17 - The Misunderstanding

1146 Kata
            Mika masih menunggu Yoshiki pulang kerja dengan makan malam yang dibuatnya. Entah kenapa ia masih ingin berharap pria itu akan kembali tidak mengacuhkannya setelah apa yang terjadi di antara mereka.             Tapi, detik jam terus berlalu hingga hampir pukul 10 malam. Mata Mika mulai mengantuk dan ia tanpa sadar kembali tertidur di meja makan itu. Gadis itu rasanya tidak pernah keberatan untuk menunggu Yoshiki pulang. Walaupun diacuhkan, tapi Mika merasa ada kebahagiaan kecil saat bisa melihat pria itu hanya sesaat saja.             Sementara itu, Yoshiki tidak ikut ke bar hari ini bersama Kazu. Ia sibuk tenggelam dengan pekerjaannya hingga petugas malam mulai berpatroli dan masih menemukan Yoshiki bekerja. “Ah, Kimura-san, apa anda tidak lelah ? Ini sudah jam 10 malam.” tegur pria paruh baya itu. Yoshiki menoleh dari tumpukan dokumennya. “Oh, sudah larut ya ? Saya sampai tidak sadar.” Yoshiki baru menoleh pada jam tangannya dan ia meregangkan tubuhnya yang lelah. “Maaf Higashi-san, saya akan segera pulang kok. Anda bisa mengunci ruangannya.” Yoshiki tersenyum sedikit dan ia beranjak dari meja kerjanya setelah mengambil jas dan tasnya.             Pria itu bergegas pulang dan sepanjang perjalanannya, terlintas di pikirannya apakah Mika menunggunya pulang kembali ?             Mobil Yoshiki berhenti di rumahnya dan saat ia membuka pintu, ia tertegun melihat Mika yang tertidur lelap di meja makan. Wajahnya sedikit tersipu dan ia tersentuh melihat penantian gadis itu. Ia melangkah mendekati Mika yang tidak terbangun sama sekali. Diliriknya sepiring makan malam yang telah disiapkan Mika untuknya. “Mika...” panggil Yoshiki pelan agar tidak mengejutkannya.             Gadis itu tersentak perlahan dan mengerang bangun. Ia mendongak memandang seorang pria yang berdiri di sampingnya. “Ah, kau sudah pulang Kimura-kun...” gumam Mika sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. “Pergilah tidur ke atas...” kata Yoshiki kembali. “Baiklah. Tapi, itu... a-apa Kimura-kun sudah makan malam...?” Mika memandangnya dengan sedikit takut karena Yoshiki tidak menunjukkan ekspresi apapun. “Akan kumakan nanti. Tidurlah.” jawab Yoshiki berbalik memunggunginya untuk melepas jasnya.             Mika tertegun mendengarnya. Ini adalah pertama kalinya Yoshiki tidak mengacuhkan penantiannya setiap malam. Gadis itu tersenyum samar sebelum berdiri untuk meninggalkan meja makan. “Selamat malam, Kimura-kun.” Mika menoleh pada belakang kepala Yoshiki yang sibuk melepaskan dasinya.             Yoshiki tidak menjawab tapi ia hanya menganggukkan kepalanya sekilas sambil berdeham kecil. Senyum di wajah Mika semakin terkembang dan ia dengan riang menaiki tangga menuju sofa tempat tidurnya.             Yoshiki menyampirkan jasnya di kursi dan ia duduk di ruang makan. Di depannya telah tersaji sepiring makan malam yang telah ditata dengan rapi oleh Mika. Yoshiki membuka plastik yang menutupinya dan ia menyantap makan malam itu tanpa berpikir lagi. Ia tertegun saat mengunyah masakan Mika yang benar-benar enak. Yoshiki sampai berpikir entah ia memang lapar atau masakan Mika benar-benar lezat hingga membuatnya sangat berselera. Yoshiki bahkan memandang dengan tidak percaya saat melihat piring makan malamnya bersih tak bersisa. Wajahnya sedikit merona malu tapi ia menepisnya segera. Bukannya dia tunanganku ? Yah, ini bukan masalah... pikirnya lagi.             Mika bisa merasakan pria itu tidak terlalu dingin lagi padanya. Walaupun Yoshiki tidak banyak bicara, tapi setidaknya setiap kali Mika menegurnya, Yoshiki masih membalasnya dengan sekadar anggukan atau jawaban singkat. Bahkan jika biasanya Yoshiki menganggap keberadaan Mika tidak ada di sana sama sekali dan selalu berjalan lurus setiap kali pulang bekerja, sekarang ia masih menoleh untuk melihat dimana keberadaan Mika sebelum naik ke kamarnya.             Hanya saja karena ada pekerjaan yang mendesak, Yoshiki masih sering pulang terlambat. Tapi kali ini bukan karena pergi ke bar lagi, ia sibuk bekerja dan hampir seminggu menolak ajakan Kazu untuk pergi ke bar.             Yoshiki bahkan selalu menghabiskan makan malam yang disiapkan Mika setiap malam hingga membuat gadis itu sangat gembira. Namun, Yoshiki masih tidak menerima sarapan darinya hingga Mika berpikir mungkin Yoshiki belum mau untuk sarapan bersamanya. Ia menggeleng cepat karena ia berpikir harus membuat Yoshiki nyaman terhadapnya daripada memaksanya.                                                                                           ***               Di hari Minggu pagi itu, Yoshiki memilih untuk berolahraga dan keluar rumah pagi-pagi sekali. Bahkan saat Mika bangun pun, ia tidak mendapati pria itu ada di rumah. Ia tidak terlalu heran dan hanya bersiap untuk pergi berbelanja ke pasar.             Langit berubah mendung saat Mika baru saja menyelesaikan belanjaannya. Ia merogoh tasnya dan menemukan payung lipat yang selalu dibawanya. Gadis itu pulang saat hujan mulai turun dan ia melewati pertokoan yang masih tutup. Matanya tiba-tiba menangkap sesosok pria yang sedang berteduh dan sibuk berusaha mengeringkan bajunya yang sedikit basah.             Langkah kakinya berubah mendekati pria yang masih sibuk mengeringkan pakaiannya itu.             “Kimura-kun ?” panggilnya.             Yoshiki menoleh dan matanya membesar saat melihat Mika menghampirinya. “Oh, Mika. Apa yang kau lakukan di sini ?” herannya. “Aku baru saja selesai berbelanja dan aku melihatmu berteduh di sini. Apa Kimura-kun mau pulang juga ? K-kalau tidak keberatan, kita bisa berbagi payung.” tawar Mika dengan sedikit tersipu dan jantungnya berdegup kencang takut mendengar penolakan dari pria itu.             Yoshiki diam selama beberapa saat sebelum akhirnya ia menjawab, “Baiklah.”             Pria itu menunduk ke bawah payung Mika yang memberi tempat untuknya. Tanpa berkata apa-apa, tangannya langsung mengambil alih payung Mika untuk memegangnya. Tangannya bersentuhan dengan tangan Mika yang langsung menariknya segera dan menunduk karena mengira Yoshiki akan marah kembali akibat sentuhan tidak sengaja mereka. Yoshiki tidak mengatakan apapun dan tetap diam saja.             Mereka berjalan pulang ke rumah dalam hujan yang nampaknya tidak ingin berhenti itu. Suasananya sedikit canggung karena mereka tidak berbicara sama sekali. Mika bisa merasa jantungnya terus saja berdebar-debar karena jaraknya yang sangat dekat dengan Yoshiki. Terkadang lengan mereka bersentuhan karena ukuran payung Mika tidak terlalu besar hingga ruang bagi mereka cukup sempit. Tapi, Yoshiki sama sekali tidak protes dan tetap diam saja. “Umm... Kimura-kun, boleh aku bertanya sesuatu padamu ?” Mika akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Apa itu ?” Yoshiki masih tidak menoleh dan tetap berjalan dengan tenang.             “Apa aku boleh tahu kenapa... kenapa kau marah padaku saat aku menyatakan perasaanku dulu...?” Mika mendongak memandang wajah Yoshiki. Pertanyaan ini selalu mengusiknya karena ia ingat sebelum ia menyatakan perasaannya, Yoshiki terlihat ramah padanya.             Yoshiki tidak menjawab dan ia hanya memejamkan matanya selama beberapa saat sambil menghela napas panjang. Kenangan itu tidak bisa dilupakannya juga. Gadis yang dipikirnya berbeda dengan gadis-gadis lainnya, ternyata sama saja dengan semua gadis yang mengidolakannya. Tapi, entah kenapa ia tidak bisa menghilangkan ingatannya tentang Mika walaupun ada banyak gadis yang menyatakan perasaan padanya. Yoshiki tidak ingin mengakui bahwa dulu ia memiliki ketertarikan pada Mika sebelum gadis itu menyatakan perasaannya. “Ah, maaf ! Kau pasti sudah lupa ya...” Mika berusaha untuk tertawa walaupun hatinya sedikit sedih.             Mika kembali menunduk karena tidak mendapat jawaban dari Yoshiki dan ia tahu pria itu tidak ingin menjawabnya. Raut wajahnya berubah menjadi muram dan ia terpikir bahwa Yoshiki tidak mungkin masih mengingat dirinya setelah beberapa tahun kejadian itu berlalu.             “Aku ingat kok.” kata Yoshiki tiba-tiba hingga membuat Mika kembali menoleh terkejut ke arahnya. Gadis itu tidak mengatakan apapun dan ia hanya memandang Yoshiki yang masih tidak menoleh ke arahnya.             “Dibandingkan dengan rasa marah, mungkin lebih tepatnya aku kecewa.” lanjut Yoshiki dengan suara pelan.            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN