Chapter 13 - Hujan

1798 Kata
Serena masih sangat terkejut, dia menatap pria di depannya dengan tatapan syok. Serena kembali memegang ponsel Agam dan di sana banyak foto Savia bersama pria di depannya. Tapi, bagaimana bisa Savia ada di Panti Asuhan jika dia memiliki ayah. Serena juga melihat foto terakhir itu tertanggal seminggu yang lalu. Bagian belakang dindingnya juga terlihat bukan dari panti asuhan. “Bagaimana bisa?” Itulah, dua kata yang bisa Serena ucapkan saat keterkejutannya masih belum mereda. Agam memperbaiki posisinya, “Minggu itu, minggu yang sangat sibuk untuk saya. Jadi, saya menitipkan Savia kepada adik saya yang kebtulan ada di panti asuhan itu selam tiga hari untuk mengikuti acara yang diselenggarakan para donator.” Serena menyimak penjelasan Agam, dia mengigit bibirnya karena melihat kejujuran di mata Agam. Dialah yang salah mengadopsi, itu juga sebagian besar kesalahan dari panti asuhan karena tidak mengetahui jika Savia datang bersama dengan adik Agam. “Apakah boleh saya bertemu dengan Savia?” tanya Agam berhati-hati. Serena mengangguk, “Ayo masuk, biarkan pintunya terbuka.” Agam menghela napas lega, dia merasa Serena merupakan seorang yang sangat baik. Bahkan dia tidak menemukan raut amarah dari perempuan itu ketika dia menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi. Dia masuk ke rumah Serena dan melihat rumahnya sangat nyaman. Ternyata Savia sedang tertidur di ayunan yang berada di dapur, raut wajahnya sangat tenang dan damai. “Dia baru saja tertidur, sejak tadi menemaniku membuat makan siang.” ucap Serena sembari tersenyum. Agam mengelus pipi anaknya, dia diliputi keharuan karena sudah menemukan Savia. Tetapi, melihat semua perlengkapan di rumah Serena berarti memang dia sudah mempersiapkan untuk mengadopsi seorang bayi. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, ketika melihat petir keduanya terlonjak dan langsung menutup telinga Savia. Serena bertatapan dengan Agam, tangan mereka saling bersentuhan secara tidak sengaja. “Savia takut suara guntur.” “Savia takut guntur!” Mereka mengucap itu secara bersamaan lalu tersenyum, tangan mereka masih saling bersentuhan dan rasanya sangat canggung. Serena duluan yang menarik tangannya lalu duduk di salah satu kursi. “Kemarin dia menangis saat mendengar suara guntur.” Jelasnya sembari melihat Savia. Agam mengangguk, “Dia sejak dulu takut dengan suara guntur. Selalu menangis, kadang tidak bisa tidur seharian.” “Beruntunglah kemarin dia tertidur setelah menangis sebentar.” Jawab Serena. Agam mengerjabkan matanya, dia seperti tidak percaya begitu mendengar ucapan Serena. “Bagaimana bisa? Saya harus mengajak main seharian agar Savia berhenti menangis. Apa yang anda lakukan?” Serena sedikit risih dengan bahasa formal Agam. “Kamu bisa berbicara biasa saja denganku. Jangan terlalu formal, oh maaf. Perkenalkan, aku Serena.” “Serena?” “Tepatnya, Serena Rivka Azzahra. Kamu bisa memanggilku Serena.” Jawabnya dengan senyuman. Agam mengangguk, “Nama yang indah.” “Terimakasih kepada kedua orangtuaku. Oh iya, ayo pindah ke ruang tengah. Disana kita bisa mengobrol, mau minum apa?” tanya Serena ramah. Agam menatapnya sebentar lalu menjawab, “Kopi panas?” “Sure, aku akan membuatkannya untuk anda.” Jawab Serena lalu beranjak. Dia menggendong Savia sementara Agam mengangkat ayunannya otomatisnya menuju ruang tamu. Mereka bergerak tidak terlalu berisik agar tidak membangunkan Savia. “Duduklah, aku akan membuat kopi untukmu.” Serena pergi ke dapur dan membuat dua minuman hangat. Dia sendiri juga menyukai kopi, walaupun sedikit tidak pas di minum sebelum makan siang. “Semoga dia suka.” Butuh beberapa menit sampai dua gelas kopi itu selesai, dia kembali ke ruang tamu dan melihat Agam sedang menatap Savia. Pria itu terlihat mengusap sudut matanya ketika dia datang. Saat Serena mengangkat nampan, dia baru sadar kalau sekarang dia hanya memakai celana setengah paha dan kaos putih yang sedikit transparent. Serena tadi tidak sempat untuk mengganti pakaian karena menebak hanya keluar sebentar. Wajahnya memerah ketika mengetahui jika Agam sudah melihatnya sejak tadi. Aduh, seharusnya aku memakai baju yang tebal tadi. Gumam Serena dalam hati. “Silahkan kopinya.” Ucapnya lalu menyimpan gelas kopi itu di meja yang berada di depan Agam. Agam meraihnya lalu mengucapkan terimakasih. “Jangan diminum, masih panas. Tunggulah berapa menit lagi.” tegur Serena. Serena ikut duduk di sofa, dia tidak memusingi pakaiannya lagipula sudah terlanjur. “Ngomong-ngomon, bagaimana kamu bisa menemukanku?” “Dari plat dan warna mobilmu. Warnanya sangat jarang dan hanya dimiliki beberapa orang.” Jawab Agam langsung. Serena tertawa, ternyata ada kekurangan dari memiliki warna mobil yang langka. Dia memilih warna itu karena menyukainya dan juga membuat mobilnya tampak tidak pasaran jika berada di jalan raya. “Anda pasti melacak mobilku?” tebak Serena. Sayangnya, Agam menggeleng. “Aku mencarinya sendiri. Jika bisa melacak dari awal aku sudah pasti datang kesini. Sayangnya sistem sedang eror, jadi aku mencari kamu selama satu minggu penuh. Sebenarnya, aku sudah melewati kompleks ini sebanyak lima kali.” “Tapi, baru hari ini aku melihat mobilnya.” Jelas Agam. Serena mengangguk pelan, “Aku memang baru memanaskan mesinnya tadi setelah beberapa hari karena tidak sedang kemana-mana.” “Beruntung aku melihatnya.” Balas Agam langsung. Serena tidak membalasnya, dia memikirkan apakah keputusan yang akan di ambil Agam. Apakah pria ini akan membawa Savia pergi? Dia tidak sanggup berpisah dengan malaikat kecilnya. Tiba-tiba suasana berubah ketika perutnya berbunyi. Serena menutup wajahnya malu dan tertawa canggung. “Ah, maafkan aku.” Agam tersenyum, “Maaf karena datang di saat yang tidak tepat.” “Tidak masalah, mungkin karena hujan jadi aku sudah lapar. Bagaimana kalau kita makan siang? Sepertinya Savia masih tidur nyenyak.” Tawar Serena. Agam menimbang-nimbang, sebenarnya dia tidak ingin terlalu lama disini tetapi di luar masih hujan deras. Agam tidak enak jika harus menolak tawaran itu di saat dia masih tidak bisa kemana-mana. “Boleh.” Serena beranjak masuk ke kamar dan memberikan Savia selimut hangat. Dia menyelimutinya agar tidak kedinginan. Dia juga menghentikan gerakan dari ayunan otomatis itu, beruntung Savia hanya sedikit bergerak lalu kembali melanjutkan tidurnya. Mereka berdua ke ruang makan, Serena masih sedikit canggung tetapi berusaha untuk santai. Dia langsung menghidangkan makanan setelah dihangatkan sedikit. Dia membuat banyak lauk yang terbuat dari seafood dan daging sapi. “Apakah kamu alergi seafood?” tanya Serena. Agam menggeleng, “Saya bisa memakan semuanya.” “Syukurlah, jika tidak saya bisa memasak menu lain.” Jawab Serena sembari menuang air. Mereka mulai makan siang, Agam mengambil makanan secukupnya walaupun semua hidangan terlihat sangat lezat. Dia tetap harus menjaga kesopanan apalagi mereka baru saja kenal. Agam merasa mulutnya meleleh ketika menyicipi masakan Serena untuk kedua kalinya. Makanan yang di masak wanita di depannya ini sangat enak. “Kenapa? Apakah rasanya aneh?” tanya Serena ketika melihat Agam berhenti mengunyah. Agam melambaikan tangannya, “Ini sangat enak.” “Kamu membuatku terkejut.” Balas Serena. Agam tertawa, dia melihat ekspresi lucu Serena dan membuatnya refleks tersenyum. Serena memiliki banyak pertanyaan di benaknya tetapi tidak tahu harus memilih yang mana. “Kapan tanggal lahir Savia?” tanya Serena setelah berpikir sejenak. Agam menyuap sop hangatnya, “Tanggal 2 bulan Desember 2019.” “Wah, berarti baru enam bulan.” Balas Serena. Agam mengangguk, “Dia lahir di saat aku ada tugas di Papua saat itu. Sayang tidak bisa melihatnya lahir, itu kenangan berharga untuk dilewatkan.” Serena mengangguk pelan, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kesedihan Agam saat itu. Dia pasti sangat sulit mengerjakan tugasnya sebagai seorang abdi negara dengan memiliki anak sekecil itu. “Tinggallah disini sampai hujan reda, sayangnya aku tidak punya payung dan takut Savia sakit jika terkena hujan.” Ucap Serena dengan gugup. Agam menatapnya sebentar lalu mengangguk setuju, dia masih belum bisa pulang dalam waktu dekat. Selesai makan siang, Serena langsung membuatkan Savia s**u dan bubur. Sementara itu, Agam bermain dengan anaknya yang baru saja bangun. Tiba-tiba terdengar suara tangis Savia dan membuat Serena yang sedang berjalan dari dapur langsung berlari panik. “Ada apa?” Ternyata Agam sedang mencoba menggendong Savia. “Aku tidak tahu, tiba-tiba menangis saat ku gendong. Kenapa, nak?” tanya Agam khawatir. Serena meletakkan mangkuknya di atas meja lalu melangkah mendekat. Dia ragu-ragu untuk berbicara sementara tangis Savia makin kencang. “Bisakah, aku- menggendongnya?” Agam ragu-ragu tetapi dia memberikan Savia kepada Serena untuk di gendong. Serena mengayun-ayunkan Savia agar lebih tenang, beberapa detik di dalam gendongannya Savia berhenti menangis dan menatapnya dengan mata bulat basah dan bibir cemberut. “Sayang, kenapa? Kan tadi sama Ayah?” tanya Serena menggunakan suara persis anak kecil. Agam terpaku, dia memandang Serena. Dia merasa ajaib ketika suara tangis Savia berhenti ketika berada di dalam gendongan Serena. Agam bergeser dan melihat Savia sedang merapatkan wajahnya kepada Serena. Serena yang di perhatikan merasa sangat gugup, padahal kemarin dia biasa saja. Sekarang rasanya wajahnya sangat panas apalagi Savia terus mengusap-usapkan wajah di dadanya. Serena menelan ludah gugup, “Mungkin dia lapar.” Agam langsung mengambil bubur, ternyata itu bubur pisang yang disukai oleh Savia. “Wah, ini bubur kesukaannya.” “Benarkah? Aku memberinya secara acak, kebetulan pagi ini rasa pisang.” Jawab Serena. Agam berpindah tempat duduk, dia menyuapi anaknya karena Serena sedang menggendongnya. Agam memperhatikan Savia melihat ke arah Serena terlebih dahulu sebelum membuka mulutnya. Mereka senang melihat Savia makan sangat lahap. Tidak lama kemudian mangkuk yang tadi terisi penuh itu sudah kembali kosong. Serena membersihkan mulut Savia dengan kain yang sedikit basah. “Selesai, kenyang ya nak? Di suapin sama ayah?” tanya Serena. Agam merasa pemandangan di depan matanya sekarang adalah keajaiban. Dulu, dia selalu membayangkan momen seperti ini dengan mantan istrinya tetapi malah seorang wanita lain yang melakukannya. … Serena kembali ke ruang tengah setelah menidurkan Savia. Bayi mungilnya itu kembali tidur setelah satu jam bermain dengan mereka. Agam masih duduk di depan tv, hujan masih setia turun dengan deras, bahkan tidak ada tanda-tanda berhenti. Agam memperbaiki posisi duduknya, “Bisakah kita berbicara sebentar?” “Tentu saja.” “Pertama, aku akan meminta maaf terlebih dahulu. Sebenarnya, aku berencana akan membawa Savia pulang setelah hujan reda. Maaf karena sudah merepotkan anda selama satu mingu.” Ucap Agam. Serena menatap pria itu, “Aku sama sekali tidak kerepotan mengurus Savia dan tentu saja aku akan memperbolehkan Savia pulang bersamamu karena ternyata ini semua hanya karena kesalahan dari pihak panti asuhan.” “Mungkin setelah ini, kamu bisa mengadopsi anak yang lain?” Serena langsung menggelengkan kepala, “Sepertinya butuh waktu lama lagi. Walaupun sebentar, aku sudah menyayangi Savia.” Jawaban Serena membuat Agam terdiam. Anaknya memang sangat mudah di sayangi karena tingkah dan wajah lucunya. Dia sendiri mengakui itu, Serena memanglah wanita yang sangat baik. Perpisahan mereka berlangsung sangat cepat, Serena melihat Agam mempersiapkan kepergiannya bersama Savia. Hujan sudah sedikit reda dan sekarang tinggal membangunkan Savia dan mereka bisa pergi. Tetapi, apa yang terjadi saat itu membuat mereka berdua tertegun. Savia menangis kencang ketika Agam menggendongnya apalagi saat membawanya keluar dari rumah Serena. Tangisannya bertambah kencang sampai Savia mengamuk ketika Agam melangkah keluar. Serena mengusap sudut matanya, dia ikut menangis melihat Savia mengamuk. Agam berhenti berjalan, dia menatap Serena dan anaknya. Apa yang harus dia lakukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN