Bertempat di sebuh resto cepat saji yang telah disulap sedemikian rupa menjadi arena pesta anak-anak. Bahkan yang Ana tebak, resto ini pasti telah di booking oleh papanya Zeva, mengingat tidak adanya pengunjung lain, kecuali para tamu undangan yang kebanyakan adalah anak-anak dengan didampingi orangtua atau para pengasuhnya. Ana sendiri datang ke acara ini juga bersama beberapa rekannya yang memang juga diundang oleh si pemilik acara.
"Miss Ana, terima kasih karena sudah datang!" sapa seorang lelaki yang Ana sudah kenal merupakan papanya Zeva.
Saat ini Ana memang sedang duduk seorang diri sembari memperhatikan keramaian acara. Kebetulan saat datang tadi, papanya Zeva sedang mengobrol dengan tamu yang lain, sehingga baru sekarang sempat menyapa.
"Sama-sama, Pak."
"Zeva pasti senang sekali karena Miss Ana hadir di acara ini. Lihatlah betapa Zeva sangat bahagia karena dapat merayakan ulang tahunnya bersama teman-teman."
Ana memperhatikan Zeva yang hari ini tampak cantik sekali. Senyum juga tak lepas dari bibir mungilnya. Menyadari sedang diperhatikan, Zeva melambaikan tangan yang dibalas senyuman oleh Ana.
Hingga kehadiran Chiko yang datang menghampiri Zeva, membuat gadis cantik itu menarik lengan temannya untuk datang mendekat pada sang papa dan Ana.
"Papa, Chiko datang!" Dengan riang gembira Zeva memamerkan pada papanya bahwa sosok teman baiknya yang sejak tadi ditunggu pada akhirnya datang juga.
Arkana Sudrajat, yang merupakan nama dari papanya Zeva, menyapa. "Hai, Chiko. Akhirnya datang juga. Zeva sudah nungguin kamu sejak tadi. Chiko datang sama siapa?"
"Sama Daddy dan Mommy. Itu mereka!" tunjuk Chiko pada sepasang wanita dan pria yang masuk ke dalam ruangan dengan bergandengan tangan. Lebih tepatnya, si wanita yang melingkarkan tangan pada lengan si pria.
Ana mengikuti arah tunjuk Chiko. Meneguk ludah kasar menyadari kehadiran seorang pria yang menarik perhatiannya. Untuk kali kedua Ana harus dipertemukan secara tidak sengaja dengan seorang pria yang merupakan ayahnya Chiko. Dan lelaki itu adalah orang yang sama dengan pria yang menikahinya sebulan lalu.
"Halo, Pak Ken ... Bu Tisa. Terima kasih sudah datang ke acara ulang tahun Zeva," ucap Arkan menyapa tamunya.
Deg.
Jantung Ana berhenti berdetak untuk sesaat hanya mendengar nama Ken yang dilontarkan oleh papanya Zeva.
"Kami juga senang sekali karena bisa mendampingi Chiko datang menghadiri acara ulang tahun Zeva karena biasanya Daddy-nya Chiko ini sangat sulit sekali meluangkan waktunya untuk mendampingi kami," jawab Tisa dengan binar bahagia, karena memang selama ini jarang-jarang Ken bisa mendampinginya dan Chiko.
Dan perbincangan mereka, tidak tertarik bagi Ana untuk mendengarnya. Karena yang membuat Ana kepikiran sejak tadi hanyalah satu orang yaitu Ken.
Ana tidak meragukan lagi jika apa yang dia lihat memang benar. Kenandra, suaminya yang juga papa dari Chiko.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Ana saat ini. Perempuan itu ingin sekali menghindar agar tidak bertemu dengan lelaki itu karena situasi dan kondisi yang tidak tepat. Apalagi ditambah dengan adanya keberadaan Tisa. Namun, terlanjur karena saat ini kedua netra Ana bersiborok dengan tatapan tajam milik Kenandra. Untuk sesaat pandangan mata mereka beradu, sebelum akhirnya Tisa menyadari kehadiran gurunya Chiko.
"Miss Ana!" sapanya, lalu mendekat.
"Halo Bu Tisa."
"Miss Ana sudah lama datangnya?"
Ana memaksakan senyumnya dan tidak menghiraukan keberadaan Kenandra yang ia rasa tengah memperhatikannya.
"Oh, belum kok Bu Tisa. Saya juga baru saja datang."
Tisa juga tak kalah ramah saat berinteraksi dengan guru barunya Chiko. Hingga perempuan itu teringat sesuatu.
"Oh ya, Miss Ana. Kenalkan ini Daddy-nya Chiko. Mungkin nanti Chiko juga akan sering diantar jemput sekolah oleh Daddy-nya."
Wajah Ana pias seketika. Tisa mendongak menatap pada Ken.
"Sayang, ini guru barunya Chiko. Namanya Miss Ana."
Ken mengulurkan tangannya. Ana dengan ragu menerima uluran tangan tersebut. Sesaat ketika kulit mereka saling menempel, Ana dilanda kepanikan dan buru-buru menarik tangannya kembali seraya berucap, "Senang dapat berkenalan dengan Anda, Pak!".
•••
Acara ulang tahun Zeva berjalan sangat meriah. Bahkan Ana yang tidak tahu apa-apa malau diseret paksa oleh Zeva agar mendampingi papanya. Gadis kecil itu mungkin sedang merindukan sosok sang mama yang telah tiada. Dan semenjak adanya Ana, Zeva merasakan sebuah kenyamanan berada di dekat guru barunya.
"Ini untuk Miss Ana," ucap Zeva sembari menyodorkan potongan kue pada Ana.
Wanita itu tidak langsung menerima. Jujur dia juga tidak enak hati karena seharusnya Zeva memberikan potongan kue kedua pada keluarganya. Mendongak menatap pada Arkan, dan pria itu menganggukkan kepala sebagai tanda telah mengijinkan Ana menerima kue pemberian putrinya.
Dengan seulas senyum, Ana menerima. "Terima kasih, Zeva. Semoga Zeva panjang umur dan sehat selalu. Amin." Doa yang Ana lantunkan untuk anak didiknya.
Senggolan pada lengan, menolehkan Ana pada rekannya yang sudah senyum-senyum menggoda.
"Sepertinya Zeva sudah menemukan calon mama baru," bisik Risna, teman sesama guru di sekolah.
Mata Zeva melotot, "Apa sih, Ris!"
Risna malah hanya cekikikan. Ana geleng-gelengkan kepalanya. Ketika ingin kembali fokus menyaksikan acara potong kue yang masih berlangsung, pandangan mata Ana menyapu manik hitam Ken yang ternyata mengawasinya. Ana meneguk ludah kasar, lalu membuang pandangannya. Merutuki dalam hati, untuk apa juga pria itu menatapnya seperti itu.
Ana masa bodoh dengan Ken. Toh, keduanya telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Bahkan Ken sendiri juga seolah tidak kenal dengannya.
Hingga di saat acara makan-makan tiba, Ana sengaja menunggu hingga antrean di meja prasmanan sepi. Namun, dia justru dikejutkan dengan kehadiran Arkan.
"Miss Ana tidak makan?"
Dengan senyuman canggung Ana menjawab, "Makan dong, Pak. Sudah dijamu juga. Tapi nanti saja, tunggu antriannya sepi."
Arkan tertawa, tidak menyangka bisa sesantai ini mengobrol dengan gurunya Zeva. Obrolan random pun berlanjut. Sesekali giliran Ana yang tertawa karena Ana pun diam-diam juga membatin jika Arkan yang ia pikir sosok lelaki pendiam, ternyata juga banyak bicara.
Tanpa disadari oleh keduanya, jika Ken yang duduk tak jauh dari mereka, seringkali mencuri pandang ke arah Ana. Dan rupanya, Tisa pun menyadarinya. Wanita itu memberikan celetukan, "Pak Arkan itu duda. Sepertinya cocok jika bersama Miss Ana. Kasihan juga dengan Zeva. Pasti dia juga ingin punya mama seperti yang lainnya."
Ken tidak menjawab. Karena tidak mungkin juga dia mendukung pernyataan Tisa.
Perempuan itu menolehkan kepala menatap pada kekasihnya. "Ken!"
"Hem."
"Apa kamu juga tidak kasihan pada Chiko?"
Kening Ken mengernyit. "Kasihan kenapa?"
"Chiko juga membutuhkan sosok seorang papa."
"Bukankah selama ini aku juga sudah menjadi papanya?"
Tisa menatap intens pada Ken. "Kapan kita akan menikah?"
"Tisa, tempat ini tidak cocok untuk membahas masalah pribadi. Aku ke toilet sebentar."
Dan Ken sudah beranjak berdiri meninggalkan Tisa yang mendesah kecewa. Selalu seperti ini tanggapan Ken jika dia menuntut pernikahan.
•••
Lega sudah setelah menuntaskan hajatnya di dalam bilik toilet. Setelah ini Ana bisa makan lalu segera pulang. Dia sudah capek rasanya.
Keluar dari dalam bilik toilet menuju wastafel, langkah kaki Ana terhenti. Di sana, seorang lelaki berdiri menjulang di depan wastafel sedang mencuci tangannya.
Ana mengembuskan napas panjang, lalu kembali melangkah. Berusaha untuk tetap bersikap tenang. Wanita itu berdiri di samping si pria tanpa menyapa. Karena tujuan Ana adalah mencuci tangannya. Bahkan Ana hanya berani menundukkan kepala agar tidak perlu bertemu pandang melalui cermin dengan Kenandra.
Namun, tiba-tiba sebuah suara singgah di telinga. "Jangan pernah menceritakan apapun pada mama dengan apa yang kamu tahu tentang Chiko dan Tisa."