"Iya, kamu tinggal di sini saja. Rumah kami ini terlalu sepi. Jadi dengan adanya kamu di sini, Om harap dapat membawa keceriaan dirumah ini." Dimas ikut menimpali perkataan istrinya.
"Apa maksud Om ini ya? Memangnya Om dan Tante ini belum punya anak?" batin Minah penasaran.
"Oh ya kenalkan saya Dimas, suami Tante Rasti. Kamu panggil Om saja." Dimas mengulurkan tangan ingin berkenalan dengan Minah. Namun apa yang dilakukan Minah membuat hati Dimas terenyuh. Minah mencium punggung tangannya. Hal yang bahkan tak pernah dilakukan oleh putra dan putrinya.
"Terimakasih Om, sudah banyak membantu saya. Saya tak tahu apa yang akan terjadi, jika anda tak menolong saya. Sekali lagi terimakasih Om," ucap Minah tulus.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Eh, Om lihat kamu sangat muda. Kamu masih bersekolah?" Pertanyaan pria paruh baya itu menyentil perasaan Minah. Minah yang sebenarnya juga ingin bersekolah seperti teman sebayanya.
"Em ... sebenarnya Minah juga pengen sekolah seperti teman-teman yang lainnya. Tapi karena Bapak Minah ndak mampu menyekolahkan, akhirnya Minah putus sekolah Om," ucap Minah sedih. Dimas yang akhirnya paham dengan situasi yang dihadapi Minah mengangguk mengerti.
"Ya sudah kamu tinggal disini aja dulu, kalau kamu berkenan. Kamu istirahat saja dulu ini sudah malam. Kami tinggal ya Nak." Dimas beserta Rasti keluar dari kamar Minah akan beristirahat juga.
Sepeninggal dua orang itu Minah tak hentinya bersyukur. Ternyata masih ada orang baik yang bersedia menolongnya. Ia banyak berhutang budi pada pasangan suami istri tersebut.
Tapi ketika ia mengingat bagaimana nasib bapaknya sekarang, Minah jadi sedih lagi. Dimanakah bapaknya kini berada? Minah berharap bapaknya baik-baik saja.
Kruyukk
Perut Minah yang seharian belum diisi apa pun kini terasa lapar dan perih. Ingin ia meminta makanan pada orang yang menolongnya, tapi Minah segan dan malu. Rasanya ia seperti tak tahu malu, jika melakukannya. Akhirnya Minah mencoba memejamkan mata dengan perut lapar. Karena lelah, tak butuh waktu lama ia sudah terlelap ke dalam mimpinya.
"Ma, apa Mama setuju kalau Minah kita sekolahkan? Entah mengapa Papa merasa dia anak baik dan Papa juga kasihan melihat kondisi Minah," kata Dimas hati-hati takut menyinggung istrinya.
"Tentu Pa, Mama setuju." jawab Rasti bahagia memeluk tubuh suaminya.
"Besok Mama tolong carikan sekolah buat Minah ya?" pinta Dimas lembut.
"Nggak perlu Pa. Kita sekolahkan saja Minah di sekolah Radit dan Mika," kata Rasti masih tersenyum senang.
"Tapi apa mereka akan menyetujuinya Ma? Papa takut mereka akan marah," ucap Dimas tahu betul sifat anak-anaknya.
"Sudah, Papa percayakan saja sama mama," ucap Rasti memikirkan suatu rencana.
"Oh ya Pa, besok kita kenalkan Minah sebagai anak sahabat kita dari desa yang dititipkan sementara di sini, okay?" Rasti mengedipkan mata penuh arti kepada suaminya.
"Iya, atur saja semuanya Ma, Papa sih ikut kata Mama saja. Tidur yuk! Sudah malam." Dimas mematikan lampu kemudian melingkarkan tangan di perut istrinya bersiap memejamkan mata yang sudah terasa sangat mengantuk.
***
Keesokan paginya.
Minah terbangun di dini hari, ia keluar kamarnya untuk mencari kamar kecil. Minah terperangah melihat luasnya rumah itu dalam temaram, karena semalam ia pingsan ketika memasuki rumah itu. Jadi baru sekarang ia sadar jika Rasti dan Dimas begitu kaya. Rumahnya saja sebesar lapangan bola di desanya.
Minah bingung dimana kamar mandi dirumah itu. Sebenarnya ia ingin menunggu sampai pagi menjelang, tapi ia sudah tak bisa lagi menahan untuk buang air kecil. Minah terpaksa berjalan dalam kegelapan karena hari masih dini hari, adzan subuh juga belum berkumandang. Ia takut mengganggu penghuni rumah jika ia menyalakan lampu.
Ia meraba-raba mencari keberadaan kamar mandi. Namun ketika ia melangkah ke ujung lantai satu ia menabrak seseorang.
Duak
"Aduh ...." Minah kesakitan setelah terpental.
Orang yang menabrak Minah sama terkejutnya dan menjadi waspada dan mencurigai sosok di depannya. Ingin ia teriak, namun ia mempunyai ide yang lebih cemerlang. Ia menarik tangan Minah dan memelintirnya. Dibukanya lampu hingga seluruh ruangan terang benderang. Ia semakin yakin ada pencuri yang memasuki rumahnya ketika melihat wajah asing Minah.
"Kamu masih muda sudah jadi pencuri ya?" tuduh Radit.
"Aduh, tolong lepaskan saya. Saya bukan pencuri," kata Minah meringis kesakitan.
"Mana ada pencuri yang mau mengaku. Aku akan bawa kamu ke kantor polisi," kata pemuda itu lagi.
"Jangan, saya benar-benar bukan pencur." Minah terisak ketakutan karena ancaman Radit. Dalam hati ia berdoa agar Rasti dan Dimas segera datang.
"Ma! Pa! Ada pencuri," teriak pemuda itu tak mau melepaskan tangan Minah barang satu inci pun. Suara pemuda itu menggelegar memenuhi ruangan yang cukup luas itu.
Rasti dan Dimas yang terkejut mendengar teriakan putranya segera keluar menuju sumber suara. Mereka tergopoh-gopoh menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Begitu juga dengan gadis yang kelihatannya seumuran dengan Minah, juga turut bangun dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Lihat Ma ... Pa, Radit menangkap pencuri," kata Raditya semakin mengeratkan cengkeramannya. Minah semakin malu karena dituduh sebagai pencuri.
"Radit, lepaskan!" bentak Dimas ketika mengetahui Minah disebut sebagai pencuri.
"Maksud Papa apa?" tanya Raditya kebingungan.
"Dia tamu Papa dan Mama, jaga kelakuan kamu!" Ucapan Dimas membuat Radit marah sekaligus malu. Raditya segera melepaskan tangan Minah dan meninggalkan tempat itu begitu saja tanpa kata.Laki-laki itu kembali ke kamarnya dengan perasaan kesal. Rachel, adik Raditya ikut masuk ke kamar setelah menyaksikan drama yang menurutnya membosankan. Kini tinggal sepasang suami istri itu dan juga Minah di tempat itu.
"Kamu nggak papa sayang? Maafkan putra kami ya sayang," kata Rasti dengan lembut.
"Iya Tante nggak papa." Minah memegang pergelangan tangannya yang terasa sakit.
"Ini masih dini hari Nak. Kamu kenapa ada disini?" tanya Minah lembut.
"Emm ... itu Tan, saya ingin ke kamar mandi tapi saya tak tahu dimana kamar mandinya," kata Minah canggung.
"Oh, maaf. Tante lupa bilang, kamar mandinya disana sebelah kamar Raditya," ucap Rasti membuat Minah bergidik karena ia merasa anak laki-laki Tante Rasti menatap dengan tak suka.
"Tapi ada yang lebih dekat dengan kamar kamu. Di sana dekat dapur." Tante Rasti menunjuk ke arah kanan dekat dapur.
"Iya Tan. Maaf ya malam-malam sudah membuat keributan," kata Minah merasa tidak enak hati.
"Nggak apa-apa. Semua hanya salah paham. Sana segera ke kamar mandi dan kembali ke kamar tidurmu lagi. Masih terlalu awal untuk bangun," perintah Rasti lemah lembut. Minah mengangguk dan berlalu menuju kamar kecil karena tak tahan ingin buang air kecil.
Rasti dan Dimas juga segera kembali ke kamar mereka untuk tidur lagi karena masih sangat mengantuk.
"Minah, kenapa kamu menyusahkan mereka dan membuat keributan?" Minah merutuki dirinya sendiri karena merasa bersalah.