Bab 2

1038 Kata
Penjual itu kemudian berbalik menghadap Keiya Kondoh. Keiya berusaha menunjukkan tampang garang tapi, itu bukan pembawaannya. Ia sedang menghadapi momen ketakutan para pembunuh, penebusan dari semua kejahatannya atas umat manusia kepada Tuhan. “S‐siapa kau?” tanya Keiya. Penjual itu membuka pintu belakang van tadi. Dengan tenang ia menaruh senjata dan batang besi tadi, lalu mengambil sabuk kulit tebal. Ia melingkarkan sabuk itu pada buku-buku jarinya. “Kau bermimpi?” tanya penjual itu. “Apa?” “Apa... kau... bermimpi ...?” Keiya Kondoh merasa kelu. Bagi detektif Nakamoto Yuta dari unit pembunuhan Kepolisian Kadoma, jawaban itu adalah titik perdebatan. Ia telah melacak Keiya Kondoh sekian lama dan telah menggiringnya ke momen ini dengan ketepatan dan kehati-hatian, satu skenario yang telah menjajah mimpinya. Keiya Kondoh memerkosa dan membunuh gadis berumur tiga belas tahun bernama Wakitori Mina di Oeda Park dan kepolisian telah menyerah dalam memecahkan kasus ini. Itulah pertama kali Keiya membunuh korbannya dan Yuta tahu bahwa sukar membuatnya keluar. Yuta telah merelakan sekian ratus jam kehidupan pribadinya dan sekian banyak jam tidur untuk mengantisipasi detik-detik ini. Dan sekarang, saat fajar tinggal menjadi gosip murahan di Kota Kadoma ini. Saat Nakamoto Yuta melangkah ke depan dan mengarahkan tinju pertamanya, jerih payah itu berbuah juga. Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di ruang gawat darurat bertutup tirai di rumah sakit. Keiya berdiri di tengah, Yuta di satu sisi, satu staf magang bernama Kento Hasama di sisi satunya. Keiya punya satu benjolan di dahi lumayan besar dan berbentuk mirip buah Ume busuk, bibir berdarah, wajah memar ungu gelap, dan mungkin juga hidungnya patah. Mata kanannya hampir tertutup karena bengkak, bagian depan kemejanya yang sebelumnya berwarna putih kini dipenuhi darah hingga terlihat kecoklatan. Saat memandangi pria itu dipemalukan, direndahkan, dihina, ditangkap. Yuta memikirkan mitranya di bagian pembunuhan, sosok setegar besi bernama Moon Taeil. Taeil pasti akan menyukai ini, Yuta membathin. Taeil suka karakter-karakter yang selalu dimiliki Osaka. Profesor-profesor jalanan, napi-napi pecandu, para p*****r dengan hati mulia. Tetapi, yang terutama detektif Moon Taeil gandrung menangkap penjahat. Semakin busuk sang durjana, semakin bersemangat Taeil memburunya. Tak ada yang lebih busuk ketimbang Keiya Kondoh. Mereka telah melacak Keiya melalui jalan tikus berliku dari para informan, membuntutinya via sisi terkelam dunia malam klub seks dan lingkaran pornografi anak-anak Osaka. Mereka telah mengejar dengan tujuan dan fokus yang sama, serta intensitas tinggi seperti saat mereka keluar dari akademi kepolisian, berpuluh tahun silam. Moon Taeil menyukai cara seperti itu. Itu membuatnya seperti anak-anak lagi, ujarnya. Di masa lalu, Taeil pernah tertembak dua kali, sekali diterjang mobil, dipukuli berkali-kali tetapi, tiga kali operasi jantung yang akhirnya menaklukannya. Saat Nakamoto Yuta berurusan dengan Keiya Kondoh, Moon Taeil sedang beristirahat di ruang pascaoperasi di rumah sakit Obei, dengan tabung dan selang tertancap di tubuh seperti ular-ular medusa. Berita bagusnya adalah Taeil kelihatan membaik. Berita buruknya adalah Taeil beranggapan ia akan kembali pekerjaan. Padahal, tidak demikian. Tidak ada yang bisa kembali bekerja setelah menjalani tiga kali pembedahan. Tidak di usia dua puluh. Tidak di unit pembunuhan, tidak di Osaka. Aku kangen padamu, bear, bathin Yuta. Memahami bahwa ia akan bertemu mitra barunya nanti siang. Yuta ada di sana ketika Taeil kolaps, tanpa daya. Mereka sedang berdiri di dekat meja kasir di kedai milik Hisho, tempat kecil yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi dan layak untuk berdagang ramen dan miso. Yuta sedang menambahkan bubuk lada hitam ke dalam mangkuk ramennya, sementara Taeil menggoda Ami, sang pramusaji, gadis muda elok berkulit bak bulu angsa, minimal berjarak tiga generasi dari Taeil. Ami adalah alasan tunggal mereka mampir ke kedai Hisho, jelas-jelas bukan lantaran makanannya. Satu menit berlalu saat Taeil menyandarkan tubuh pada meja dan gadis muda itu meladeninya. Senyum Taeil sangat lebar, pada menit berikutnya Taeil sudah terkapar di lantai, dengan wajah memancarkan kesakitan, tubuh kaku, jari-jari tangan yang seperti hendak mencakar. Yuta merekam kejadian itu dalam benak, seperti yang ia lakukan untuk beberapa orang lain dalam hidupnya. Selama lebih dari dua lima tahun di kepolisian, ia hampir menganggap lagak heroik dan keberanian sembrono dari orang-orang yang dicintai dan dihormatinya sebagai rutinitas. Ia bahkan bisa menerima aksi brutal tak beralasan yang dilampiaskan pada orang tak dikenal. Hal-hal semacam ini telah menjadi bagian dari pekerjaan, bayaran mahal untuk keadilan yang dicari. Itu adalah saat-saat kemanusiaan paling kejam dan kelemahan manusia namun, ia tidak bisa mengenyahkan bayangan tubuh dan jiwa korban yang terkhianati. Ketika melihat pria besar itu meringkuk di lantai kedai makan itu, tubuh Yuta dipenuhi aroma kematian, jeritan yang tertahan memenuhi rahangnya. Ia mafhum bahwa ia tidak akan bisa memandang Moon Taeil dengan cara yang sama lagi. Seperti yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan ia akan mendengar semua kisah gila-gilaannya, mengagumi kelihaian dan kemahiran Taeil di balik alat pemanggang di hari minggu yang terik dan ia pasti mau tanpa sedikit pun keraguan. Meski hal tersebut memenuhi pikiran Yuta bercampur rasa malu dan sesal, demikianlah kenyataan pada malam panjang dan mengerikan itu. Namun, kenyataan malam ini memberikan satu keseimbangan dalam benak Yuta, satu simetri tipis yang ia tahu akan membawa kedamaian untuk Moon Taeil. Wakitori Mina sudah mati dan Keiya Kondoh bakal mendapat balasan setimpal. Keluarga korban sedang tercabik oleh duka mendalam tapi, kali ini pembunuhnya telah meninggalkan DNA dalam bentuk rambut kemaluan warna kelabu yang akan membuatnya dikirim ke ruang kecil berkeramik dingin. Di sana Keiya Kondoh akan bertemu dengan jarum dingin jika Yuta berkehendak. Tentu saja, sistem peradilan yang ada memberi peluang fifty-fifty bahwa jika terbukti, Keiya akan mendapatkan hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan bebas bersyarat. Jika itu yang menjadi hasilnya, Yuta kenal orang-orang di penjara yang mau menyelesaikan pekerjaan itu. Ia hanya perlu bicara sedikit, bagaimana pun caranya, Keiya Kondoh sudah terperosok sangat dalam. “Tersangka jatuh di tangga beton ketika berusaha menghindari penangkapan.” Yuta memberikan penjelasan kepada dokter Hasama. Kento Hasama mencatatnya. Ia mungkin masih baru bekerja di rumah sakit itu tapi, berasal dari keluarga Hasama. Ia paham bahwa sering pemangsa seksual sangat ceroboh mudah tersandung dan jatuh. Terkadang mereka bahkan sampai patah tulang. “Benar begitu, Tuan Kondoh?” tanya Yuta. Keiya Kondoh hanya menatap lurus ke depan. “Benar begitu, Tuan Kondoh?” Yuta mengulangi lagi. “Ya,” jawab Keiya. “Katakanlah.” “Saat sedang berlari menghindari polisi, aku jatuh di tangga beton dan mendapatkan luka-luka ini.” Kento juga mencatat pengakuan ini. Nakamoto Yuta bertanya, “Apakah menurut anda luka-luka Tuan Kondoh cocok dengan jatuh dari tangga beton, Dokter?” “Tentu saja,” Jawab Hasama. Menulis lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN