"Miss Mariana!" panggilan itu menyentak lamunan Ana akan bayangan ketika pagi tadi tanpa sengaja bertemu dengan seseorang. Seorang lelaki yang dia yakini adalah suaminya. Tapi yang mengejutkan karena lelaki itu adalah ayah dari Chiko. Dan satu hal lagi, Kenandra bersikap seolah mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Bagaimana mungkin semua ini terjadi padanya? Ana sampai tak habis pikir, yang pada akhirnya membuatnya tidak fokus bekerja dan banyak melamunnya.
Seperti halnya siang ini, ketika Zeva mendatanginya, perempuan itu juga tidak menyadari sehingga membuat Ana buru-buru bangkit dari duduknya. Melebarkan senyuman seraya menghampiri salah satu anak didiknya tersebut. Zeva tidak sendiri, ada papa gadis cilik itu yang membersamai.
"Hai, Zeva. Belum pulang?" tanyanya lalu berpindah menatap pada papa bocah itu yang juga sedang tersenyum ke arahnya. "Selamat siang, Pak."
"Siang, Miss. Maaf jika mengganggu waktunya. Ini, Zeva lupa tadi ingin memberikan sesuatu untuk Miss Ana katanya."
Mendengar penjelasan pria itu, Mariana kembali menunduk. "Benarkah itu, Zeva?"
"Iya, Miss." Zeva mengulurkan sesuatu pada Ana.
"Apa ini, sayang?"
"Ini undangan ulang tahunku yang ke tujuh tahun. Miss Mariana harus datang, ya?"
"Oh, Zeva kapan ulang tahunnya?"
"Sabtu sore. Pokoknya Miss harus datang. Kalau tidak, nanti aku marah sama Miss Ana."
Sang papa langsung mengingatkan. "Zeva tidak boleh begitu. Itu namanya pemaksaan. Eum ... Miss Ana. Saya minta maaf jika Zeva terkesan memaksa."
"Oh tidak apa-apa, Pak. Saya juga akan usahakan untuk datang."
"Saya pun berharapnya demikian. Miss Ana bisa datang agar kebahagiaan Zeva makin lengkap tentunya. Baiklah kalau begitu kami permisi dulu."
"Baik, Pak. Zeva, terima kasih undangannya. Miss akan usahakan untuk datang."
"Terima kasih, Miss. Kalau begitu aku dan papa pulang dulu ya. Dadah Miss Mariana!"
Zeva melambaikan tangannya. Sementara papa gadis kecil itu mengulas senyuman ramah. Ana mengantarkan mereka hingga depan pintu kelas. Perempuan itu masih memperhatikan interaksi Zeva dengan teman-teman kelasnya. Zeva juga membagikan undangan yang sama pada teman-temannya. Hingga pandangan mata Ana tertuju pada salah seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi langsing, cantik, berkulit putih. Rambut panjang tergerai berwarna coklat terang, sangat pas dengan dandanan cetar yang menghias wajah cantik wanita itu.
"Baiklah. Saya dan Daddy-nya Chiko akan mengusahakan untuk datang."
Sayup terdengar di telinga Ana ucapan yang terlontar dari mulut wanita yang dia tahu adalah Maminya Chiko.
Ana mendesah kecewa. Perempuan itu memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruang kelas. Menjatuhkan dirinya di sana. Menghela napas panjang. Dia jadi berpikir akan status pernikahan pura-pura yang dia lakukan dengan lelaki itu. Lelaki yang ternyata baru dia ketahui sudah memiliki anak dan istri.
Timbul ketakutan dalam benak Ana. Bagaimana jika istrinya Kenandra tahu jika lelaki itu menikah lagi.
Siapa yang harus dia salahkan dalam masalah ini. Dia yang terlalu ceroboh menerima saja perjodohan kala itu hanya karena keegoisannya ingin bekerja di kota.
Atau dia harus menyalahkan mamanya Kenandra yang dengan tidak memiliki belas kasihan malah meminta putranya menikah lagi. Tidak mungkin juga kan jika mamanya Kenandra tidak tahu tentang putranya yang sudah punya anak dan istri di kota.
Lantas, apa motif beliau menjodohkan Kenandra dengannya?
Timbul banyak sekali pemikiran serta pertanyaan dalam benak Ana dan mungkin suatu saat nanti, Ana akan menanyakannya langsung pada yang bersangkutan. Ana ingin mendengar langsung dari mulut Kenandra, juga dari mama pria itu. Kenapa mereka berdua menjebaknya dalam hubungan rumit dan situasi yang sulit seperti ini.
"Ya Allah, aku harus bagaimana sekarang?"
Ana ingin sekali menghubungi ibunya lalu mengadukan hal ini. Namun, setelah dia pikir-pikir lagi, Ana malah takut membuat ibunya kepikiran.
•••
Adimas Kenandra. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu tengah fokus pada layar laptop di hadapannya kala ponsel yang ia letakkan di meja berdering cukup nyaring.
Ken menoleh sekilas hanya untuk mengetahui siapa gerangan yang meneleponnya kini. Matanya memicing mengetahui nama sang mama yang muncul di layar ponselnya. Tidak akan membiarkan sang mama menunggu lama, panggilan segera dijawab oleh pria itu.
"Assalamualaikum, halo, Ma!" sapanya dengan nada lembut. Sangat jauh berbeda ketika dia menghadapi para bawahannya, Ken akan bersikap tegas dan garang hingga ditakuti para karyawan.
"Waalaikumsalam, Ken. Kamu sedang bekerja?"
"Iya, Ma. Ini di kantor."
"Apa mama mengganggu waktu kerja kamu?"
"Tentu saja tidak, Ma."
"Bagaimana kabar menantu mama? Ana baik-baik saja kan di sana?"
Deg. Jantung Ken berdegup kencang hanya karena mendengar nama Ana disebut-sebut oleh sang mama. Jujur, Ken bingung sekarang harus menjawab apa. Sebulan pasca pernikahan dan selama itu semenjak Ken meninggalkan Ana di apartemen miliknya, satu kali pun Ken tidak pernah menghubungiku untuk sekedar bertanya pada wanita itu apakah keadaannya baik-baik saja. Apakah wanita yang telah dia nikahi secara resmi dan sah baik di mata hukum agama dan negara itu menemukan kesulitan serta kendala saat tinggal di tempat yang baru. Bahkan Ken sendiri melupakan keberadaan wanita itu, andai saja tadi pagi dia tidak berjumpa dengan Ana.
Diamnya Ken, tentu saja membuat lawan bicaranya menjadi khawatir.
"Ken! Kenapa kamu diam? Jangan katakan jika telah terjadi sesuatu pada Ana? Oh, Tuhan, Ken! Mama harus mengatakan apa pada Kartika nanti."
Mendengar mamanya heboh sendiri, Ken lekas menjawab. "Ma! Mama ini bicara apa. Ana baik-baik saja. Tidak terjadi sesuatu padanya," jawab Ken yang tidak sepenuhnya jujur karena dia berkata demikian hanya karena tadi pagi melihat Ana baik-baik saja.
"Benarkah itu?"
"Iya, Ma."
"Syukurlah. Ken, mama mohon jaga Ana baik-baik. Selain mama harus bertanggung jawab pada anak perempuan Kartika, mama juga sudah terlanjur sayang sama Ana."
Helaan napas berat terdengar dari sela bibir Kenandra. "Iya. Mama jangan khawatir. Aku akan menjaga Ana baik-baik di sini." Ken terpaksa berjanji meski dia sendiri tidak yakin bisa menepati.
"Mama percaya sama kamu. Eum ... kapan kamu pulang, Ken?"
"Belum tahu. Aku sedang sibuk sekarang. Banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggal."
"Ken! Sesibuk-sibuknya kamu ... tolong luangkan sedikit waktu untuk istrimu. Jangan memforsir diri karena sekarang kamu tidak sendiri tapi ada Ana yang membutuhkan kamu sebagai suaminya."
"Iya, Ma. Aku mengerti."
"Baiklah jika begitu. Mama tutup teleponnya. Sampaikan salam mama untuk Ana."
"Iya, Ma."
Begitu panggilan telepon tersebut berakhir, Ken mengusap kasar wajahnya. Bagaimana mungkin dia benar-benar melupakan keberadaan wanita itu.
Dan mengenai teman mamanya yang bernama Kartika, yang tidak lain adalah mamanya Ana. Apakah kira-kira Ana mengadukan tentang perlakuannya ini pada ibunya yang juga mertuanya. Ken geleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya tidak, mengingat sebelum ini mereka pernah memiliki kesepakatan untuk menjalani kehidupan masing-masing seperti sebelum mereka menikah.
"Sayang!"
Ken terlonjak kaget. Pintu ruang kerjanya tiba-tiba saja terbuka. Muncul Tisa dari sana yang nyelonong masuk begitu saja ke dalam ruang kerjanya.
Buru-buru Ken mengubah ekspresi wajahnya. Namun, sepertinya wajah dan pikiran Ken yang kacau masih nampak di mata Tisa.
Perempuan itu mendekat. "Sayang, apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa wajahmu kusut begitu?"
Ken buru-buru menggelengkan Kepalanya. "Tidak. Tidak ada. aku ... aku hanya sedikit pusing karena memikirkan kerjaan."
"Oh, kalau begitu biar nanti aku bilang ke papa agar tidak memberikan beban kerjaan yang terlalu berat untukmu. Atau jika perlu biar papa menambah satu orang lagi sebagai asisten kamu yang akan membantu menghandle kerjaan."
"Tidak perlu, Tisa. Aku masih sanggup mengerjakan ini semua. Cukup Frans saja yang jadi asistenku. Jangan ditambah lagi."
Ken tentu saja tidak enak hati pada Pak Pramudia andai kata Tisa selalu saja merengek meminta segala macam kemudahan untuknya. Hal itu tidak baik juga untuk karirnya karena pasti Pak Pram akan mengira dia memanfaatkan Tisa.
"Beneran kamu tidak membutuhkan asisten lagi?"
"Bener sayang "
Tisa duduk di tanganan kursi yang Ken duduki. Dengan kedua lengan melingkar di leher Ken.
"Chiko sudah kamu jemput tadi?"
"Sudah. Aku sudah pulangkan dia sebelum ke sini tadi. Oh ya, sayang. Tadi aku dapat undangan ulang tahun dari temennya Chiko. Nanti kita datang, ya? Kamu harus menyempatkan waktu untuk menemani Chiko. Karena pasti di acara ulang tahun itu semua teman Chiko datang bersama kedua orang tuanya. Kasihan Chiko jika dia hanya datang berdua denganku saja."
"Kapan acaranya? Nanti aku usahakan datang."
"Weekend ini. Dan sepertinya acaranya akan mewah karena mengundang hampir seluruh murid dan guru di sekolah."
"Oh ya? Guru-guru juga diundang?"
"Tentu saja. Karena tadi aku melihat Zeva membagikannya."
Lagi-lagi Ken terdiam. Dia berpikir, apakah Mariana juga akan datang? Lalu, bagaimana jika dia juga datang dan bertemu perempuan itu di sana?