"Aaaarrgggh!" Alec menyepak dinding di hadapannya dengan frustasi sebelum melakukan rappelling (turun menggunakan tali panjat dinding).
Sekolah sudah usai beberapa jam yang lalu, tapi Alec memutuskan untuk tidak pulang. Dia masih saja tidak bisa melupakan peristiwa tadi siang. Bayangan aliran listrik yang terjadi saat kulit Letta dan milikya bersentuhan tadi siang, kembali hadir di pelupuk matanya.
Energinya sudah cukup terkuras tapi pikirannya makin kacau gara-gara tidak bisa memecahkan rekor waktunya sendiri, setelah lima belas kali climbing. Biasanya hanya dengan memacu adrenalin, mampu membuatnya tenang, tapi itu tidak berlaku kali ini. Rutukan kesal keluar dari mulutnya saat melepaskan carabiner begitu kakinya menyentuh lantai.
Terburu-buru Alec melepaskan harness(kaitan tali pengaman) dari tubuhnya lalu dihempas ke lantai. Sambil memejamkan mata dan berkacak pinggang, ia mengatur napas yang masih memburu. Dengan sebelah tangan ditepisnya keringat yang membasahi dahi, mencoba untuk mengusir bayangan itu.
Alec harus mengakui ada ketertarikan aneh yang membuatnya tidak bisa mengabaikan gadis itu. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mencari tahu siapa Violetta saat itu juga. Segera ia mengakhiri sesi latihannya sore itu, berkemas, dan mandi di kamar mandi gym untuk menyegarkan diri.
Baru saja Alec berjalan menuju parkiran, ponselnya berbunyi.
"Halo?" sapa Alec begitu menggeser panggilan Vaskha di layar teleponnya.
"Kamu di mana? Papa menanyakan apakah kau ikut denganku ke acara karya wisata," jawab Vaskha dari seberang.
"Iya aku ikut."
"Kau tidak pulang sekarang?" tanya Vaskha lagi.
"Mungkin beberapa jam lagi. Tidak usah menungguku untuk makan malam," jawab Alec.
"Semua orang sudah berangkat, jadi aku sendirian. Cepatlah pulang."
"Oke, bye!" kata Alec lalu menutup telepon.
Berbekal alamat yang siang tadi dibaca, Alec meluncur menggunakan motor sport kesayangannya. Setelah hampir satu jam berkendara, laju motor hitam itu melambat begitu mendekati lokasi rumah Violetta.
Matahari sudah tenggelam begitu Alec menemukan tulisan besar 'Aachivelli Mansion' di gerbang depan bangunan tiga lantai bercat putih yang sangat besar. Pintu utamanya terbuat dari kayu tua yang berukir, sementara jendela-jendelanya cukup besar untuk dilewati orang ke arah balkon.
Ornamen gaya Victorian dari abad pertengahan di bagian atap terlihat jelas dari luar. Samping kiri dan kanan bangunan itu dipagari dinding kokoh yang tingginya kurang lebih empat meter. Di beberapa tempat itu dipasang lampu penerangan yang sudah menyala. Sementara bagian depan berpagar teralis besi putih dengan tinggi yang sama.
Alec meminggirkan motornya dan memarkirnya tidak jauh dari mansion, dibalik pohon maple tua. Berbekal senter serba guna di ponselnya, dia menyusuri dinding pagar samping mansion hingga ke belakang. Dicarinya tempat strategis agar bisa memanjat masuk secara illegal.
Kediaman Aachivelli berada di daerah pinggiran yang jauh dari keramaian sehingga tidak akan banyak menarik perhatian ketika melancarkan aksinya. Beruntung dia menemukan dinding pagar yang ditutupi oleh tumbuhan menjalar yang berbatasan dengan kebun belakang.
Dipanjatnya dengan hati-hati jalinan tumbuhan menjalar itu hingga ke atas. Setelah mencapai puncak dinding, ia menemukan cabang pohon plum-kurma yang menjulur. Daunnya cukup rimbun dan banyak dahan kecil yang tumbuh bersilang dipenuhi buah. Tempat yang sangat cocok untuk memata-matai mansion tersebut tanpa ketahuan. Sebab pokok pohon itu jaraknya hanya sekitar lima meter dari bangunan utama.
Dengan bantuan dahan tadi, Alec beralih memanjat batang pohon yang bagian atasnya terpangkas rapi sehingga tidak tumbuh terlalu tinggi--hanya sedikit lebih tinggi dibanding atap mansion. Padahal jika di alam liar, tinggi pohon bernama latin Diospyros lotus bisa mencapai tiga puluh meter.
Setelah mendapat posisi yang sejajar dengan jendela besar di lantai dua, dia berhenti. Sambil memetik dua buah buah plum-kurma masak, berwarna kekuningan sebesar koin, diperhatikannya bagian dalam mansion itu.
Alec beruntung tidak ada sistem keamanan canggih seperti aliran listrik dan cctv di bagian belakang dinding pagar itu. Jika dibandingkan dengan rumahnya, mansion kediaman Aachivelli ini sangat konvensional dan ketinggalan zaman. Mungkin di daerah ini sangat aman dan dekat dengan pedesaan, sehingga tidak memerlukan kemanan canggih yang berlebihan.
Dikunyahnya buah manis itu pelan-pelan sambil menikmatinya. Sinar bulan yang hampir purnama juga banyak membantunya malam itu, selain penerangan lampu taman belakang. Dia bisa melihat dua petak kolam renang berbeda kedalaman di halaman belakang dengan penataan eksotis. Pohon plum-kurma tempatnya berada menjadi salah satu bagian dari dekorasi outdoor di dekat bangunan utama yang menjadi jalur menuju kolam.
Jalan setapak menuju kolam menggunakan batuan alam yang ditata sedemikian rupa. Di kiri kanannya ditanam bunga-bunga perdu cantik seperti petunia.
Saat ia sibuk mengamati taman belakang, ekor matanya menangkap lampu penerangan yang tiba-tiba menyala di salah satu balkon. Tidak lama kemudian daun jendela besar di balkon tadi perlahan terbuka. Alec yang memasukkan satu buah terakhir ke dalam mulutnya hampir tersedak, ketika melihat seseorang yang melangkah ke luar jendela. Gadis itu membawa selimut tebal dan membawa sebuah buku.
"Letta," bisiknya tak percaya.
Alec membenahi letak duduknya di dahan pohon sambil mengunyah kasar dan segera menelan sisa buah di dalam mulut. Karena terburu-buru, air buah yang bercampur dengan liur merembes dari bibirnya. Dia hampir kehilangan keseimbangan gara-gara mengusapnya dengan punggung tangan kanan. Untung saja secara refleks berhasil diraihnya dahan untuk pegangan.
"s**t!" Alec mengumpat pelan.
"Who is there?" teriak gadis berpiyama tidur biru langit dilapis mantel rajut itu dari seberang. Dihentikan kegiatannya menata selimut tebal di lantai seraya berdiri tegak. Dia memusatkan perhatian ke arah pohon plum-kurma, tempat Alec sembunyi yang berada lurus dengan jendela balkon kamar.
Setelah yakin pohon bergoyang hanya akibat angin, Letta duduk dengan nyaman di lantai sambil bersandar di dinding balkon. Dia membuka buku dan mulai membaca.
Alec mematung sekaligus menahan napas selama beberapa saat. Cowok ber-hoodie hitam itu bersyukur gerakan angin yang menggoyang dahan pohon membantu penyamarannya. Kini matanya kembali mengamati gadis cantik yang ada di seberang pohon. Dia bergeming mengamati Letta yang sedang membaca.
Mendadak embusan angin menerpa kembali, seiring bergetarnya liontin di dadanya. Buru-buru Alec mengeluarkan liontin batu violet itu dari dalam bajunya. Disentuhnya permukaan batu yang berkilat di bawah sinar bulan yang hampir sempurna itu.
Matanya beralih ke arah depan, memandang sosok Violetta. Anehnya gadis itu juga melakukan hal serupa, dia mengeluarkan liontin kalung dan memegangnya. Alec cukup terkejut, tapi tidak bisa berbuat apa pun. Dia hanya diam dan tanpa sadar sekelebatan adegan hadir di benaknya. Mimpi tentang seorang wanita berambut merah yang terbujur kaku di pangkuan gadis yang juga berambut merah. Gadis itu terlihat menunduk karena sedang menangis.
"Letta, apakah itu kau?" bisik Alec.
Mendadak gadis itu mendongak, dan seketika Alec tertegun. Mengapa Letta terlihat sangat mirip dengan wanita misterius yang dijumpainya lima tahun lalu? Lantas, apakah Violetta ada hubungannya dengan wanita itu? Apakah wanita tua yang meninggal dalam mimpinya itu adalah penyelamatnya?
Angin gunung berembus semakin kencang membuat pohon tempat Alec berada bergoyang semakin kuat. Dia menggosok kedua tangannya sembari merapatkan mantel dan memutuskan untuk pulang. Berniat melanjutkan penyelidikannya nanti saat melakukan perjalanan karya wisata budaya berama Violetta. Lagi pula dia belum berkemas untuk besok.
"See you tomorrow, Letta," pamitnya lirih.
Salam itu terbawa angin, terkirim lewat gelombang tak kasat mata yang akhirnya mencapai daun telinga gadis itu. Tepat selagi ia menyentuh liontin kalung yang bergetar halus di dadanya. Letta merasa merinding mendengar suara seperti bisikan halus yang lamat-lamat didengarnya. Oleh sebab itu, dia buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengemasi selimut.
Sehabis menutup jendela dan gorden, dia melanjutkan membaca di dalam kamar itu sambil meringkuk di pembaringan. Namun kelopak matanya menjadi berat, hingga akhirnya gadis itu terbang ke alam mimpi tanpa sempat kembali ke kamarnya sendiri.
*
Alec pulang dengan ribuan tanda tanya di benaknya. Sampai di rumah, Vaskha menyambut di depan pintu.
"Kau sudah makan?" tanya Alec.
"Belum, aku menunggumu," kata Vaskha. "Ada apa?" tanyanya penasaran, melihat wajah Alec yang tidak seperti biasanya.
Alec menggeleng, lantas pergi ke kamarnya.
***
bersambung ...