Pagi ini Willis awali harinya dengan senyuman. Setelah kemarin seharian dikelonin sama Rahi gara-gara ditendang, entah kenapa Willis jadi pengin disunat lagi saja supaya bisa punya alasan umtuk ngurung Rahi di rumahnya. Sekarang Willis tahu, kalau cinta itu definisi halus dari gila.
“Wil, Papa mau datang besok.” Pemberitahuan dari Nabila membuat nafsu makan Willis runtuh seketika. Begitu saja sendok dan garpu Willis simpan di atas piring yang isinya nasi goreng masih tinggal separuh, saat ini mereka sedang sarapan. Nabila pun menghentikan kunyahannya. “Sorry ... tapi Papa minta aku buat ngasih tahu kamu. Kenapa setiap kali Papa nelepon gak pernah kamu angkat?”
Memang benar. Hubungan Willis dengan keluarga barunya tidak seharmonis orang lain, bahkan sama papa-nya sendiri Willis jadi mengambil jarak. Semua itu terjadi karena perubahan status Willis dengan Nabila.
“Aku berangkat duluan.” Willis bangkit menggusur kursi makannya hingga menghasilkan derit yang sukses membuat Nabila turut bangun juga.
“Willis, aku belum selesai ngomong!” Willis tidak peduli, dia tetap mengambil langkah pasti menuju pintu utama rumah mereka. Nabila tak mau kalah. Dia menahan tangan Willis hingga lelaki itu berbalik padanya sebelum mencapai tujuan.
“Kamu tuh kenapa, sih? Papa itu orang tua kamu, tapi tingkah kamu kenapa kayak gini?”
Willis tak suka dengan pembahasan kali ini, dia menarik kasar tangannya dari cekalan Nabila. Sampai pada pekikan Nabila yang berhasil mencegat langkah Willis secara nyata.
“Mau lo apa? Yang lo gak suka itu pernikahan orang tua kita, Papa, atau gue?!” Karena selama ini Nabila merasa Willis membencinya.
Willis mengembuskan napas pelan sebelum kemudian dia menghadap Nabila. “Lo gak ngerti,” tekan Willis dengan suara rendahnya. Membuat Nabila semakin murka karenanya. “Iya, gue gak ngerti! Gak pernah ngerti dan gak akan pernah ngerti kalau sikap lo beku sama gue! Gue gak akan tahu siapa yang lo benci karena lo selalu bungkam dan bertingkah seakan marah lo itu buat gue!”
“Nggak gitu, Nab.”
“Iya, itu lo. Perlakuan lo selama ini menunjukkan seolah-olah gue yang salah!”
“Nab—”
“Lo tahu gak, sih? Terkadang gue merasa dibutuhkan, dicari, dan dimiliki bukan sebagai adik tiri.” Kali ini Willis bungkam. “Bukan cuma sekali lo perlakuin gue layaknya pasangan kekasih, dan bukan cuma sekali juga lo utamain gue. Dua tahun … dan selama itu sikap lo berubah-ubah, gue nggak ngerti,” keluh Nabila super frustasi. “Belum genap dua hari kita putus, status lo udah jadian sama Rahi. Dan setelah itu, lo yang mau hubungan keluarga kita jadi rahasia. Bahkan lo pernah ngajak gue buat—”
“CUKUP, NAB!” Willis tak kuasa menahan angkara murka. Yang Nabila katakan menjalar ke mana-mana. Nabila terkekeh, sangat sinis dia berucap, “Kenapa? Karena kita bukan pacar, karena kita saudara tiri, di bawah atap yang sama kita tinggal berdua. Well, sekarang lo pura-pura muak karena kita pernah tidur bersama?”
Dan saat itu juga seseorang memundurkan langkahnya. Di depan pintu utama rumah Willis, dia mundur secara teratur. Sekedar berkedip pun sulit dirasa, karena bernapas dengan benar saja Rahi pikir dia tak bisa. Hanya satu kata, sesak. Itulah yang Rahi rasakan di pagi harinya. Rahi hilang kendali akan tubuhnya, saraf pusatnya pun menyeru untuk terus menjauh. Dengan langkah mundur Rahi ekspresikan keterkejutannya.
Bruk!
Dan begitu saja anak tangga yang tidak seberapa menjadi alasan mengapa b****g Rahi mencium tanah. Rahi meringis, tidak terlalu sakit, tapi air matanya jatuh tanpa sengaja. Rahi menangis untuk dua kata tidur bersama. Serempak yang di dalam rumah menoleh kepadanya.
***
Sebelumnya, pagi-pagi sekali Rahi bangun, mandi dan masak untuk sarapan. Entah ada ibu peri yang datang dari mana, Rahi bahkan sampai menyempatkan diri untuk membuat dua bekal, yang satunya untuk Willis. Dan pagi itu Rahi mengikis gengsi sekedar untuk mampir dulu di rumah Willis, rencananya Rahi ingin mengajak pria itu berangkat ke kampus bersama sekaligus memberikan bekal buatannya. Bahkan baru sampai di depan gerbang saja Rahi sudah senyum-senyum dan gugup sendiri.
Masa bodoh dengan status tak jelasnya. Rahi tidak mau membahas itu untuk hari ini. Setelah mengambil napas berulang, memantapkan diri sekaligus memasang muka tembok setebal mungkin. Rahi maju, melangkah pasti memasuki pekarangan rumah Willis. Hingga suara teriakan lelaki itu menggema mencapai gendang telingannya.
“CUKUP, NAB!” Yang Willis bentak itu Nabila, tapi entah kenapa yang merasa sakit hatinya justru Rahi sendiri. Dia bertanya-tanya: Kenapa Nabila ada di sini? Sepagi ini? Untuk apa? Hingga rasa penasaran mencapai titik pusatnya secara nyata. Rahi mempercepat laju tungkainya. Sampai tiba di depan pintu, Rahi merasa seseorang merampas hak bahagianya. Yang lagi Rahi dengar, “Kenapa? Karena kita bukan pacar, karena kita saudara tiri, di bawah atap yang sama kita tinggal berdua. Well, sekarang lo pura-pura muak karena kita pernah tidur bersama?”
Rahi mundur dan jatuh setelahnya. Lantas, untuk apa Rahi ada di sini? Untuk apa dia membuatkan dua bekal makanan? Sementara detik ini, Rahi menangis dan menolak sentuhan Willis ketika membantunya untuk berdiri. Tatapan mata Rahi jatuh untuk mereka, Willis dan Nabila yang sadar akan kehadirannya di tempat ini.
“Gue pikir, hati gue suci,” Rahi terkekeh sambil menggeleng, “tapi ternyata gue masih bisa membenci.” Rautnya kini berubah dingin.
“Ra!” Rahi lengser tanpa peduli. Willis Wiliam yang terus menyebut namanya sambil mencoba mengimbangi langkah Rahi. “Aku bisa jelasin.”
Rahi Dinata yang tak sudi.
“Ra!”
Rahi Dinata yang kian melangkah menjauh dengan pasti.
“Rahi!”
Sekali lagi, Rahi Dinata yang merasa cukup dengan semua ini. Dia menghempas kasar cekalan tangan Willis di lengannya. Willis memucat. Kepergian Rahi yang Willis lihat punggung kecilnya hilang di telan jarak. Lalu saat ini, bolehkah Nabila tertawa saking senangnya?
***
Sakit hati. Rahi tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya patah hati. Serius, tidak enak. Ingin teriak, tapi malah menangis. Parahnya, air mata Rahi tidak surut-surut. Intinya keadaan Rahi sekarang sangat tidak memungkinkan untuk dilihat orang-orang. Rahi ingin sendiri, tapi keadaan memaksanya untuk terlihat dan mengharuskan Rahi menahan tangis selama jam kampus berlangsung. Tidak mungkin dia bolos hanya karena putus cinta, kan?
Rahi merasa dibohongi. Selama dua tahun ini kira-kira apa artinya untuk Willis? Banyak sekali yang Willis tutupi dari Rahi. Fokusnya dalam belajar terbelah dua, beruntung dosen hanya datang untuk memberi tugas saja.
“Harusnya kemarin itu gue yang nanya,” kamu anggap aku apa?
Yang Rahi bisa hanya bermonolog seorang diri sambil mengupas masa-masa mereka sebelum ini. Ada banyak hal yang tidak Rahi ketahui, atau mungkin ada banyak hal yang baru Rahi ketahui. Ternyata selama ini, dua tahun lebih dan Rahi belum benar-benar mengenal Willis. Lantas, apa maksud hubungan yang pernah mereka jalani?
Sampai akhirnya jam kelas telah usai, Rahi melesat meninggalkan hal lain yang mencegatnya, mengabaikan seruan Marine dan Dion, serta mengabaikan eksistensi mahasiswa yang menatap aneh padanya. Rahi memilih untuk bersembunyi.
***
“Untuk apa, untuk apa cinta tanpa kejujuran.
Untuk apa cinta tanpa perbuatan. Tak ada artinya…
Untuk apa, untuk apa cinta tanpa pembuktian.
Untuk apa status kita pertahankan.
Bila sudah tak lagi cinta….”
Brak!
Semua tersentak. Willis yang datang membanting tasnya ke kursi kayu di pinggir Key. Lei, Leon, dan Kenzo yang sedang bermain tebak lagu seperti biasa terganggu oleh kemunculan lelaki itu. Bahkan Key yang sedang memejamkan matanya pun terlonjak karena ulah Willis. Terpaksa lagunya Maudy Ayunda yang berjudul Untuk Apa terpangkas.
“Lo kenapa?”
“b***h!” Leon semakin mengeryit, jarang sekali Willis berkata kasar. Pertanyaan Leon yang Willis abaikan.
“Muka lo kusut banget,” komentar Lei yang Willis anggap angin lalu. Serius, wajah Willis tidak mencerminkan aura persahabatan. Terlihat keras dengan alis tebalnya yang menukik tajam, bahkan rahang kokoh Willis saja terkatup rapat penuh gurat emosi.
“Gue gak lihat Rahi,” celetuk Kenzo sambil menyimpan gitarnya di pojokan. Karena Kenzo tahu, ketidakterlihatan Rahi hari ini ada sangkut pautnya dengan Willis. Sekarang saja Willis sampai memfokuskan diri padanya. Kenzo mengedikkan kedua bahunya tak acuh. “Dan gue gak tahu dia ke mana, di kelasnya nggak ada.” Secara terang-terangan Kenzo bilang, jika dirinya baru saja mencari keberadaan cewek orang. Aura Willis semakin terlihat tak tenang.
Melihat itu Key bangkit dari posisi nyamannya, dia menghampiri Willis dan menepuk pelan bahu kirinya. “Gue gak ngerti apa yang terjadi di antara kalian, tapi gue paham akan kegelisahan lo hari ini.” Key mencoba untuk membantu menenangkan sosok kawannya. Tubuh Willis yang semula kaku kini urat-uratnya mengendur secara perlahan.
“Untuk apa,” Willis bergumam, dia menatap satu persatu wajah sahabatnya, Willis kembali berucap, “jangan nyanyi lagu itu.”
Dan begitu saja Willis melenggang menyisakan semua mata memandangnya dengan heran. Tasnya pun Willis tinggalkan. Sampai pada pintu atap tertutup, saat itulah suara ponsel berdering nyaring.
***
Buat apa pacaran, jika salah satu genggam rahasia? Buat apa bilang cinta, kalau nyatanya dusta semua? Buat apa lama-lama berhubungan, kalau ujungnya bertahan tanpa arti? Dua tahun yang tenggelam hanya karena dua kata tidur bersama. Serius, Rahi muak.
Cukup satu hari Rahi meratapi kepedihan hatinya dengan air mata. Cukup satu hari Rahi bertanya-tanya untuk apa hubungan dua tahun mereka ada? Dan cukup satu hari Rahi bersembunyi, cukup kemarin saja dan sekarang tidak lagi. Mungkin bagi orang-orang yang melihat penampilan Rahi hari ini memiliki penilaian sok keren, karena pakai kacamata hitam ke kampus. Tapi serius, Rahi memakai benda itu hanya untuk menutupi mata sembabnya yang bengkak sebesar biji salak.
Dengan percaya diri tinggi Rahi melewati mahasiswa yang secara terang-terangan membicarakannya, Rahi tidak peduli. Namun, langkah Rahi tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menjadi kaku sebab pandangan mata mereka bertemu, tatapan tajam Willis yang bertubrukan dengannya. Ketika Willis mendekat, Rahi ingin menjauh. Tapi karena Rahi bukan sosok yang akan memilih lari dari kenyataan, maka saat ini dengan wajah datarnya Rahi pun berjalan seolah dunia isinya hanya dia saja. Sampai mereka berpapasan, tangan Willis yang mencekal lengan Rahi hingga gadis itu berhenti.
“Kita perlu bicara,” bisik Willis di sisinya. Rahi diam, tapi dia mengikuti apa maunya seorang Willis Wiliam. Memilih tempat aman dan jauh dari keramaian, Willis dan Rahi yang berdiri di bawah pohon rindang halaman belakang kampus mereka. Perlahan Rahi lepaskan kacamata hitamnya, tanpa peduli jika Willis akan tahu bahwa seharian kemarin Rahi menangisi sosoknya. Willis sampai bungkam, tatapan yang semula tajam berubah sayu.
“Sepuluh menit buat lo,” ucap Rahi mengawali.
Willis menghela napas pelan. “Kita belum putus … dan aku gak mau.”
“Tujuh menit,” desis Rahi mengingangatkan waktu.
“Yang kamu dengar kemarin nggak bener sepenuhnya.” Willis mencoba untuk mempersingkat cerita, “Nabila saudara tiri aku, orang tua kami menikah dua tahun lalu.” Rahi hanya memasang wajah betonnya, keras dan datar. Hingga Willis kembali katakan, “Dan sejak saat itu kami tinggal serumah. Awalnya bukan hanya berdua, tapi karena urusan bisnis mereka yang sama-sama satu perusahan, orang tua kami memutuskan untuk tinggal di LA.”
Rahi setia dalam bungkamnya, dia mempersilakan Willis untuk menguasai sepuluh menit waktunya. “Karena aku udah dewasa, Nabila juga, kami ditinggalkan untuk tetap tinggal di Indonesia. Alasan kenapa hubungan aku berakhir sama dia, dan alasan kenapa aku nerima kamu. Nggak mungkin kan kalau kami pacaran di tengah-tengah fakta bahwa kami udah jadi adik kakak?”
Serius, itu nyelekit. Rahi memalingkan wajahnya karena sakit jika dia terus menatap mata Willis yang sedikit pun tak ada dusta di dalamnya.
“Dua tahun aku putus sama Nabila, dua tahun aku pacaran sama kamu, dan dua tahun aku pegang kalian. For me, love is a greedy.”
Rahi mengerjap, dia mencoba menghalau air mata yang datang tiba-tiba. Hingga matanya berkaca-kaca karena merasa hatinya sedang terluka.
“Tapi aku—”
“Sisa dua menit,” tegas Rahi dengan vokal paraunya.
Willis tidak peduli, dia terus berkata, “Sama sekali nggak pernah tidur bareng Nabila.” Willis terus berucap tanpa jeda, “Tapi aku pernah ngajak dia untuk, ya … kamu tahu lah, manusia banyak khilafnya. Sinting emang, karena cuma gara-gara gak terima status baru kami, aku sampai berniat untuk memiliki Nabila secara ilegal, saat awal pertama aku putus sama dia.”
Jadi waktu itu, saat Rahi bilang ‘Aku suka kamu. Kamu pacar aku, setuju nggak?’ Dan Willis katakan, “Aku setuju, jawaban itu adalah hari pertama di saat kita pacaran—”
“Sebagai pelampiasan?” Rahi memangkas kalimat Willis sambil terkekeh, “karena gak bisa move on, karena gak bisa nutup hati buat dia, karena gak bisa suka sama gue, tapi karena lo patah hati dengan status saudara tiri … kita pacaran.” Ucapan sendiri menjadi boomerang di hati Rahi. Dia merasa tertohok akan fakta yang ada. Meskipun kini matanya semakin berkaca, tapi Rahi tak berhenti tertawa. “Lucu,” katanya.
Willis menggeleng. “Itu dulu, Ra. Sekarang udah nggak.”
“Wah … sebego itu, ya, gue?”
“Ra, nggak gitu. Meski awalnya emang iya, tapi setelah dua tahun itu lewat dan ganti jadi hari ini, semuanya salah.” Willis yang bilang, “I'm yours. I love and I like you without any interference in the past. Ra, please trust me. Masa lalu dan masa sekarang udah beda.”
Yang ada Rahi terkekeh, dia melirik sekilas jam tangannya. “Udah sepuluh menit. Gue gak tahu apa yang lo omongin,” Rahi memberanikan diri menatap wajah Willis yang sulit dia baca ekspresinya, “tapi gue paham, semua itu bulshit!”
Pertama kali Willis benci sebuah senyuman. Sebab yang Rahi kibarkan seperti lengkungan sabit perpisahan. Karena sudah sepuluh menit, tanpa kata Rahi memakai kembali kacamatanya. Dia mundur dan lalu berbalik meninggalkan Willis yang enggan beranjak dari sana. Mungkin ini akan terdengar gila. Mungkin ini akan terdengar buruk di telinga. Tapi serius, Willis bergumam tanpa mengalihkan tatapan matanya dari punggung Rahi.
“Nanti, akan aku buat ucapan ini jadi nyata. Rahi is mine … and will never change.”
***
“Gue udah ganteng belum?”
Bian belum pernah merasa sekikuk ini saat akan menyatakan perasaan. Walaupun tampilannya cupu dan super caplin, tapi kalau soal perempuan Bian itu gentle sekali. Sialnya, Kris malah geleng-geleng sambil bilang, “Your style is bad. Dua jempol gue turun ke bawah semua buat lo.”
Bian berdecak. “Apa lagi yang kurang? Kacamata udah gue lepas, bela-belain pakai lensa meski gue gak biasa,” keluh Bian akan penampilannya yang selalu Kris bilang buruk. Xian terkekeh. “Coba ganti bajunya pakai kemeja putih aja, siapa tahu daya pikat lo ada di sana.”
Bian mendengkus. Sudah tujuh kali ganti, sudah tujuh kali dia membenahkan diri dan yang ketujuh kali itu tetap saja dia setuju. Bian memakai pakaian seperti yang Xian sarankan, sekaligus menata gaya rambut yang semalam Bian beri warna atas kehendak teman-temannya. Memakai jam tangan dan segala rupa yang menurutnya pantas dia kenakan.
“Serius, gue capek bolak-balik ganti baju.” Suara Bian yang berhasil mengalihkan dunia mereka, antara Xian dan Kris tidak ada yang berkedip lebih dulu. Sampai pada Bian berkata, “Ngeri, anjir! Tatapannya biasa aja, gue berasa jadi mangsa jatuh cinta lo berdua.”
Kris dan Xian bangkit bersamaan. Mereka berkedip serempak dan menyeringai penuh makna. “Kalau sampai lo ditolak, gue akan bantu santet online tuh si Rahi,” celetuk Kris berniat menyemangati. Xian pun turut bersuara, “Cepet berangkat! Bilang cinta pakai kedipan mata, siapa tahu di terima.”
Karena hari ini, rencana itu akan Bian laksanakan.
***
Memang belum dua belas hari. Kenzo sudah menunggu dan berhasil mendapatkan empat angka nomor telepon Rahi. Lumayan, daripada tidak sama sekali. Lalu saat ini, Kenzo melihat sosok itu dengan kacamata hitam di wajahnya. Rahi melewati tubuh Kenzo dengan langkah terburu.
“Ra!” refleksnya menyebut sebuah nama, “Rahi!” Tapi panggilannya tiada arti, Rahi terus melangkah tanpa peduli jika sejak tadi suara Kenzo berusaha menginterupsi.
Sampai tiba di koridor depan kelas Hukum 2A, pijakan Kenzo terhenti. Dengan mata kepalanya Kenzo melihat sosok itu yang menghempaskan tubuhnya sendiri ke pelukan Marine, Rahi yang suara isak tangisnya Kenzo dengar saat ini, jarak mereka tidak jauh.
Kata Rahi, “Gue marah!” Kenzo dengar dengan baik. “Tapi gue sayang,” itu Rahi yang bilang, “dua tahun yang sia-sia!” sambil menangis.
Dan Kenzo saksikan, cerita yang Rahi koarkan dalam dekapan sang kawan, Marine yang saat ini mencoba menenangkan sambil menepuk-nepuk punggung Rahi. Ketika mata Marine menatap keberadaan Kenzo, maka saat itu Kenzo bereaksi. Dia menekan bibirnya sendiri dengan satu jari telunjuk, menandakan bahwa Marine harus diam.
“Jangan nangis, banyak orang yang lihat,” Marine menjeda, “jangan curhat di sini, nanti banyak yang tahu kalau lo udah jadi jomblo.”
Dalam hati Kenzo tersenyum. Mungkin apa yang Marine katakan adalah kode untuk dirinya, jika peluang sudah menanti di depan mata, hanya tinggal tancap gas saja. Masa bodoh dengan dua belas hari, masa bodoh dengan kelengkapan nomor telepon, dan masa bodoh dengan Willis—sahabatnya sendiri—yang akan dia realisasikan sebuah cerita baru untuk persahabatan mereka. Mata Kenzo yang saling bersitatap dengan Marine, saat itulah kesempatan di mana bibir Kenzo bergerak tanpa suara. Katanya, “Gue tunggu di parkiran, ajak Rahi ke sana.”
Kenzo ulangi tiga kali agar Marine mengerti. Sampai pada anggukan kepala Marine berikan sebagai tanda persetujuan, meskipun Marine ragu. Kemudian Kenzo melesat seperti katanya, di parkiran hari ini.
***
Bian sudah siapkan bunga tulip, karena dia tahu jika Rahi penggila kembang itu. Lain halnya dengan Willis yang ke sana kemari mencari keberadaan Rahi.
Kemarin, ada panggilan masuk di ponselnya yang tidak terjawab. Rupanya itu dari Rahi, Willis baru memainkan lagi benda canggih itu setelah vakum seharian karena pikirannya runyam. Yang Willis pertanyakan adalah, kenapa Rahi menghubunginya kemarin? Ada apa di saat dia mencari gadis itu, tapi Rahi sendiri malah berlari menjauh. Namun, Rahi tetap memberinya kabar berita lewat status panggilan tak terjawab tersebut. Dan bodohnya baru Willis cek keadaan ponselnya setelah percakapan sepuluh menit mereka. Maka, sekarang Willis berusaha mengelilingi jagat kampus demi menemukan satu orang hidup, yaitu Rahi Dinata yang rupanya Willis lihat sedang berjalan menuju arah parkiran.
Mungkin gelar berengsek pantas Kenzo dapatkan setelah ini, atau mungkin dia lebih pantas mendapatkan pangkat tukang-tikung yang hakiki. Serius, Kenzo tidak main-main dengan keputusannya yang saat ini menggenggam batang cokelat di belakang tubuhnya. Dan saat Rahi diikuti Marine memasuki kawasan parkiran, Kenzo kibarkan sebuah senyuman.
“Mana yang sekarat?” tanya Rahi panik kepada Kenzo satu-satunya orang di tengah parkiran. Sedikit mengeryit tak paham, Kenzo lemparkan ekspresi bertanyanya kepada Marine yang mengedikkan kedua bahunya tak acuh.
“Ken, lo oke?” tanya Rahi, dibalas dengan tawa renyah dari Kenzo.
“Nggak ada yang sekarat, Ra. Di sini adanya gue yang lagi nunggu lo.”
Rahi menoleh ke Marine, dan berucap untuk Kenzo, “Tapi tadi Marine bilang ada orang sekarat di sini,” dan mungkin itu Willis, makanya gue lari, “ternyata nggak ada. Terus ngapain gue panik?” celoteh Rahi, dia merasa lega entah karena apa.
Sekali lagi Kenzo tertawa, lalu maju selangkah mendekatkan diri. “Ra?” Posisi mereka berhadapan, Rahi menaikkan satu alis matanya sebagai respon tanda tanya. Tanpa disangka-sangka tangan Kenzo yang sejak tadi bersemayam di belakang tubuhnya dia keluarkan. Sebatang cokelat yang Rahi yakini itu beli di kantin, Kenzo serahkan kepada dirinya sambil berkata, “Be mine, please?”
Mendengar itu Marine melotot, karena ucapan Kenzo serempak dengan hadirnya sosok lain di sana.
“Lo ngomomg apa?” tanya Rahi langsung pada intinya, “itu cokelat simbol cinta apa gimana?” niatnya hanya bercanda. Namun, mengapa kepala Kenzo mengangguk penuh gurat serius yang nyata?
“Jadi pacar gue, please….”
Rahi refleks mundur dan menjatuhkan rahangnya. Apa-apaan coba? Rahi mengalihkan atensinya ke sembarang arah asal tidak menatap mata Kenzo. Dan saat itu, pandangan Rahi bersirobok dengan lensa pekat Willis di samping kirinya. Kenzo pun sama. Dia sampai yakin Rahi akan menolaknya. Dan setelah ini Willis akan menertawakan tindakan kurang ajarnya.
“Gue cinta Rahi. Nggak main-main,” tekan Kenzo tak acuh dengan keberadaan Willis yang jelas mengancamnya.
“Ra—”
“Gue mau!” Kalimat Willis yang Rahi pangkas dengan kecepatan luar biasa. “Cinta datang karena terbiasa, sekarang gue emang belum merasakan apa-apa. Tapi kalau besok siapa yang tahu? Ken, gue mau jadi pacar lo.”
Detik itu juga banyak bom yang meledak di sana. Marine linglung akan situasi yang ada. Rahi tak percaya tentang apa yang keluar dari lisannya sendiri. Kenzo beserta Willis yang memiliki keterkejutan berbeda. Jika Willis disertai kecewa, maka Kenzo tertawa penuh tanda tanya.
“Jadi, kita pacaran?”
Ketika Rahi mengangguk, dan ketika itu seseorang yang baru menjatuhkan bunga tulipnya di parkiran. Kenzo Cahyo Kusumo menerjang Rahi dan membawanya dalam pelukan. Dengan ekspresi Willis Wiliam yang sulit dijabarkan. Maka, lain halnya dengan Bian Banyumas. Marine hanya bisa bergaya layaknya patung yang kehilangan jati diri, seakan bertanya: apa yang terjadi?
***