Chapter 12 - Menemukan Savia

1772 Kata
Serena bangun, dia turun berhati-hati dari tempat tidur. Langit masih gelap, hujan belum berhenti turun. Tetapi beruntung karena suara guntur sudah tidak terdengar lagi. Dia menyelimuti Savia agar tetap hangat, dia tidur seperti putri salju. Sangat tenang dan jarang bergerak. Serena keluar untuk menyiapkan makan malam. Dia memiliki bahan makanan yang cukup untuk dua minggu di kulkas. Malam ini, dia ingin makan steik bersama mie instan, sepertinya akan menyenangkan. Dia dari dulu ingin mencobanya dan baru memberanikan diri memasak sekarang. Wangi daging terpanggang membuat air liurnya hampir menetes. Serena menatanya di atas meja makan, dia masuk ke kamar untuk mengecek Savia dan ternyata anaknya itu masih tidur. “Asik makan-makan.” Serena menikmati makan malamnya dengan tenang sembari menonton film di tv. Ternyata perpaduan mie instan rasa pedas dan steik sangatlah cocok, Serena sangat menyukainya dan akan menambahkan ini ke salah satu makanan favoritnya. Dia mencuci piring setelah makan lalu membersihkan keacauan di ruang tengah. Memungut beberapa potong mie yang terjatuh di atas meja dan lantai. Setelah itu Serena masuk ke kamar dan ternyata Savia sudah bangun. “Eh, anak Mama sudah bangun. Lapar nak?” Serena langsung memanaskan air untuk membuat s**u dan membuat bubur. Savia selalu makan dengan lahap, dia bisa saja membuatkan bubur dari bahan-bahan alami tetapi masih sedikit takut Savia belum terbiasa jadi hanya membuat bubur dari makanan instan. Serena menggendong Savia setelah minum s**u agar bersendawa. Dia mengajaknya berjalan-jalan ke ruang tamu. Dari luar, masih terlihat kilat sesekali menyambar, tetapi tidak diikuti suara guntur. “Ssshhh… jangan takut, Nak. Mama disini.” Ucap Serena kepada Savia yang memejamkan matanya. Dia langsung berdiri untuk menutup gorden, sekarang masih jam tujuh malam tetapi suasana sudah seperti tengah malam. Serena melihat sekitar dan melihat keadaan sangat gelap gulita. Sejak tadi, sebenarnya listrik padam. Tetapi, Serena memiliki genset yang akan otomatis menyala saat listrik padam. Dia bisa melihat siaran tv karena memiliki siaran yang berbayar. “Wah, gelap gulita. Enaknya sih di kamar tapi sakit kepala kalau baring terus.” Gumam Serena sembari menutup semua gorden di jendela. Dia menyalakan penghangat ruangan agar tidak terlalu dingin. “Gimana, Nak? Sudah mendingan?” tanya Serena kepada Savia. Bayi kecil itu hanya menatapnya dengan mata bulat dan tidak merespon apa-apa. Serena tertawa lalu memangku Savia sembari menonton kartun. Tidak lama kemudian, Savia tertidur di pangkuannya. … Agam sedang berada di bawah guyuran hujan deras, dia mencari mobil yang dia lihat kemarin tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan kendaraan itu. Padahal dia sudah meminta rekaman kamera pengawas dari beberapa tempat tapi hasilnya nihil. Mobil itu hilang di perempatan menuju sebuah kompleks perumahan besar. Tetapi, Agam sama sekali tidak melihat mobil hijau itu berada di parkiran atau di depan rumah. Mungkin mobil itu bukan orang disini. Dia memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah toko makanan, seharian dia sama sekali belum makan karena mengkhawatirkan Savia tetapi sekarang tenaganya terkuras habis. Agam keluar dari mobil dan berlari secepat mungkin agar tidak basah kuyup. Dia memesan sop ayam dengan nasi serta segelas the hangat, Agam mengisi tenaga agar bisa mencari anaknya. Di saat situasi sangat tidak bisa mendukungnya, dia berusaha mencari sendiri dengan caranya. Agam melihat panggilan masuk di ponsel dan segera mengangkatnya. “Abang? Dimana?” Terdengar suara khawatir Syifa dari ujung panggilan, Agam hanya bisa mengambil napas panjang sebelum menjawab pertanyaan adiknya. “Di tempat makan, kenapa?” “Nggak, aku mau kasih tahu. Kalau yang mengadopsi Savia itu masih muda, dia seorang perempuan yang belum menikah tetapi terlihat sangat menyayangi anak kecil. Aku sempat bertemu dengannya, rambutnya pendek sepunggung.” Agam belum bisa membayangkan bagaimana perempuan yang membawa anaknya itu. Semoga saja Savia benar sedang baik-baik saja, “Kamu nggak ada fotonya?” “Sayangnya nggak Bang, aku hanya mengingat wajahnya.” Jawab Syifa dengan suara lemah. Agam membasahi bibirnya, “Ya sudah, kalau ada kabar terbaru segera hubungi Abang.” Dia memutuskan sambungan itu secara sepihak, Agam melanjutkan makan malamnya lalu kembali melanjutkan pencarian. Sayangnya dia harus kembali ke rumah karena sama sekali tidak menemukan jejak apapun. … Pagi-pagi sekali, Agam pergi ke kantor dia berharap bagian pencarian sudah selesai mengalami eror tetapi tenyata belum. Hanya kantor pusat yang memiliki sistem seperti ini dan dia tidak bisa mencari bantuan di kantor pusat kota lain karena bukan wilayahnya. Agam harus bersabar lebih lama, tetapi menunggu lima hari itu rasanya sangat lama. Mencari dengan caranya juga melambat karena tidak mendapatkan gambar atau keterangan lagi. Agam benar-benar takut jika Sivia sudah di bawa pergi. Dia heran kenapa panti asuhan itu memiliki sistem yang aneh untuk merahasiakan data orang yang melakukan adopsi. “Hei, Kapt. Sepertinya anda sering banyak pikiran. Apa yang terjadi?” tanya seorang rekannya yang bernama Galih. Agam menggelengkan kepalanya lalu menghela napas panjang, “Anakku hilang, di adopsi orang.” “Hah, bagaimana bisa?” Dia menceritakan langsung kejadian yang terjadi hari itu, saat mereka dalam proses penggerebekan transaksi n*****a. Saat dia dihubungi oleh adiknya pertama kali. “Sekarang, pusing nyarinya kemana. Bagian lalu lintas juga sedang eror, mereka tidak bisa melacak untuk sementara waktu.” Ucap Agam sembari menatap ke depan dengan tatapan hampa. Galih menepuk pundak Agam, “Percaya saja jika perempuan yang mengadopsinya itu orang baik, kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuanku. Kita cari sama-sama, selama plat mobil Jakarta itu.” “Terimakasih.” Galih pergi karena memiliki urusan lain, Agam kembali menatap jalanan dari kantornya. Dia kembali ke balik meja kerjanya untuk mengerjakan laporan, kemarin banyak sekali kejadian yang tidak bisa dia lihat. Walaupun pikirannya bercabang, dia tetap memimpin rapat untuk mengejar p**************a itu. Agam mengusahakan penangkapan secepat mungkin agar mereka juga bisa melanjutkan ke tugas yang lain. “Kapt, apa anda acara malam ini? Bukankah kita harus makan malam tim untuk keberhasilan beberapa tugas kita?” tanya seorang polisi wanita yang baru saja di tugaskan masuk ke dalam timnya. Agam menggelengkan kepala, “Kalau kalian mau silahkan, tapi saya ada urusan lain.” “Yah, nggak seru kalau anda tidak ada Kapt!” protes polisi wanita itu. Agam tidak memperdulikannya, dia berdiri setelah mengakhiri rapat dan keluar dari ruangan. Dia memelankan langkah ketika mendengar suara langkah dari belakang, “Kapt, maafkan Siska. Kami hanya akan merayakannya kecil-kecilan, tapi dia terus ingin anda ikut serta.” “Nanti, setelah masalah saya selesai. Saya sendiri yang akan meneraktir kalian, tolong beritahu mereka semua Yusuf.” Jawab Agam. Yusuf mengangguk, tetapi dia masih berjalan di sampingnya. “Kapt, aku tidak enak untuk membicarakan ini. Tapi sepertinya Siska tertarik kepada anda, sudah sejak lama dia terus berusaha mencari perhatian kepada anda.” “Biarkan saya, jika sudah keterlaluan saya sendiri yang akan memindahkan dia. Itu semua karena dia keponakan dari atasan, jadi dia bisa melakukan apa yang dia mau di divisi kita, hanya saja jangan mengacaukan tugas.” Jawab Agam. “Baik, Kapt!” Agam melanjutkan peralanannya ke kantor, dia harus mengerjakan tugasnya sebelum kembali mencari Savia. Dia sama sekali belum tertarik kepada seorang wanita, apalagi perempuan manja seperti Siska yang berusaha masuk ke dalam divisi miliknya hanya karena menjadi keponakan atasannya. Dia tahu itu terlarang tetapi berusaha untuk tidak melihatnya dan fokus bekerja. Dia di kantor sampai siang, Agam pergi setelah makan siang. Dia melanjutkan pencariannya. … Serena memberi makan Savia di taman belakang, mereka melihat kupu-kupu yang berdatangan ke taman bunganya. Savia sangat menyukainya dan menangis jika dia membawanya masuk. Jadilah, sekarang mereka sarapan bersama di taman belakang. Liburnya tinggal tersisa satu hari. Serena merasa waktunya seminggu terasa sangat singkat, bersama Savia membuatnya tidak merasa bosan. “Wah, habis Nak.” Ucapnya ketika melihat mangkuk bubur Savia sudah bersih. Walaupun begitu, Savia masih tidak mau pergi dan tetap berada di situ sampai kupu-kupu terakhir pergi. Akhirnya, Serena bisa menggendong Savia dan membawanya masuk tanpa menangis. Sekarang, dia akan memandikan Savia sebelum bisa memasak untuk makan siang. Selama seminggu ini, Savia sama sekali tidak ingin ditinggal dan ingin terus melihatnya jadi dia membawanya kedapur untuk melihatnya memasak. “Aduh, nggak jadi masak sambel deh.” Gumam Serena sembari menepuk keningnya. Dia saja yang memasak akan bersin-bersih, apalagi Savia yang masih kecil. Serena mencoret sambel dari masakannya siang ini. Hari ini dia tidak akan kemana-mana, dia juga belum mendapatkan apakah mereka akan mulai masuk lusa atau melanjutkan hari libur. Selesai memasak, Serena melihat Savia tertidur di atas tempat tidur goyangnya. Dia mengambil kunci mobil dan berjalan mengendap-endap keluar untuk membuka garasi. Tiga hari ini dia tidak pernah memanaskan mesin mobilnya karena selalu hujan, siang ini masih sedikit mendung tetapi masih aman untuk keluar tanpa basah. Serena memanaskan mobilnya lalu mengangkat pot bunganya yang rebah karena di terpa angin. Di saat yang bersamaan, dia mendengar suara mobil berhenti dan tampak seseorang keluar dan berjalan ke arah rumahnya. Serena melebarkan matanya karena tahu siapa orang itu. “Permisi.” Serena segera menaiki tangga, sejenak mereka bertatapan sebelum dia menghampiri pria itu. “Pak polisi yang kemarin itu ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Serena ceria. Agam menganggu, “Apa benar itu mobil anda?” Serena berbalik dan melihat mobilnya masih menyala, dia refleks mengangguk. “Iya, itu mobil saya. Kenapa? Cicilannya sudah lunas, saya juga tidak pernah menabrak orang.” Dia tiba-tiba panik karena mengetahui pria di depannya seorang polisi. “Boleh saya masuk dan menjelaskannya di dalam?” tanya pria itu. Serena sedikit menatapnya penasaran, dia tidak menjawab apa-apa dan tetap berdiri di tempatnya. Agam menghela napas panjang. “Perkenalkan, saya Agam Shafar Pranaja. Anda sudah tahukan kalau saya seorang abdi negara, saya berjanji tidak akan macam-macam dan hanya ingin berbicara kepada anda.” Serena akhirnya mengangguk, dia membuka kunci pagar dan membiarkan Agam masuk. Mereka duduk di teras agar tetap dilihat oleh orang yang lewat, Serena memberikan teh hangat untuk Agam karena sepertinya pria itu baru saja terkena hujan. “Silahkan diminum.” Ucap Serena. Agam menyicipi teh itu dan tubuhnya langsung menghangat. “Terimakasih.” Serena masih menunggu Agam mau mengatakan apa kepadanya, dia tidak sabar dan sedikit khawatir apakah dia melakukan kesalahan. Agam pertama-tama memberikan fotonya bersama Savia, itu foto seminggu yang lalu dan memperlihatkan melalui ponselnya. Serena yang melihat itu hanya bingung. “Apa maksud anda?” “Anda tahu siapa gadis kecil yang ada di foto itu?” tanya Agam. Serena mengangguk, “Iya, ini Savia. Apakah anda rindu kepadanya?” “Sangat, saya sangat merindukannya. Tetapi, bukan itu tujuan saya datang kesini dan mencari anda selama seminggu penuh.” Jawab Agam. Serena memeriksa foto lainnya dan sangat banyak foto Agam bersama Savia, tiba-tiba dia merasakan perasaan sedih. Takut Savia akan di ambil darinya, padahal dia sudah sangat menyayangi Savia. “Savia itu sebenarnya, anak saya. Anak kandung saya lebih tepatnya.” Ucap Agam. Serena membulatkan matanya, menatap Agam terkejut dengan mulut terbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN