Suasana berubah menjadi canggung seketika. Baik Abian maupun Rhea masih betah dengan tatapan saling terkejutnya yang membuat Nara kebingungan. Lalu, Nara berusaha mencairkan suasana itu dengan bertanya, “Kamu sudah mengenal Pak Abian, Rhea?”
Rhea sendiri tidak tahu harus menjawab apa. “Aku ….”
Belum selesai Rhea menjawab, Abian langsung memutus kalimat Rhea. “Nara tolong tinggalkan kami berdua! Ada hal yang harus kami bicarakan secara pribadi.”
Perintah Abian jelas tidak bisa ditolak Nara meskipun wanita berambut panjang itu sangat penasaran. Hanya saja, Nara tidak punya wewenang untuk bertanya lebih jauh. Akhirnya, Nara hanya bisa mengangguk dan keluar dari ruangan Abian.
Menyisakan Rhea dan Abian di sana, suasana seolah semakin menegangkan. Apalagi tatapan yang Abian tunjukkan kepada Rhea seperti mengisyaratkan hal lain.
“Ini semua terasa janggal,” ucap Abian tiba-tiba sambil bersedekap dan terus menatap Rhea dengan memicingkan matanya. “Tidak mungkin ini semua hanya kebetulan. Semua pasti sudah kamu rencanakan, kan?”
“Hah? Maksudnya?” Rhea jelas mempertanyakan maksud ucapan Abian. Ia sudah tidak mempedulikan lagi bahasa formal yang seharusnya ia gunakan saat berbicara dengan sang atasan seperti saat ini. “Kamu nuduh aku?”
“Jujur saja. Kamu pasti sengaja masuk ke kamarku, kan malam itu? Kamu pasti akan mengancamku dengan hal itu jika kamu tidak diterima kerja di sini. Iya, kan?”
Rhea mengerutkan alisnya seketika. “Wah … enggak waras pria ini!” gumamnya dalam hati.
Rhea mendengkus kasar sebelum menjelaskan, “Maaf yah, Pak CEO yang terhormat. Sepertinya sebelum Anda memutuskan untuk menuduh saya sembarangan, Anda harus memeriksa kebenarannya dulu.”
Rhea mengambil kertas dari map coklat yang sejak tadi dibawanya dan menunjukkan tulisan kertas itu tepat di depan wajah Abian. Katanya, “Apa Anda bisa lihat nilai tes saya berapa di sini? Anda tidak rabun, kan? Jika sudah lihat, tahu, kan kenapa sekertaris Anda memilih saya?”
Abian memang sempat melirik hasil tes yang ditunjukkan Rhea di depannya. Hanya saja, ia belum bisa sepenuhnya percaya dengan Rhea dan masih beranggapan jika Rhea memang sengaja menjebaknya malam itu.
Belum sempat Abian berbicara lagi, Rhea langsung memutus pembicaraan. “Gimana? Puas lihatnya? Ini, pegang! Biar Anda semakin puas melihatnya. Saya permisi!” Rhea menjejalkan kertas itu beserta mapnya ke tangan Abian sebelum pergi dari ruangan Abian sambil terus mengumpat.
Ya, wanita itu terlanjur marah dengan sikap yang Abian tunjukkan. Rhea memutuskakn pergi begitu saja meski harus melepas kesempatan emas yang sudah ia damba dari dulu.
“Dia ninggalin aku gini lagi? Apa dia berharap aku akan mengejarnya dan memohon kepadanya untuk tidak membocorkan kejadian malam itu?” Abian terkekeh, menertawakan sikap Rhea yang berlagak jual mahal. Padahal, jelas-jelas Rhea sendiri yang sengaja menyerahkan tubuhnya kepada Abian malam itu.
Tentu saja, Rhea adalah wanita pertama yang berani meninggalkannya seperti ini. Jika biasanya wanita yang telah ditidurinya cerendung akan berusaha menghubungi Abian lagi, tapi Rhea tidak begitu.
Hal itu tentu membuat Abian semakin penasaran dengan semua hal yang berhubungan dengan Rhea. Entah kenapa, malam itu masih saja terngiang sampai sekarang hingga Abian berkeinginan mengulanginya lagi bersama Rhea.
Abian mulai perhatikan hasil tes beserta CV Rhea yang berada di tangannya. Senyum liciknya kembali mengembang saat bergumam, “Jadi … namanya Rhea? Wanita yang cukup menarik.”
Abian lantas meraih ponselnya dan segera menghubungi asisten pribadinya. “Hallo, Roy. Cari informasi dari wanita yang bernama Rhea. Aku butuh sekarang juga!”
***
Rhea terpaksa pulang meski rasa kecewa dan kesal bercampur menjadi satu dalam kepalanya. Ia tidak punya tujuan lagi selain pulang ke rumah setelah melepas kesempatan emasnya. Rhea sempat berdiam diri di depan pintu rumahnya sembari memikirkan segala hal buruk yang terus menimpanya belakangan ini.
Jika biasanya ia punya Angga, sosok laki-laki yang selalu mendengarnya ketika ia tidak punya tempat untuk berkeluh kesah. Namun, kali ini berbeda. Laki-laki itu sudah menjadi mantan karena kepergok selingkuh dengan teman Rhea sendiri yang membuat Rhea sangat frustasi.
Rhea bahkan masih ingat saat memergoki Angga tengah b******u mesra dengan temannya sendiri di sebuah kelab malam. Hal itu yang membuatnya memutuskan mabuk agar bisa melupakan kejadian itu. Hanya saja, Rhea tidak pernah menyangka jika ketidak sadaran dirinya malam itu malah membawanya salah masuk kamar dan membuat petaka besar untuknya.
Sejenak, ia jadi teringat dengan suara desahan dan hujaman kasar dari Abian malam itu. d**a lebar dengan otot tangan Abian yang terbentuk, seketika terlintas dalam benaknya.
“Astaga ... bisa-bisanya aku malah keinget sama pri b******k itu! Argh, sial!” Rhea segera menggeleng cepat serta memukuli pipinya yang mulai memanas.
Mengalihkan pikiran kotornya, Rhea akhirnya masuk ke dalam rumah. Harapannya bisa disambut hangat oleh mamanya langsung pupus karena mamanya terlihat melotot tajam ke arahnya ketika ia melintas.
“Dari mana kamu, Rhe?” tanya wanita paruh baya yang Rhea panggil dengan sebutan mama.
“Rhea habis interview, Ma. Mama kan tau sendiri,” jawab Rhea singkat tanpa berhenti saat melewati mamanya.
“Interview? Sepagi ini sudah selesai? Kamu bohongin Mama?”
Lagi, Rhea selalu merasa dirinya tidak pernah mendapat kepercayaan dari keluarganya sendiri.
Belum sempat menjawab, wanita paruh baya itu kembali bertanya kepada Rhea dengan nada menuduh. “Kemarin lusa juga kamu enggak pulang, kan? Nginep di mana kamu sama Angga?”
Rhea berdecak kesal dan terpaksa menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadap ke mamanya dan menjawab dengan kesal. “Tumben Mama perhatiin Rhea. Bukannya Mama cuma perhatian sama anak Mama yang satunya?”
“Rhea, jaga ucapan kamu, ya! Kenyataannya memang seperti itu. Kakak kamu memang lebih bisa menjaga diri. Lihat! Sekarang dia menjadi manager di perusahaan besar atas kerja kerasnya. Calon suaminya juga seorang CEO perusahan besar. Seharusnya kamu bisa mencontoh kakak kamu. Jangan keluyuran enggak jelas setiap hari.”
“Keluyuran? Jadi selama ini Mama anggepnya aku gak ada usaha buat dapetin pekerjaan yang mapan, gitu?” Rhea tersenyum. Hanya saja, senyumannya jelas bukan menunjukkan kebahagiaan. Melainkan senyuman penuh kekecewaan dan kegetiran. “Lalu, Mama yakin calon suami kak Ratu adalah pria yang baik?”
“Tentu saja. Dia itu pria yang sopan dan selalu membawa banyak buah tangan kalau ke sini. Kamunya aja yang selalu keluyuran dan gak pernah ada di rumah tiap pacar kakak kamu main ke sini. Jadi, mana tahu kamu tentang dia?”
Rhea terkekeh. Menertawakan pemikiran sang mama yang hanya menilai seseorang dari penampilan luar saja. Sedangkan Rhea tahu bagaimana bej*dnya calon menantu yang dibanggakan sang mama.
Merasa malas karena ucapannya tidak didengarkan, Rhea tidak menanggapi mamanya lagi. Dia berbalik dan segera menuju kamarnya tanpa sepatah katapun.
“Rhea! Tunggu! Mama belum selesai bicara!”
Teriakan mamanya jelas tidak mengurungkan niatnya untuk tetap pergi. Dia segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan keras.
Meski berlagak kuat, sebenarnya Rhea sangat rapuh. Mau ditahan bagaimanapun, akhirnya air matanya luruh juga. Keluarga yang diharapkan bisa merangkulnya saat ia sedang ada masalah, nyatanya tidak pernah ada untuknya. Ia seperti hidup sendiri meski berada di tengah-tengah keluarganya.
Ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menangisi semuanya. "Kenapa hidupku gini amat, ya? Apa sih salahku?" Dia terus merenungkan nasibnya sambil menangis hingga tertidur tanpa di sadari.
Lalu, guncangan kasar pada lengannya seketika membangunkannya. Saat Rhea membuka mata, Ratu ternyata sudah berdiri di dekat ranjangnya dengan raut kesal. “Bangun! Cepetan mandi terus turun buat makan malam. Semua sudah menunggu.”
“Makan malam?” gumamnya pelan sambil melirik jam dinding di sisi kirinya. Rhea sendiri baru menyadari jika ia tertidur selama itu.
“Cepetan!” perintah Ratu lagi. Wanita itu menjauhi Rhea dan kembali berpesan sebelum meninggalkan kamar Rhea. “Berpenampilan yang sopan nanti kalau turun. Dan jangan kacaukan semuanya, ingat!”
Rhea masih berusaha mencerna semua ucapan kakaknya. “Kacaukan? Ngomong apa sih kak Ratu?”
Rhea hampir tak menggubris kakaknya dan hampir kembali memejamkan mata. Namun, perutnya ternyata menabuh genderang lebih dulu dan memaksanya untuk segera bangun. “Duh … laper banget lagi.”
Akhirnya, Rhea menuju kamar mandi dengan malas. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian ia segera keluar dari kamar menuju meja makan.
Namun, saat hampir mendekati meja makan, ia mendengar adanya suara lain yang bukan berasal dari anggota keluarganya. "Apa ada tamu?" tanyanya dalam hati.
Merasa penasaran, Rhea langsung menuju meja makan tanpa pertimbangkan apapun yang akan terjadi. Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat sosok yang ia benci turut berada di sana sambil menyantap makan malam bersama keluarganya.
“Rhea! Kakak kan sudah bilang ke kamu buat berpakaian sopan?” Ratu lebih dulu berkomentar sambil melotot ke arah Rhea. Ia buru-buru menjelaskan kepada pria yang duduk di sebelahnya. “Maaf ya, Sayang. Adikku memang enggak bisa diatur.”
Kedua orang tua Rhea juga turut menatap Rhea dengan tajam seolah kecewa dengan Rhea.
Namun, bukan itu fokus Rhea. Fokusnya hanya tertuju dengan senyum Abian di sana yang penuh dengan kelicikan saat menjawab ucapan Ratu. “Enggak apa-apa. Jadi … dia adik kamu?”