"Maira! Maira!"
Ketua BEM universitas memanggil. Humaira yang sedang asyik bercanda dengan sesama anak BEM pun langsung berjalan mendekat. Kemudian ikut naik ke atas gerobak yang sudah diisi kayu-kayu balok agar mereka bisa berdiri gagah di atas sana. Di tengah keramaian mahasiswa. Agha yang sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya langsung menoleh. Apalagi, lengan Masayu juga menyenggol lengannya. Turut membuatnya mengalihkan perhatian pada sosok Humaira. Selama ini, Agha selalu ikut demo. Tak pernah absen. Tapi baru setahun terakhir ini mahasiswa aktif berdemo. Yang tidak lain dan tidak bukan dikarenakan kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari tujuan bangsa yang tercantum di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah yang mulai kehilangan arah harus segera disadarkan.
Humaira rupanya memimpin para mahasiswa yang hadir untuk menyanyikan lagu kebangsaan mereka. Lagu yang selalu menggetarkan d**a setiap mereka berkumpul di sini untuk menyamakan suara demi menyelamatkan negeri ini.
Agha langsung menoleh ke arah Masayu saat mendengar Humaira mengambil nada. "Dia bisa nyanyi juga?"
Masayu terkekeh. "Gue juga baru tahu tadi malem. Ternyata dia dulu pernah jadi anak rocker."
Agha tertawa seketika. Astaga. Kalau ia lihat lagi, tampangnya itu sangat lembut. Tidak ada sangar-sangarnya sama sekali. Bagaimana bisa dibilang anak rocker? Hijaber kece sih iya. Cantik pula kan. Tapi Agha masih gak percaya. Dari sisi mana pun, Humaira itu feminim dan anggun.
Humaira mengangkat tangan dan para mahasiswa yang hadir langsung menyambut dengan satu suara yang sama.
"Kepada para mahasiswa....
Yang merindukan kejayaan........
Kepada rakyat yang kebingungan....
Di persimpang jalan........
Kepada pewaris peradaban.....
Yang telah menggoreskan.......
Sebuah catatan kebanggaan...di lembar sejarah manusia...."
"Wahai kalian yang rindu kemenangan................
Wahai kalian yang turun ke jalan............
Demi mempersembahkan jiwa dan raga......
Untuk negeri tercinta...........
Wahai kalian yang rindu kemenangan........
Wahai kalian yang turun ke jalan.........
Demi mempersembahkan jiwa dan raga.....
Untuk negeri tercinta...."
Usai bernyanyi mereka bertepuk tangan yang sama. Sang ketua BEM yang berdiri di samping Humaira, meneriakan kata-kata semangat untuk kebersamaan mereka hari ini. Banyak mahasiswa yang hadir. Bukan hanya mahasiswa yang berasal dari Jabodetabek. Tapi juga dari Bandung hingga Jawa Timur. Semua datang dengan nurani yang sama. Berharap suara mereka didengar dan dapat mengubah negeri ini menjadi lebih baik untuk kepentingan bersama. Bukan hanya untuk kepentingan saat ini tapi juga dimasa mendatang.
"Kak Aday keren ya," celetuk Masayu tanpa sadar. Sosok ketua BEM universitas yang sangat ia kagumi karena keteduhan, semangat dan juga kesolehan yang terpancar darinya. Bukan cowok ganteng tapi keteduhan kata-katanya banyak membuat perempuan jatuh cinta.
"Suka?" ledek Agha.
Masayu terbatuk-batuk. Kalau pada Aday, ia hanya sebatas kagum. Kalau pada lelaki di sebelahnya ini baru berbeda. Ia sudah lama mengenal Agha. Sudah lama mengaguminya. Tapi hanya bisa berkeliaran di sekitarnya tanpa pernah bisa masuk ke dalam hatinya.
"Hari ini kita berdiri di tempat yang sama. Berharap dapat mengulang kebermanfaatan yang sama. Teman-teman ingat para leluhur kita sebelumnya?"
Ada membuka suara. Mengenang sejarah kelam namun membanggakan. Karena dengan sejarah itu lah, mereka bisa berada di sini. Dan hari ini, mereka ingin mengulang sejarah dengan harapan yang sama seperti leluhur mereka, yaitu membuat Indonesia lebih baik.
"Bukan sekali ini saja mahasiswa berdemonstrasi secara masif menggugat pemerintah atau DPR. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, sudah tiga kali terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran. Dua di antaranya mampu menumbangkan rezim yang tengah berkuasa. Kejatuhan itu pun punya persamaan, yakni dimulai dari pemimpin yang tidak mau mendengar aspirasi rakyatnya. Hidup mahasiswa!"
"Hiduuuuuppp!"
"Hidup rakyat Indonesiaaaa!"
"Hiduuuuupp!"
Gemuruh menggema di d**a. Agha jadi ikut bersemangat. Sementara itu, jauh dari kejauhan sana, tampak seorang lelaki berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pad akal mobil. Tampangnya sih keren meski ditutupi kacamata hitamnya. Ia baru kali ini menyaksikan demonstrasi mahasiswa di Indonesia seramai ini. Selama menjadi mahasiswa, ia mana pernah ikut berdemo? Kuliah saja di Inggris sana. Lalu hari ini malah ikut bertugas mengamankan karena kehadiran Agha di tengah-tengah mereka. Mereka sudah mendapat bocoran kalau akan ada sesuatu yang terjadi hari ini. Jangan tanya siapa biang keroknya. Menurut kalian, ketika ada yang membuka suara kebenaran maka siapa yang bergerak untuk membungkamnya?
Kemudian Humaira melanjutkan. "Teman-teman mungkin masih ingat, mungkin juga sudah lupa atau bahkan baru tahu. Kalau mahasiswa seperti kita ini memiliki peran yang sangat penting untuk negara. Seperti yang Kak Aday sebutkan tadi, mahasiswa mengukir sejarah dalam dua kali menggulingkan pemerintahan di negeri kita. Demonstrasi mahasiswa pertama terjadi pada awal 1966. Kala itu ribuan mahasiswa turun ke jalan, menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Protes ini berhulu dari tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965. Beberapa pentolan PKI terlibat dalam tragedi itu, tapi Presiden Sukarno tak berbuat apa-apa. Kemarahan rakyat telah merebak di mana-mana dan Presiden Sukarno tampaknya tidak punya solusi jitu untuk mengatasi masalah ini. Ditambah lagi, keadaan sosial ekonomi negara sedang terguncang akibat konfrontasi dengan Malaysia dan persoalan Irian Barat. Kekacauan politik yang dibiarkan berlarut-larut diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mencekik rakyat. Mereka menerbitkan kebijakan menaikkan harga sembako yang meroket 300 hingga 500 persen. Dan hari ini, kebijakan baru kembali mencekik rakyat, bukan hanya harga sembako yang dinaikkan tapi gencarnya impor sembako membuat petani kita yang sudah kecil semakin meringis bahkan menangis!"
Agha ikut bertepuk tangan. Tak sengaja ikut mengagumi seperti mata-mata lelaki lain yang menatap Humaira juga mendengar kata-katanya yang berapi-api. Wajah gadis itu juga tampak serius. Tak hanya Agah, Hanafi yang berdiri di kejauhan sana mengembangkan senyum. Andros? Cowok itu baru saja tiba dan bergabung dengan rekan-rekan BEM dan senyumannya sudah melebar seperti jalan tol.
"Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga-harga terus membubung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang. Muak dengan pemerintah yang tak becus, mahasiswa lantas menggalang demonstrasi sejak awal Januari 1966. Gelombang demonstrasi mencapai puncaknya pada 12 Januari 1966. Ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara untuk memprotes kenaikan harga, dan mendesak pemerintah agar meninjau kembali aturan baru terkait ekonomi yang justru menimbulkan dampak buruk bagi rakyat. Dalam setiap aksinya, para demonstran konsisten mengajukan tiga tuntutan rakyat atau tritura: pertama, bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, kedua, rombak Kabinet Dwikora, dan ketiga, turunkan harga. Saya yakin, teman-teman masih ingat soal-soal Tritura yang kerap masuk dalam ujian-ujian di sekolah kita dulu, semasa menengah ke atas. IYA ATAU BETUL?"
Teman-temannya tertawa.
"Tapi ternyata perjuangan itu belum cukup teman-teman. Karena pemerintah tetap bergeming dan berdalih semua itu butuh waktu. Tuntutan demonstran yang tidak segera dipenuhi, kemudian berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun takhta. Presiden Sukarno akhirnya memang merombak kabinet pada 21 Februari 1966. Tapi karena masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri yang dimasukkan dalam kabinet, mahasiswa pun turun ke lagi ke jalan. Unjuk rasa besar-besaran jilid kedua pun akhirnya meledak. Pada 24 Februari 1966, terjadi bentrokan antara demonstran melawan Resimen Cakrabiwara atau yang kita kenal sebagai pasukan pengawal presiden di depan Istana Negara. Dalam insiden itu, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI bernama Arif Rahman Hakim tewas tertembak."
Agha merinding. Ia juga pernah mendengarnya. Ketika OSPEK dulu, nama Arif Rahman Hakim disebutkan di fakultas mereka karena dedikasinya untuk negara melalui aksi demonstrasi. Siapa yang bilang kalau demonstrasi membuang waktu dan tenaga? Jika pada akhirnya akan bisa mengguncang tahta seorang pejabat paling tinggi sekalipun. Kecuali Tuhan.
"HIDUP MAHASISWAAAAAA!"
Ada langsung menyambutnya dengan seruan sambil menggalakan tangan ke atas. Kemudian diikuti dengan balasan para mahasiswa yang tidak kalah berteriak kencang.
"HIDUUUUUPP!"
"Sejarah kedua teman-teman!"
Andros merebut mikrofon. Aday terkekeh lantas membiarkannya ikut menambahkan sejarah yang hendak mereka ceritakan untuk menyemangati para mahasiswa hari ini.
"Pada 15 Januari 1974, Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Istana Negara. Pada saat bersamaan, ribuan orang yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia. Pimpinan aksi saat itu adalah Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Atas komandonya, para mahasiswa melakukan aksi jalan kaki dari kampus UI di Salemba, menuju Universitas Trisakti di Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat. Mereka mengajukan tiga tuntutan yang dinamakan Tritura Baru 1974, yang isinya: bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), turunkan harga, dan ganyang korupsi. Bagi para demonstran, modal asing yang beredar di Indonesia sudah berlebihan. Menurut mereka, Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang adalah bentuk imperialisme gaya baru. Ketika mahasiswa berunjuk rasa, terjadi aksi massa yang tak terkendali di wilayah Jakarta lainnya. Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen. Di sana massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun. Anehnya, sebagian besar polisi dan tentara Indonesia yang dikirim untuk berpatroli hanya berdiri dan menonton. Mereka hampir tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan para demonstran. Dan hari ini, kita melihat mereka di sana teman-teman!" ia menyeru lantas menunjuk ke arah pria-pria berseragam cokelat yang mendadak mendapat pusat perhatian lalu disorak bersamaan.
"HUUUUUUUUUUUUU!"
Andros tersenyum kecil. "Tapi pada sore harinya, peluru peringatan mulai ditembakkan ke udara. Lalu setelah malam tiba, aparat keamanan mulai bertindak kasar. Polisi mengangkut sekitar selusin demonstran ke sebuah kantor polisi terdekat. Bahkan ada seorang demonstran yang dipukuli di bagian belakang kepalanya. Demonstrasi dan kerusuhan masih membara hingga keesokan harinya. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sampai turun tangan menemui mahasiswa ke kampus UI di Salemba. Pada malam hari, Pak.Gubernur berbicara kepada para mahasiswa seraya menekankan bahwa jika demonstrasi terus berlangsung, korban dari pihak mahasiswa akan berjatuhan. Beliau pun mengajak Hariman ke TVRI. Lewat siaran televisi itu Hariman mengumumkan bahwa persoalan yang dihadapi mahasiswa sudah selesai. Imbauan Hariman mampu meredam aksi mahasiswa. Namun, malapetaka sudah kadung terjadi. Sebanyak 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan. Setelah peristiwa itu, Soeharto memecat Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib. Ia juga membubarkan lembaga Aspri dan Ali Moertopo dipindah tugas sebagai Wakil Kepala Bakin. Peristiwa ini juga berdampak buruk bagi kebebasan pers. Karena dianggap memberitakan Malari secara berlebihan dan memanaskan suasana, Harian Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times diberedel pemerintah. Selain itu, sebanyak 775 orang aktivis juga turut ditangkap." Lalu tatapannya beralih pada para lelaki berseragam cokelat itu. "HOOOI PAK POLISI! KITA DAMAI, PAK!"
Anak-anak kembali tertawa lantas bertepuk tangan kencang melihat kelakuannya. Humaira geleng-geleng kepala. Tak lama, Hanafi yang naik. Cowok itu mengambil mikrofon dari Humaira kemudian melanjutkan cerita yang sudah disampaikan teman-temannya.
"Terakhir, kejadian yang paling teman-teman ingat hingga hari ini. Yaitu reformasi 1998. Gerakan mahasiswa terbesar yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto. Gerakan ini bermula dari krisis ekonomi 1997 dan ketidaksigapan rezim Soeharto untuk mengatasinya. Gelombang aksi yang awalnya terjadi secara terpisah di beberapa kota, kemudian membesar sejak Maret 1998 seiring dengan pernyataan Soeharto bersedia dipilih lagi menjadi presiden. Sementara itu desakan reformasi lewat aksi-aksi protes meluas di seluruh daerah. Aksi itu digelar tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Tak jarang demonstrasi berujung bentrok. Aksi-aksi itu membuat Wiranto yang saat itu Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI, mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan agar.mahasiswa dan warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis karena memperburuk keadaan, juga memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional. Tapi hingga detik ini, saya tidak percaya kalau itu adalah aksi yang dilakukan oleh mahasiswa! Karena mahasiswa berdiri di sini untuk menyuarakan nurani rakyat dan membela kebenaran. Akan tetapi memang selalu ada konsekuensi di atasnya! HIDUP MAHASISWA!"
"HIDUUUUUPPP!"
"Lo lihat kan, Gha?"
Masayu mengalihkan perhatian Agha. Cowok itu reflek menatap Hanafi, Humaira dan Andros secara bergantian.
"Dua cowok itu tak sengaja bersaing. Keduanya sama-sama memiliki suara. Gue yakin. Kalau dipecah, lo akan punya kesempatan untuk naik. Ini namanya kontestasi, Gha. Bukan demi suara tapi kita sama-sama tahu kalau kedua cowok itu juga mumpuni. Jadi tidak ada istilah saling memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Ini hal lumrah. Lo lebih dari tahu. Maka itu, gue bukannya mau memaksa. Tapi kredibilitas Hanafi juga gak kalah sama Andros. Tinggal bagaimana kampanye nanti yang akan menentukan hasil akhir dari PEMIRA. Bisa elo yang menjabat atau Andros. Dan Humaira?"
Masayu mengalihkan tatapannya pada cewek itu.
"Tidak masalah dengan keberadaannya di mana pun. Mau di sisi Andros atau pun Hanafi."
Agha hanya berdeham mendengarnya.
"Wiranto menuding tindakan-tindakan yang ia nilai anarkis itu karena mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan. Sehingga, bukannya menurunkan tensi, mahasiswa justru semakin gencar berdemonstrasi menuntut reformasi. Kemudian terjadilah tragedi berdarah pada 12 Mei 1998. Lihat teman-teman kita dari Trisakti!" Hanafi menunjuk ke arah gerombolan almamater biru tua yang dikenakan oleh anak-anak Trisakti. Mereka langsung menyambut dengan antusias tutur kata Hanafi." Empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak kala aparat berusaha membubarkan demonstrasi di kampus tersebut. Esoknya, Jakarta dilamun kerusuhan besar. Akibat kejadian itu, ratusan manusia terpanggang di Toserba Yogya Klender dan di Ciledug Plaza. Gelombang besar mahasiswa lalu menduduki Gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998. Mereka berjanji akan bertahan di sana sampai tuntutan Sidang Istimewa segera dijalankan untuk memakzulkan Soeharto. Karena kian terjepit, Soeharto akhirnya tak bisa berbuat banyak. Pada 21 Mei 1998 ia menyatakan berhenti sebagai presiden. Kalian mendengar sendiri bagaimana kita sebagai mahasiswa memiliki peran yang besar untuk bangsa ini! Maka itu teman-teman, kita tunjukan pada mereka hari ini kalau aksi demontrasi itu bukan anarkisme melainkan bagian dari menjalankan demokrasi. Mereka yang berdalih dan menyebutnya sebagai aksi anarkis tak lain dan tak bukan adalah orang-orang yang anarkis untuk membungkam nurani sendiri!"
Ada kembali menyambut dengan seruan dan gelora smehata dari dalam d**a. "MARI TERIAK SEKALI LAGI, TEMAN-TEMAN! HIDUUUUUP MAHASISWAAAAAA!"
"HIDUUUUUUUUUUUUUUUP!"
@@@
Shiren mengamati kampusnya yang lengang hari ini. Agak-agak sepi. Ia jelas bingung. Memang hal semacam ini kadang kerap terjadi. Tapi ini bahkan bukan hari Sabtu. Kalau hari Sabtu kan, lebih banyak didominasi para mahasiswa pascasarjana yang berkuliah di sini. Tapi ini?
"Nyari Agha?"
Retno tertawa melihat ekspresi Shiren yang menyembunyikan roma merahnya. Yeah, tiada satu hari pun tanpa melihat Agha. Meski hari ini ai tak memiliki jadwal kuliah yang sama dengan Agha tapi bukan berarti tidak bertemu kan? Walau kampus ini memang sangat besar tapi....seharusnya ia masih akan menemukan Agha. Setidaknya mobil lelaki itu?
"Pada demo, Ren. Biasa lah. Lo kan tahu Agha kayak apa. Gak bakal ngelewatin hal-hal kayak gitu."
Aaaah. Shiren mengangguk-angguk. Pantas saja. Ia langsung membuka layar ponsel dan membuka aplikasi media sosialnya demi melihat Agha. Tapi tak ada postingan. Lalu beralih pada Masayu. Cewek itu kan yang selalu bersama Agha. Masayu rutin berkepo ria melalui akun Masayu demi mencari tau apa kesibukan Agha. Dan.....Masayu hanya merekam suasana demonstrasi hari ini. Tidak ada Agha yang masuk ke dalam rekaman kameranya. Shiren menghela nafas.
"Lo belum ngomong apapun kan ke Agha?"
Shiren mengangguk.
"Omongin aja, Ren. Gak apa-apa kali. Kalian kan udah di tahun terakhir. Agha pasti ngerti. Gue yakin, Agha itu punya komitmen."
"Tapi gue harus nunggu sampai kapan?"
"Makanya gue bilang, lo ngomong duluan. Jangan berpatokan karena cewek jadi harus selalu menunggu."
"Terus gue harus gimana?"
Retno terkekeh. Ia mengambil alih ponsel Shiren dan langsung menelepon Agha. Gadis itu tentu saja terkaget. Retno menahan tawanya. Namun ia melega ketika Agha tak mengangkat teleponnya.
"Lo gila, No!"
"Gila? Dari pada diem doang terus gak jadi apa-apa? Ya kan? Lo sendiri yang mau. Jadi lo harus gerak duluan, Ren. Mau sampai kapan menunggu?"
Shiren menghela nafas dengan gelisah. Jadi serba salah.
"Kirim pesan sekarang," titah Retno. "Lo mau menyesal suatu saat nanti karena gak pernah mau maju duluan untuk meminta kepastian sama Agha? Lo bilang, ini satu-satunya cara kan?"
Shiren menggigit bibirnya. Masih ragu. Tapi memang benar, ia tak punya pilihan lain. Hanya ini satu-satunya cara untuk urusan hatinya sendiri.
"Gue bilang apa?"
Retno kembali mengambil alih ponselnya lalu mengetik sesuatu di sana. Setelah Shiren membacanya dengan yakin, gadis itu mengirimkan pesan itu pada Agha sambil menutup mata. Was-was menunggu respon Agha akan pesannya yang datang tiba-tiba.
@@@