengambil duduk di tengah keramaian teman-temannya. Ia mencoba berlindung sebentar dari teriknya matahari. Selesai meneguk minumannya, ia beranjak dan menyimpan botol minuman itu ke dalam tas. Masih ada setengah lagi sisanya. Lumayan. Lalu tak lama..... "A-aw!" Rangga menjitak kepalanya begitu menghampiri kerumunan mahasiswa berjaket kuning. Humaira meringis. Sementara Andros yang menyaksikan malah tertawa. Ia tadi sudah menyapa Rangga. Rangga tak perlu bertanya keberadaan Humaira. Gadis itu kan memang suka semena-mena. Kalau Andros ikut berdemo, Humaira pasti ada. Ya mereka memang satu komplotan. Susah pula dinasehati. Rangga yakin tak akan mendengar. Ia tahu motif Maira selalu ikut berdemo ria. Tapi karena itu lah, entah ia harus bangga atau justru khawatir. Segala tingkah Maira selalu membuatnya was-was. "Sudah Mas bilang, ikut kuliah saja. Masih aja ikut demonstrasi!" "Weee! Mas juga ngapain coba di sini?!" Ia balik menyolot. Tangannya berkacak pinggang. Mana mungkin ia tak tahu kalau lelaki ini juga ikut demonstrasi? Wong beberapa hari belakangan, Rangga kerap pulang tengah malam. Bahkan hampir jarang pulang. Sehingga Humaira banyak tinggal sendirian di kontrakan bersama Bi Inah. Tapi Rangga tentu punya kepetingan di sini sebagai seorang jurnalis sekaligus direktur di LSM-nya sendiri yang memang bergerak di bidang media. "Kamu itu ya kalau dikasih tahu itu ya didengerin!" "A-aaww! Iiih!" Humaira menampar-nampar tangannya yang mencoba menjitak kepalanya lagi. Rangga gemas sebetulnya. Mau marah juga tak akan pernah bisa karena ia sayang sekali dengan gadis ini. Haaaah. Serba salah. Tapi ia hanya khawatir. Wajar kan? Kalau Maira itu lelaki, mungkin akan ia biarkan saja. Tapi kan adiknya ini perempuan. Bagaimana mungkin ia tak khawatir? "Makanya jangan bikin Mas khawatir! Nanti langsung pulang ke rumah, kamu!" Humaira mendengus. Ia mengelus-elus kepalanya. "Iya ih! Bawel!" "Dros, titip ya?" Andros mengangkat jempolnya lantas Rangga pamit pergi usai menjitak kepala Humaira sekali lagi. Andros terkekeh. Ia suka sekali melihat interaksi Humaira dan Rangga. Kakak-beradik yang sungguh akur. "Kebiasaan deh jitakin kepala orang. Kalo adiknya jadi b**o gimana coba?" Ia mendumel. Andros hanya terkekeh-kekeh melihat tingkahnya. Maira dan Rangga memang selalu seperti itu sejak dulu. Tapi ia senang karena hubungan keduanya tampak begitu dekat meski berbeda ibu. "Mai!" Hanafi muncul dengan botol minuman dingin yang ia tempelkan di pipi Humaira. Perempuan itu terkekeh lantas menerima minuman itu. Andros memalingkan wajah sembari menghela nafas. Oke, ia kalah start lagi. Seharusnya tadi ia kabur saja lebih dulu kemudian membeli minuman dingin seperti apa yang dilakukan Hanafi. Padahal tadi ia sudah diberikan minuman. Tapi memang bukan minuman dingin. Ah lebih tepatnya, dinginnya sudah tak terasa lagi. Lelaki itu juga mengambil kursi plastik dan membiarkan Humaira duduk di sana untuk minum. Ia sama sekali tak memerhatikan Andros. Andros memang pesaingnya dalam hal apapun. Tidak hanya untuk memperebutkan hati Humaira. Tapi Hanafi tahu kalau Humaira tampak biasa saja dengan Andros. Bahkan tahun lalu, Hanafi sudah bertanya perihal hubungan Humaira dengan Andros. Gadis itu mengatakan kalau mereka memang bersahabat baik semenjak dulu. Meski sejujurnya, Hanafi terganggu dengan keberadaan Andros di sekitar Humaira. Ya sebagai sesama lelaki, ia tahu benar bagaimana makna dari tatapan Andros untuk Humaira. "Dros, mau?" Humaira menawarkan minuman yang sudah ia teguk. Tentu tak mengenai mulutnya. Tangannya bahkan sudah mengulurkan botol itu. Hanafi berdeham sembari mengalihkan wajah. Sementara Andros melipat kedua tangan di depan d**a. "Buat lo aja." Ia mana sudi meminum minuman yang dibeli Hanafi. Hahaha. Saras yang memerhatikan sedari jauh sudah tertawa tanpa suara. Ia paling suka melihat ketiga orang itu bersama. Lucu saja. Apalagi kalau sedang berlomba mencari perhatian Humaira. Baaah! "Ngapain lo ketawa-ketawa sendiri?" seru Bani. Ia melihat Saras dari atas sampai bawah. Penampilannya kusam. Padahal manis. Saras langsung menjulingkan matanya. Ia dan lelaki ini adalah musuh bebuyutan. Tak pernah akur entah sejak kapan. Saras juga tak ingat. "Sewot aja sama urusan orang. Gue mau ketawa kek, mau nangis kek. Itu urusan gue lah! Wuuuu!" Ia melengos pergi dari pada tenaganya habis untuk meladeni Bani. Berhubung cuaca memang sedang terik-teriknya. Ia mau meminta minuman Humaira saja. @@@ Agha berbicara dengan Aday. Ia mengobrol tentang demonstrasi hari ini. Sampai sejauh ini masih aman dan semoga benar-benar tentram. Meski ia sudah mendapat bocoran beberapa hal. Bahkan beberapa sepupunya sudah berjaga-jaga dari jauh. Ambulans-ambulans disembunyikan diam-diam di beberapa gedung kantor yang ada di sekitar Senayan. Dari beberapa kejadian demo sebelumnya, ambulans banyak dikejar aparat berseragam cokelat. Padahal jelas, ambulans itu untuk membawa para pendemo yang terluka bukan untuk menjadi sarana melarikan diri. Entah di mana nurani mereka. Agha juga sudah memberitahu Aday semalam. Tak heran kalau semalam ada rapat dadakan antar ketua BEM se-Indonesia yang hari ini ikut demontrasi di Senayan. Ya, mereka perlu berjaga-jaga untuk sesuatu yang bisa saja terjadi di luar kendala. "Sejauh ini belum ada yang aneh. Tapi hal-hal biasa yang terjadi di demo itu gak jauh-jauh dari anarkisme. Yang berbuat bukan dari kita. Tapi terkadang kita ikut terpovokasi." "Maka itu, kali ini kita jangan bergerak. Kamera harus selalu siap. Karena p*********n mereka selalu dilakukan rapi. Demo terakhir tahun kemarin juga sama kan, Kak? Beberapa dari kita akhirnya ditangkap karena dianggap melakukan provokasi. Padahal mereka yang sengaja mengirim orang tapi yang menanggung kesalahan justru kita. Sehingga apapun aksi yang kita lakukan akan dicap buruk oleh masyarakat." Aday mengangguk setuju. "Itu cara mereka untuk membungkam suara kita. Membuat masyarakat tidak percaya dengan aksi kita sekaligus mengancam kita dengan sanksi administratif. Mereka tahu, kita butuh pekerjaan di masa depan. Kalau namanya pernah masuk kantor kepolisian, akan sulit membuat surat berkelakuan baik." Agha mengangguk-angguk. "Kalau kita takut, lama-lama suara kita akan mati." "Makanya, kita harus terus bersiaga. Apapun yang terjadi, kita harus bersatu. Jangan kalah dengan mereka yang berkelompok melakukan kejahatan." Aday menepuk-nepuk bahu Agha. Namanya dipanggil oleh sekretaris BEM untuk ikut naik ke atas gerobak dan memberikan orasi. Masayu yang sudah merayu sang sekretaris BEM untuk memberikan kesempatan pada Agha. Tujuannya jelas memang untuk menaikan nama Agha. Nama Agha mungkin populer di fakultasnya tapi kan tidak di kalangan anak-anak UI Depok. Maka itu perlu promosi yang gencar. Masayu sudah membuat list acara yang barangkali bisa diisi oleh Agha. Cewek itu mendapat mandat sebagai ketua tim kampanye. Sementara Bani akan membantu tugasnya sebagai wakilnya. Lelaki itu tentu saja lebih tahu seluk-beluk kampus UI di Depok. Humaira? Kalau perempuan itu berminat bergabung dengannya, ia berencana menaruh Humaira sebagai salah satu juru bicaranya juga bendahara. Gadis itu kan cadas. Sementara itu, berbagai posisi lain seperti kepala perencanaan, konten, komunikasi politik, media dan sosial media, logistik, hukum dan advokasi sudah diisi dengan beberapa koneksi dari teman-temannya yang tersebar di banyak fakultas. Bukan hanya Kedokteran. "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Humaira dan Saras yang berteduh di dekat bahwa pohon pun reflek menoleh. "Siapa tuh?" Mata Saras menyipit. Ia tak begitu jelas melihat karena silaunya cahaya matahari yang menusuk penglihatannya. Sementara Humaira tampak menerka-nerka. Dari wajahnya yang agak asing itu, tentu membuat kening Humaira berkerut. Ia berpikir keras. Ketika suaranya semakin terdengar jelas, Humaira ber-aha ria. Meskipun baru pernah bertemu sekali secara langsung, Humaira langsung bisa mengira kalau itu adalah sosok lelaki yang tiba-tiba datang dan menawarinya jabatan. Sejujurnya, Humaira masih mencari akar ketulusan Agha untuk menjadi ketua BEM universitas. Karena bagi Humaira, hal itu sangat penting. Humaira tak mau salah memilih pemimpin. Karena efeknya akan mengerikan. Nasib seluruh mahasiswa di kampus mereka akan berada ditangan lelaki itu untuk setahun ke depan. Agha mulai berorasi. Tidak seperti Humaira, Andros dan Hanafi yang tadi sangat menggebu-gebu, sebaliknya, ia malah tenang. Dari bahasa tubuhnya, lelaki itu tampak sangat percaya diri. Itu khas Agha. Ia juga tampak berwibawa dengan senyum gantengnya yang seketika membuat para perempuan saling menyikut bahu sambil tersenyum-senyum. Beberapa di antaranya mulai bertanya-tanya tentang sosoknya. Yang lain, sibuk merekam wajah gantengnya hingga nama Agha mendadak viral di berbagai media massa bersamaan dengan orasinya. Mungkin karena gayanya berbeda dari aktivis kampus pada umumnya. "Kalian dengar ini Bapak dan Ibu Dewan Yang Terhormat! Pertama, janji saat pemilu anda itu akan dituntut diakhirat kelak. Kedua, jabatan anda itu hanya titipan dari Allah. Dan ketiga, ketika anda dilantik, ingat Al-Quran yang ditaruh di atas kepala anda sebagai pertanda betapa sakralnya janji itu," tuturnya dalam. Agha tampak serius. Ia berseru dengan menghadap ke depan gedung DPR Republik Indonesia. Hal yang menyentak hati Humaira. Suka dengan tata bahasa yang ia gunakan. Dan hal ini lah yang tidak Humaira mengerti dan masih menjadi tanda tanya. Apakah lelaki ini benar-benar selurus ucapannya? Atau kah ia sama 'omdo'-nya dengan pejabat pemerintahan yang hobi berjanji manis belaka disaat kampanye? Ia masih mencari sosoknya. Tapi dalam media sosialnya sekalipun, tak banyak yang diposting. Hanya baju almamater, beberapa foto pemandangan, foto tiga anak perempuan dan foto fakultas kedokteran kampus mereka. Hanya itu. Tak ada penjelasan mengenai sosok Agha yang sebenarnya. Humaira tidak tertarik. Ia hanya penasaran. Apakah sosoknya benar-benar selurus ucapannya? Humaira hanya ingin memastikan itu tapi belum menemukan caranya. Celah untuk mengenal lelaki itu lebih dalam memang ada. Tapi Humaira lebih suka menggunakan opini orang-orang terdekatnya lalu mencari buktinya. Kemarin cowok itu juga sudah mengirimi pesan tapi ia belum membalasnya. Bahkan sengaja mengabaikan. Karena Humaira perlu bukti konkrit untuk menerima atau menolak permintaan dari seseorang. Ia tahu kalau semua hal ada tanggung jawabnya. Ia hanya tak mau salah jalan saja. Kalau salah, itu juga akan menjadi malapetaka baginya. "Tapi kalian khianati semua itu, maka demi Allah, kami akan menjadi saksi kalian di hari pembalasan nanti. Bersuka-suka lah kalian selama hidup di dunia ini tapi ingat, ketika mati kalian hanya akan menjadi jasad!" "HIDUP MAHASISWAAAAA!" Indra langsung berteriak di tengah-tengah kerumanan di sekitar Agha. Sorak-sorainya disambut gema banyak mahasiswi. Ye lah, yang orasi ganteng begitu. Dibandingkan dengan Hanafi, Agha memang lebih ganteng. Bedanya? Mungkin Hanafi lebih terlihat seperti cowok cerdas dibandingkan dengan Agha yang terlihat sangat keren dengan penampilannya. Bahkan tidak sesuai dengan statusnya sebagai mahasiswa Kedokteran. Lebih cocok Hanafi. Cowok itu juga tampak lebih tapi tapi masih tetap stylist. "Dia orang yang nawarin gue jabatan bendum," bisik Humaira di telinga Saras. Cewek itu terkaget. Matanya terbelalak. "Seriusan? Berarti dia calon pesaing--" "Ya," potongnya. Humaira melirik ke sekitar mereka, beruntungnya Andros tak ada. Ia menghela nafas seketika. Ia tak mau Amdros sampai tahu. Tentu saja tak enak hati. "Terus gimana?" Humaira mengendikan bahu. Ia juga masih bingung. "Kalo gue sih jelas pilih dia. Dia lebih ganteng!" Humaira tertawa mendengar alasan konyolnya. Kalau cuma modal tampang, artis-artis juga bertebaran. Yang menjadi masalahnya adalah pantas dan mampu kah menjadi pemimpin? Karena kalau modal tampang, semua orang juga bisa. "Tapi berat juga nolak Andros kan?" Humaira mengangguk. Itu lah yang sedang ia pikirkan. Sebagai sahabat Andros sejak SMA, ia benar-benar tak bisa berpikir keputusan apa yang harus ia ambil. Ini benar-benar dilema. Meski ia tahu kalau Andros bisa saja menerima apapun keputusannya dengan lapang. Seandainya Andros bertanya lebih dulu dibandingkan Agha, Humaira juga tak yakin apakah ia akan menerima Andros begitu saja. Prinsipnya sama. Namun setidaknya, ia sudah lama mengenal Andros dan tahu bagaimana gaya kepemimpinan Andros. "Tapi gue yakin kalo lo bisa objektif, Mai." Humaira justru menatap sangsi akan pernyataan itu. Semakin lama, ia malah semakin tidak yakin. Terlalu banyak hal yang mempengaruhinya dan ia juga sedang berusaha untuk mati-matian bertahan pada jalur keteguhan hati agar tak mudah berempati dalam persoalan ini. "Gunakan prinsip hidup lo selama ini dan lo akan menemukan jawabannya sama persis seperti keputusan-keputusan elo sebelumnya." Humaira menghela nafas. Ini adalah sesuatu yang baru dan berat baginya. "Eh! Eh dia ngobrol sama Hanafi tuh!" Saras mengalihkan perhatiannya. Humaira ikut menoleh ke arah Agha yang baru saja menjabat tangan Hanafi. Kening Humaira mengernyit. Untuk apa? "Kenal sama Hanafi?" Humaira mengendikan bahu. Ia mana tahu. "Mai?" Tadi Saras tak melihat kendikan bahunya karena sibuk melihat ke arah Hanafi dan Agha. "Gak tahu juga gue." "Dia masih belum bilang apa-apa ya sama lo?" Kening Humaira mengerut. "Apanya?" "Tuh kan!" Saras berdecak. "Nanti lo tanyain aja ke dia langsung deh. Jangan ke gue. Serba salah gue." Humaira makin penasaran dibuatnya. "Apaan sih?" "Udaah nanti lo tanyain aja," tuturnya sembari menepuk bahu Humaira lalu beranjak pergi. Humaira berdecak dibuatnya. Tak paham. @@@ "Yang tadi?" Rudi mengangguk. "Gue baru dengar namanya." "Ya. Dia jago di kedokteran. Di Depok, dia masih tertinggal jauh. Kecuali yang tadi mendadak viral." Andros mengangguk-angguk. "Kalo dia viral?" "Namanya naik lah, Dros. Apalagi kalau terus viral sampai menjelang pemilihan, kita harus kerja keras." Andros mengangguk-angguk. Benar juga. "Sejauh ini, pergerakannya udah sampai mana?" Rudi mengendikan bahu. "Gak terbaca." "Terus? Masih belum ada informasi?" "Kurang lebih begitu." Rudi menghela nafas. "Mereka banyak bergerak di Salemba. Depok ke Salemba jauh, bro. Apalagi gue gak begitu familiar. Mana bisa mantau." Memang benar. Andros hanya bisa menghela nafas. "Tapi sejauh ini, gue pastikan lo masih unggul. Cuma gak tahu nanti. Posisi bisa saja berbalik. Yang jelas, fokus kita akan meningkatkan kapasitas kita. Terutama elo. Alih-alih mikirin pesaing." Andros mengangguk-angguk, benar juga. "Dia ngobrol sama Hanafi tuh." Andros ikut menoleh. "Kalau dia narik Hanafi jadi wakil atau timses, kita benar-benar harus gerak cepat. Lo tahu sendiri lah, persoalan Mai--" ia mengatup mulutnya lantas menampar-nampar mulutnya sendiri karena asal bicara. Andros sudah meloyor, mencari Humaira. Tadi gadis itu ia tinggal bersama Saras. Seharusnya masih di sana. "Dros!" Aday malah menginterupsinya. Ia terpaksa menghentikan langkah lantas membalik badan dan berjalan menuju Aday. "Kenapa, Kak?" "Gue dengar-dengar lo ngajuin diri?" Ia tersenyum kecil. "Udah tersebar rupanya." Aday tertawa. Tentu saja informasi itu akan tersebar dengan cepat. "Rudi bilang lo butuh bimbingan gue." Andros tertawa. "Lo udah jago. Gak perlu bimbingan lagi. Persiapannya udah sampai mana?" "Yaa masih ngumpulin tim lah." Ada mengangguk-angguk. "Omong-omong, lusa bisa ikutan rapat?" "Ada apaan?" "Mau ngomongin soal kerja sama antar fakultas. Terutama acara tahunan di fakultas elo sih." "Yang sastra itu?" Ada mengangguk-angguk. Memang itu maksudnya. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN