Pengumuman

1514 Kata
Gadis berambut merah itu masih menikmati duduk di bangku pojok yang baru beberapa jam ditempatinya. Teman-teman sekelasnya sudah menghilang begitu bel istirahat berbunyi, meninggalkan Letta sendirian. Matanya berpesiar ke seluruh ruangan kelas yang berbentuk hampir persegi. Di depan kelas terdapat dua buah white board berukuran besar yang menempel pada dinding bercat biru muda. Bagian sebelah kiri ruangan dipenuhi gambar sistem periodic unsur dengan background warna yang sama. Sementara sebelah kanan berupa kaca tebal tembus pandang sehingga ia bisa melihat balkon beton di luar ruangan. Letta bangkit dari duduknya. Rasa penasaran membawanya berjalan menuju pintu geser–akses ke balkon–di dekat papan tulis. Sebuah rencana yang tepat untuk melalui jam istirahat pada hari pertamanya di sekolah. Menikmati pemandangan sekolah dari balkon kelas sains-nya yang berada di lantai dua. Namun belum sampai di pintu, suara intro lagu yang keluar dari loudspeaker membuatnya menghentikan langkah. Setelah intro berakhir disambung dengan suara seorang wanita memberikan pengumuman. "ATENTION PLEASE. KARYA WISATA BUDAYA AKAN DILAKSANAKAN BESOK. BAGI YANG BELUM MENGUMPULKAN FORMULIR, DITUNGGU PALING LAMBAT HARI INI." Pengumuman itu berhenti dengan jeda noise yang bergemerisik. Lalu terdengar lagi pengumuman dengan suara yang berbeda. "PANGGILAN PADA MISS VIOLETTA ACHIVELLI 12th Grade. SEKALI LAGI PANGGILAN PADA MISS VIOLETTA ACHIVELLI 12th Grade. DIMINTA SEGERA KE RUANG ADMINISTRASI." Sesaat kemudian terdengar kembali lagu intro yang sama tapi dibarengi suara wanita yang sepertinya berasal dari mesin rekaman. "THAT'S ALL THE ANNOUNCEMENT. THANK YOU FOR YOUR ATTENTION AND HAVE A WONDERFUL DAY." Pandangannya masih terpaku pada railing balkon, menimbang-nimbang untuk meneruskan niat atau berbalik menuju ruang administrasi. Belum sempat memutuskan, Letta tercengang melihat sepasang sneaker berwarna hitam yang tiba-tiba muncul di luar sana. Keduanya membalut sepasang kaki yang turun dari atap, mencari pijakan pada ornamen yang menghubungkan railing dengan dinding. Setelah menemukan pijakannya, lalu mendarat mulus di atas railing balkon yang terbuat dari beton berukir. Beberapa detik kemudian pemiliknya melompat turun ke lantai. Seorang cowok tinggi dengan potongan rambut cepak ala tentara berdiri membelakangi dinding kaca. Cowok bertubuh tinggi tegap itu tidak menyadari sedang ada penonton yang melihat aksinya. Dia mengibas-kibaskan debu di baju, membenahi pegangan ransel, lalu berbalik menghadap dinding kaca. Seluruh kegiatannya terhenti begitu berhadapan dengan seorang gadis berambut merah yang menatapnya dengan pandangan heran. Tangan kanan Letta diletakkan di depan dadanya. Seolah ingin menenangkan debaran jantung yang menggila setelah beberapa saat tadi sempat berhenti berdetak melihat kejadian ganjil itu. Sepasang mata birunya memperhatikan sosok cowok misterius itu dari balik dinding kaca. Tubuh jangkung yang berdiri membelakanginya itu memiliki radiasi dominan yang memancar. Rengkuhan kedua lengan kokoh cowok misterius itu seakan mampu melingkupi tubuh mungilnya. Bagaimana tidak, tingginya hanya sebatas d**a cowok misterius itu. Letta tercekat ketika sosok di seberang itu berbalik menghadapnya. Pandangan matanya tertumbuk tepat di bagian dua kancing kemeja yang terbuka, menampilkan bagian atas tubuh maskulin yang berotot. Gadis itu menelusuri leher yang berjakun itu dengan tatapan menyelidik hingga mendongak. Akhirnya pandangannya bertemu dengan sepasang mata berwarna biru yang menatapnya tajam. Untuk meyakinkan bahwa sosok di depannya nyata, dia bergerak mendekati dinding kaca itu dan menyentuhnya. Ajaib. Pemilik sepasang mata lazuardi itu ikut bergerak mendekat. Terhipnotis mengikuti gerakan Letta yang meletakkan telapak tangannya di dinding kaca tembus pandang. Hanya dinding itu pemisah telapak tangan mereka yang menyatu. Mata keduanya bertemu dan terkunci dalam senyap. Mengisyaratkan bahwa mereka saling menyadari kehadiran satu sama lain. Bibir gadis itu bergerak perlahan membuka hendak berkata sesuatu. Namun cowok jangkung itu serta merta meletakkan satu jarinya di bibir, memberinya kode agar diam. Lalu ditunjuknya pintu kaca, berharap gadis di hadapannya keluar menuju ke balkon. Bulu mata lentik Letta bergerak seiring kelopak matanya yang mengerjap perlahan. Ia tersadar dan mengangguk, memahami apa yang diisyaratkan. Perlahan gadis bercardigan hijau itu berjalan menuju pintu. Hembusan angin menerpa wajah begitu pintu terbuka, mengobrak-abrik rambut poninya yang tidak terikat. Tanpa ragu Letta melangkah ke balkon. Pintu kaca itu menutup secara otomatis di belakangnya. Dengan langkah tergesa-gesa ia menghampiri cowok misterius yang masih berdiri menghadap dinding kaca itu. Kedua tangannya bertumpu pada dinding tapi kepalanya menoleh ke arah datangnya gadis itu. "Apa yang kau lakukan di atas tadi? Itu sangat berbahaya!" pekik Letta begitu berada cukup dekat. Senyuman nakal tersungging di bibir cowok jangkung itu. Dia menghadap gadis mungil yang baru saja meneriakinya dengan malas. Kedua tangannya terlipat di depan d**a, bahunya bersandar pada dinding kaca. "Okey, aku tidak akan mencampuri urusanmu, Mister. Tapi jika terjadi sesuatu denganmu tadi, terpeleset atau apa. Maka aku adalah satu-satunya orang paling malang, karena kebetulan ada di sini, menyaksikan ulahmu yang sok keren itu!" cerocos gadis imut itu dengan nada tinggi. "Oh, jadi menurutmu aku keren?" Cowok itu bangkit dari sandarannya, menangkap ada ekspresi khawatir pada suara gadis mungil yang baru saja dilihatnya hari itu. Seperti teringat sesuatu, kemudian ia melangkah perlahan mendekat. Letta terkejut dan otomatis melangkah mundur. "A-apa maumu? A-aku janji tidak akan bilang siapa-siapa soal tadi, su-suer," ucapnya. Melihat ekspresi yang tampak ketakutan, Alec tersenyum dan meletakkan tangannya ke dalam saku celana. "By the way, my name is Aleccandro. But you can call me Alec." Mata elok berwarna biru milik gadis itu seolah menghipnotisnya untuk semakin mendekat. "Jadi menurutmu aku keren?" Diulanginya pertanyaan tadi, sambil terus menatap mata gadis berambut merah yang terus melangkah mundur. Punggung gadis itu menyentuh dinding railing balkon dan langkahnya terhenti. Alec menipiskan jarak antara mereka hingga tinggal selangkah. Ia menundukkan kepala masih menatap mata biru itu, sementara Letta harus mendongak dan terkesiap ketika kedua lengan Alec dengan sengaja memerangkap tubuhnya. "Siapa namamu?" tanyanya dengan lembut. Letta bergidik. Embusan napas beraroma mint yang keluar dari mulut Alec memenuhi indera penciumannya, bercampur dengan wangi pinus segar dari tubuhnya yang maskulin. Tanpa sadar gadis mungil itu menghirupnya dalam-dalam. Dia membuka mulutnya, tapi tidak ada satu kata pun yang terucap. Melihat reaksi Letta, Alec menaikkan sebelah alisnya. Kini pandangannya beralih pada bibir gadis itu yang berwarna pink pucat. Tampak segar seperti mahkota bunga sakura yang terkena embun di pagi hari. Alec semakin menundukkan kepala, tergoda untuk mendekati bibir yang merekah itu. Tiba-tiba seseorang mengetuk kaca di sebelah mereka. Alec tersadar dan menoleh. "s**t!" umpatnya. Dihantamkan tangan kirinya ke dinding di belakang Letta. Dia menegakkan badan lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Ia mundur beberapa langkah menjauhi gadis itu sambil tetap menatap Letta. Pipi gadis itu memerah, anak rambut di wajahnya tersapu angin bergerak ke sana kemari. Dia menggigit bibir bawahnya. Wajah gadis yang tegang itu berubah sedikit santai. Ia bernapas lega dan bersyukur Alec sudah menjauh darinya. Di mata Alec, ia benar-benar terlihat cantik. "Alec! Apa yang kaulakukan?" tanya seorang cowok yang memergoki kejadian barusan begitu sampai di dekat mereka. Alec menaikkan sebelah sudut bibirnya lalu melirik ke arah suara. "Kamu anak baru tadi, kan?" tanya Vaskha pada sosok mungil yang cantik itu. Ia mengulurkan tangan. "Aku Vaskha, Alec's best friend." "Violetta. Panggil saja Letta," jawabnya sambil menyambut tangan Vaskha untuk bersalaman. Sementara tangan kirinya menyelipkan rambut liar yang tertiup angin di belakang telinga. "Senang berkenalan denganmu, Letta. Sepertinya namamu disebutkan pada pengumuman tadi." "Iya," jawab Letta. Alec tak percaya bahwa gadis yang bernama Violetta itu mau bersalaman dengan Vaskha tapi tidak dengannya. Ia mendengus kesal. "Ayo, kuantar ke kantor administrasi," ajak Vaskha yang dijawab dengan anggukan oleh Letta. "No! Mm, maksudku biar dia pergi denganku," cegah Alec. Dia merangkul pundak Letta dengan posesif. "Lagi pula aku juga belum mengumpulkan formulir itu," lanjutnya. Vaskha terdiam sesaat memandangi Alec. Dia tahu benar selama ini Alec tidak pernah tertarik pada gadis mana pun. Tidak juga pada si cantik Cecilia, ratu sekolah yang selalu membuntutinya. Bahkan karena sikapnya itu, sampai tersiar isu bahwa Alec dan Vaskha adalah penyuka sesama jenis. Karena mereka sering terlihat kemana-mana hanya berdua. "Oh, oke kalau begitu. Sampai ketemu lagi," kata Vaskha hendak beranjak pergi. Ia menyadari Alec sedang menandai teritorialnya. "Vaskha, tunggu!" teriak Letta. Vaskha yang sudah berada di ambang pintu urung menutupnya. "Yes, My Dear?" tanyanya. "Aku mau diantar Vaskha saja," protes Letta. Ia menepis tangan Alec dari pundaknya. "Tidak boleh!" Suara Alec terdengar seperti perintah. Tangannya mencengkeram lengan atas gadis itu. "Lepas, sakit!" Vaskha kembali mendekat ke arah mereka. "Calm, Bro. Kamu tidak boleh bersikap seperti ini. Letta ketakutan, lepaskan dia," bujuk Vasha. Rahang Alec yang menegang mulai mengendur. Dia melihat ke arah sahabatnya itu, sembari melepaskan cengkraman tangannya pada Letta. "Kalau begitu kita ke kantor sama-sama, ya," ujar Vaskha. Dipandanginya wajah Alec yang sudah mulai normal. Dia sangat mengenal Alec yang tidak bisa mendapat jawaban 'tidak'. "Ayo," ujar Vaskha pada mereka berdua. Letta melompat secepat kilat menjajari Vaskha tanpa memerdulikan Alec yang intens menatapnya. Vaskha menahan tawa melihat tingkah gadis itu, lalu berjalan menuju pintu keluar. Meskipun berjalan di sisi Vaskha, pikiran Letta terpusat pada Alec. Dia merasa cowok itu sangat aneh dan berbahaya. Patut menjadi orang yang wajib dihindari selama berada di sekolah. Ia merasa beruntung ada Vaskha yang menyelamatkannya tadi, kalau tidak? Ia menggeleng keras, tidak berani membayangkannya. Alec berjalan pelan mengikuti mereka berdua. Pikirannya terusik oleh kehadiran gadis mungil berambut merah itu. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya merasa tertarik. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, tidak biasa, aneh, misterius, sekaligus juga sangat familier. *** bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN