Keesokan paginya, Minah bangun pagi-pagi. Ia menuju ke dapur untuk membantu bibi yang bekerja di rumah itu. Minah merasa kebosanan karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Pagi Bi," sapa Minah tersenyum ramah.
"Pagi juga Non."
"Bi, kenalkan saya Minah. Panggil Minah saja ya Bi, karena saya bukan majikan di rumah ini," kata Minah menjabat tangan Bi Murni dan menciumnya takzim.
"Saya Murni Non. Panggil Bibik saja. Nggak papa Non, Non Minah kan tamunya Nyonya."
"Ya sudah deh terserah Bibi saja. Tapi jangan segan untuk meminta bantuan saya ya Bi. Saya terlalu bosan jika harus berdiam diri."
"Bi saya bantu ya? Apa ada yang bisa saya kerjakan?" tanya Minah benar-benar ingin membantu.
"Jangan Non, nggak usah biar saya saja," tolak Bi Murni.
"Ndak papa Bi. Saya sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Daripada saya bosan," kata Minah.
"Saya takut nanti saya dimarahi sama Nyonya, Non."
"Nggak akan Bi. Ya sudah saya bantu mengepel saja ya?" kata Minah bersemangat.
"Jangan, ya sudah bantu bibi ceplokin telur saja bisa Non?" kata Bi Murni terpaksa. Karena Rasti sudah berpesan agar ia memperlakukan Minah dengan baik.
"Bisa Bi, biar Minah kerjakan sekarang," kata Minah dengan mata yang berbinar.
"Non, nanti telurnya yang dua setengah matang ya? Ceplok tujuh butir ini," kata Bi Murni menjelaskan.
"Siap Bi." Minah memasak telur ceplok dengan penuh semangat.
Sementara Bi Murni memasak nasi goreng untuk sarapan. Minah tak banyak bertanya, hanya ikut membantu apa yang kiranya diperlukan. Minah juga membantu Bibi menyajikan makanan.
"Eh sayang, sudah bangun? Kamu ngapain?" tanya Rasti kebingungan melihat Minah sibuk menata meja makan.
"Tante, Minah bantu Bibi karena Minah bosan karena ndak ngapa-ngapain," jawab Minah menjabat tangan Rasti dan menciumnya. Rasti begitu bahagia melihat sikap Minah yang sopan dan manis.
"Ya ampun ... rajin banget sih kamu. Sebenarnya nggak usah sayang. Kamu cukup duduk diam saja di rumah."
"Ndak papa Tan, Minah seneng kok."
"Ya sudah, sini mari kita sarapan bersama."
"Minah sarapan sama Bi Murni saja ya Tan," pinta Minah menyadari jika anak-anak Rasti pasti tidak menyukainya. Apalagi jika ia sampai ikut sarapan bersama.
"No! Tante tidak menerima penolakan apa pun," kata Rasti kekeh.
"Ta-tapi Tan ...." Ucapan Minah terhenti karena tiba-tiba Rasti memaksanya duduk di sebuah kursi di meja makan itu.
Dari lantai atas terlihat Rachel menuruni tangga dengan menyandang tas sekolahnya. Dan dari kamarnya, Raditya juga sudah keluar dengan seragam yang sama dengan Rachel. Tak lama Dimas juga menyusul dengan pakaian kerjanya yang rapi.
Mereka duduk mengitari meja makan. Ada raut tak suka terpancar dari wajah Radit dan Rachel melihat Minah makan pagi bersama mereka. Terlebih Radit harus duduk berhadapan dengan Minah.
Tersedia berbagai macam makanan tersedia di meja. Ada nasi goreng, telur ceplok dan roti buah juga s**u. Minah sangat heran karena mereka hanya berempat, berlima dengan dirinya tapi begitu banyak makanan yang dihidangkan pagi itu.
"Kalau di rumah, ini bisa untuk makan dua hari," batin Minah.
Suasana meja makan begitu dingin, walau di meja itu duduk anggota keluarga lengkap. Minah merasakan aura gelap di dekatnya. Pandangan tak suka mengelilinginya. Terlihat sorot mata tajam Raditya dan Rachel tak henti mengintimidasi. Minah jadi bisa menyimpulkan anak-anak Om Dimas dan Tante Rasti benar-benar tak menyukainya.
"Radit, Rachel kenalkan ini Yasminah anak teman Mama dan papa. Kalian bisa panggil Minah ...," kata Rasti terhenti melihat kedua anaknya menahan tawa.
"Pfft ...." Raditya dan Rachel kompak menertawakan nama Minah.
"Kenapa kalian tertawa? Ada yang lucu?" tanya Dimas marah.
"Habis namanya katrok amat. Minah, apaan itu? Bagusan nama pembantu kita Bi Murni. Lihat juga penampilannya rambut dikepang dua. Pakaiannya euuh nggak banget, kumal," kata Raditya tak sopan. Minah menatap baju yang ia pakai benar saja kumal.
"Radit, Papa tak pernah mengajari kamu untuk tidak sopan. Manusia itu dilihat dari hati bukan nama dan penampilannya," bentak Dimas. Raditya sedikit marah namun enggan membalas perkataan ayahnya yang selalu berakhir cek-cok dengannya. Ia acuh tak acuh melanjutkan sarapannya.
"Kalian dengar, untuk sementara waktu Minah akan tinggal bersama kita sampai ayahnya menjemputnya," kata Dimas.
"Uhuk ... uhuk ..." Raditya yang kaget mendengar ucapan papanya menjadi tersedak. Buru-buru Rachel mengambilkan kakaknya minum dan menepuk punggung kakaknya. Hal yang jarang terjadi karena biasanya Raditya dan Rachel tak pernah bisa akur.
"Dia juga akan sekolah di sekolah yang sama dengan kalian." Ucapan Dimas membuat Raditya dan Rachel semakin marah. Wajah Raditya memerah menahan amarah, tangannya mengepal erat seakan ingin meninju sesuatu.
"Tapi Om," protes Minah langsung dipotong oleh Dimas. Dimas tak memberi izin untuk Minah berkomentar.
"Minah ...." Dimas menyuruh Minah diam.
"Ih Papa ... Rachel nggak mau satu sekolahan sama cewek katrok kayak dia," rengek Rachel manja.
"Kenapa Nak? Minah anak baik kok," bujuk Rasti.
"Pa, Raditya nggak peduli Papa bawa orang asing pulang ke rumah. Dan terserah mau Papa sekolahin kek, gimana kek. Tapi Radit nggak setuju dia sekolah di sekolah kami." Raditya menyatakan keberatan.
"Kenapa kamu ikut-ikutan kayak Rachel Nak?" tanya Rasti.
"Dia katrok, nggak sesuai sekolah ditempat yang elit kayak sekolah kami," jawab Raditya pedas.
"Radit, keterlaluan kamu! Ini keputusan Papa. Nggak ada yang bisa menentang keputusan Papa," kata Dimas dengan tegas.
Raditya membanting sendok dan garpu yang tadi ia pegang dan meraih ransel sekolahnya, meninggalkan meja makan karena marah. Makanan yang diambilnya bahkan baru dimakan sedikit.
"Radit!" bentak Dimas namun Raditya tak menggubrisnya dan tetap pergi.
"Raditya, sayang. Habiskan dulu sarapanmu Nak," panggil Rasti dengan lembut. Namun anak lelakinya tetap tak berhenti.
"Radit, kenyang Ma. Nggak nafsu makan lagi." Raditya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arah anggota keluarga lain yang masih di meja makan.
Sedangkan Rachel Ingin sekali rasanya mengekori kakaknya. Ia juga tak suka dengan Minah, si gadis katrok. Tapi Rachel hanya bisa diam dan segera menghabiskan sarapannya. Ia tak berani melawan. Ia masih sayang dengan kartu kredit yang diberikan papanya. Rachel terlalu takut jika papanya akan menarik fasilitas mewah yang sudah terbiasa ia nikmati.
"Sudah Pa, sabar," Rasti mencoba menenangkan Dimas yang emosi.
"Maaf ya Om, Tante. Gara-gara saya ...," ucap Minah merasa sangat bersalah.
"Bukan salah kamu nak," bela Rasti.
Minah hanya menunduk dalam-dalam merasa bersalah telah menyebabkan pertengkaran ayah dan anak itu. Sedangkan Rachel menatap tajam ke arah Minah dengan penuh kebencian.
"Gara-gara kamu papa dan kak Radit berantem lagi, awas saja kamu Minah," batin Rachel geram.