Sepuluh tahun berlalu.
Rasanya tak ada yang berubah darinya. Ia masih Shilla yang dulu. Yang tak pernah tersenyum saat bercermin. Bedak pun hanya memakai seadanya. Benar-benar tak ada usaha untuk memeprcantik diri. Namun wajah alami itu justru yang memikat banyak orang. Apalagi kalau ia sudah mengurai rambutnya seperti pagi ini. Sebetulnya, bukan gayanya. Karena biasanya selalu ia ikat. Namun karena masih basah, terpaksa ia biarkan.
Stelannya pagi ini pun monoton seperti biasanya. Walau memang jauh lebih modis dibandingkan saat masih menjadi dokter umum. Tentu dengan kemeja panjang dan celana bahan yang amat formal dengan potongan lurus. Ia keluar dari kamar dengan menenteng jasnya. Bukan jas putih dokternya. Ini blazer yang membuat tampilannya lebih modis. Ah ya, tak lupa tas dengan harga puluhan juta. Ini masih jauh lebih murah dibandingkan punya umminya.
"Loh? Gak sarapan?"
Karena ia tak berbelok ke meja makan. Malah berjalan menuju ruang tamu. Sementara umminya, abinya, dan saudara kembarnya sedang sarapan pagi ini.
"Ada pasien!"
Jawaban yang sebetulnya umminya pasti sudah tahu juga kan?
Umminya menghela nafas. Selalu melewatkan sarapan adalah khas Shilla. Ia berangkat dengan mobilnya. Tentu melewati jalanan menuju rumah sakit di Jakarta. Ah ya, ia bekerja di tiga rumah sakit saat ini. Rumah sakit pertama ya RSUD yang ada di Jakarta Selatan. Itu rumah sakit yang sama sejak ia memulai koas. Ia masih betah di sana karena diminta bantu. Rumah sakit kedua dan ketiga tentu saja milik omnya yang ada di Jakarta dan Depok.
Ia sengaja bekerja segila itu. Bahkan merambat menjadi dosen juga hanya agar bisa lupa dengan kegaluan hatinya. Hanya untuk mencegah ingatan tentang lelaki itu muncul. Sepuluh tahun berlalu dan belum ada penggantinya?
Oh betul. Ia tak pernah dekat dengan satu lelaki secara istimewa sejak sepuluh tahun lalu. Memilih fokus mengejar cita-cita yang katanya sekarang berlebihan. Karena ia merambat ke banyak pekerjaan yang membuat kedua orangtuanya tentu gerah.
"Kapan nyari jodohnya?"
Istrinya hanya bisa tertawa. Rumah ini sudah sepi. Bayangkan, dari tujuh anaknya, tersisa 2 anak yang belum menikah. Kembaran pula yang usianya jelas sudah sangat matang, yaitu 32 tahun. Matang sekali bukan?
Keduanya baru saja melepas kepergian anak lelakinya yang juga sibuk ke kantor dan tentu saja menggantikan sang abi yang sudah pensiun untuk memimpin perusahaan.
"Shilla!"
Dan ada satu lagi yang setia bekerja di runah sakit ini selain dirinya. Siapa?
"Dokter!"
Shilla yang baru keluar dari mobil itu jelas langsung tertawa. Cowok itu kan melambaikan tangan ke arahnya. Biar bisa minum kopi bersama sebelum memulai rutinitas. Tapi malah sudah dipanggil. Ia menaruh kopi yang dibelinya di atas meja resepsionis dan memberi kode pada Shilla untuk mengambil jatahnya. Gadis itu hanya mengangguk dari jauh.
Pagi ini, memang ada pasien yang harus ia datangi. Pasien yang baru datang semalam dan sudah dijanjikan akan didatangi oleh dokter pagi ini. Tentu saja dokter yang dimaksud adalah didinya.
"Keluhan semalam hanya sesak nafas dan sempat susah tidur, dok. Tapi sudah diberikan obat."
Si perawat langsung mendatanginya begitu melihatnya datang. Ia hanya sempat menaruh kopi panas itu dan tasnya. Kemudian memakai jas putih kebanggaannya. Ya berjalan menuju ruang rawat bersama timnya. Tentu ada perawat, dokter umum, dokter residen, dan dokter bedah umum. Walau belum lama menyandang spesialis, mungkin sekitar 2 tahun, ia sudah dipercaya untuk turut menjadi dokter utama di sini. Ya kecuali di rumah sakit om-nya tentunya. Lebih banyak dooter senior di sana.
Rutinitas paginya seperti ini. Setelah bertemu pasien, ia pergi ke ruang rapat karena memang ada rapat. Rapat biasa antar dokter untuk menentukan penanganan terbaik bagi para pasien. Tak berbeda jauh konsepnya dengan rumah sakit omnya. Yang membedakan hanya fasilitas rumah sakit. Ya wajar lah. Ini kan rumah sakit pemerintah. Setidaknya bisa bersaing dengan rumah sakit swasta di sekitarnya.
Usai rapat, tim tidak langsung bubar karena tahu-tahu ada yang masuk ke ruangan mereka. Siapa? Barisan dokter koas hingga residen baru di sini. Ia hampir menyemburkan tawa saat melihat mereka. Kenapa?
"Inget masa lalu ya?"
Dokter di sebekahnya berbisik. Ia terkekeh. Betul sekali. Saat menjadi loas di sini, ia juga mengalami hal semacam ini. Memang amat memalukan menjadi pusat perhatian. Satu per satu memperkenalkan diri. Beberapa dokter muda jelas tertarik melihat salah satu di antara mereka yang tampak cantik sekali. Bahkan Shilla juga sempat terpukau dengan kecantikannya.
"Nama saya Sofiya, residen tahun pertama bedah jantung."
Banyak yang berseru begitu mendengar gadis itu mengenalkan diri. Yang tentu saja disambung omelan para dokter senior yang sudah kakek-kakek. Hahahaha. Ya namanya juga anak muda apalagi ada yang cantik kan? Shilla geleng-geleng kepala saja. Ia keluar lebih dulu tanpa menunggu karena harus bersiap untuk operasi. Tanpa tahu kalau ada yang menatapnya dari jauh.
Ia masuk ke ruang operasi sekitar 20 menit kemudian. Lantas kapan keluarnya?
"Shilla belum selesai?
Kira-kira tiga jam setelah gadis itu masuk, sahabat dekatnya ini mendatangi ruang operasi.
"Oh barusan keluar, dok!"
Ia mengangguk. Kalau begitu, tujuannya berganti menjadi ruangan Shilla. Tanpa tahu kalau gadis itu baru saja masuk ke dalam ruangannya. Yeah mencarinya untuk mengajak makan siang bersama sebelum ia berpindah ke rumah sakit lain.
"Pret, dokter Ali mana?"
"Oh tadi eung makan kali, dok?"
"Oh...oke. Makasih ya?"
Si perawat yang masih berdiri di depan ruangan dokter Ali itu mengangguk. Tak lama mulai deh berbisik-bisik soal kedekatan Shilla dan Ali pada yang lain.
"Ah lo baru tahu? Mereka sih udah lama!"
Maklum staf baru pasti belum tahu kedekatan keduanya sejak sepuluh tahun lalu. Sementara Shilla sudah berjalan menuju kantin walau tak lama....
"Dokter Shilla!"
Ada yang memangilnya. Ia membalik badan dengan cepat. Itu respon alamiahnya. Keningnya mengerut begitu mendapati dokter baru paling cantik yang baru memulai karirnya di sini sebagai residen tahun pertama.
"Eung....mungkin dokter Shilla gak ingat sama saya," tukasnya. Ia mencoba berjalan mensekat untuk memperkenalkan diri lagi. "Kenalin, saya Sofiya, dok. Dulu dokter pernah datang ke SMA saya yang juga SMA dokter beberapa kali untuk mengajar anggota PMR terkait dasar-dasar medis," ujarnya.
Shilla ber-ah ria walau sungguh, ia benar-benar lupa. Hahahaha. Ya bagaimana bisa ingat sih? Wong itu sudah berlalu sekitar 5 hingga 6 tahun lalu? Ia memang sempat datang beberapa kali dalam setiap tahunnya. Tapi sejak fokus jadi residen untuk menggapai gelar spesialis, ia melepaskan karir itu dan menyerahkannya pada adik kelasnya. Dan ia tentu tak ingat Sofiya ini yang mana karena mengingat yang ikut PMR itu kan banyak. Apalagi bukan hanya satu angkatan waktu itu.
"Mohon kerja samanya dok. Karena saya juga masuk--"
"SHILLAAAAA!"
Yang mencari-carinya akhirnya melihatnya. Ia balas melambaikan tangan dengan ceria. Kemudian tatapannya kembali teralihkan pada perempuan di depannya ini.
"Ya sama-sama ya? Saya ke sana duluan!"
Ia berpamitan. Sofiya mengangguk lemah. Matanya memincing melihat kedekatan Shilla dengan lelaki yang baru saja menjajari langkahnya. Keduanya berjalan bersama menuju kantin. Tampak akrab sekali. Mereka dekat?
Namun ia tak dapat jawabannya. Karena sudah dipanggil oleh senior. Entah wejangan apalagi yang akan ia terima. Dari pagi, banyak yang mengerumuninya karena penasaran. Ya dengan wajah cantik ini, apakah masih jomblo?
"Sofiya udah ada calonnya kali, dok. Bahkan mau nikah kan, Sof?"
Ia hanya tersenyum ketika temannya sesama residen baru di sini menyerocos untuk memperjelas statusnya di hadapan para dokter senior. Dokter senior muda tentunya. Wajah-wajah mereka jelas berubah saat mendengar itu. Mendadak sok sibuk dan pergi begitu saja sementara teman Sofiya itu tertawa terbahak.
"Mereka cuma mau cari muka."
Ia hanya tersenyum tipis. Ya terserah lah pada para lelaki itu. Ia tak perduli. Ia sudah punya kelasih tentunya dan berharap tahun ini segera menikah.
Nanti jadi kan jemput aku, kak?
Ia mengirim pesan. Namun tak sempat menunggu balasannya karena mendadak sudah dipanggil oleh dokter lain. Kali ini tentu saja untuk mulai bekerja. Menajdi residen tahun pertama jelas tak mudah. Banyak hal yang harus ia kerjakan. Sementara Shilla?
Masih tertawa di kantin. Tawa lepas. Satu-satunya orang yang bisa sedikit menghilangkan kerisauannya ya lelaki ini. Walau hubungan mereka jelas menjadi banyak pertanyaan bagi yang lain. Mungkin kah hanya berteman? Apalagi mereka tahu kalau Shilla rak bisa seterbuka itu pada semua orang. Meski nyatanya memang tak pernah ada yang lebih dari sekedar teman.
Sementara seseorang di tempat lain, tampak memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong.
@@@
Catatan:
PMR : Palang Merah Remaja