"Tugasmu adalah mempersiapkan apa yang aku perintahkan. Bukan menjadi penasehat apa yang telah aku putuskan. Paham?" suara Bariton itu seketika membuat wanita berumur empat puluhan itu merinding karena takut. "Mengenai orang lain, tidak perlu kamu pikirkan. Tugasmu adalah melindungi Windy yang akan menjadi istri sahku. Jangan sampai sesuatu terjadi padanya. Didik dia seperti yang aku inginkan dan butuhkan. Jadikan dia wanita yang memang aku inginkan. Paham?"
"Baik, Tuan. Saya hanya mengingatkan karena ini pernikahan perdana Tuan yang resmi tercatat di negara, Tuan." jawabnya tak ingin lebih di salahkan jika terjadi sesuatu nantinya.
Sayangnya niat baiknya justru membuat Swan sedikit kesal hingga sebuah gelas di meja Swan melayang ke tubuhnya.
"Aku sudah katakan bukan? Kau hanya melakukan apa yang aku perintahkan. Mengenai apa yang aku lakukan adalah keputusanku. Siapa wanita yang akan menajdi istri sahku di negara itu urusanku. Kau harus tahu bahwa aku adalah pria yang tepat janji. Aku sudah berjanji kepada pria tua renta itu untuk menikahi cucunya secara agama dan negara. Dan aku tidak mungkin ingkar atas permintaan itu. Apa artinya sebuah catatan sipil? Tidak akan mempengaruhi seorang Swan Arthur Livingston. Ingat itu?!" cecarnya membuat wanita itu menundukkan kepalanya dan menjawab dengan lembut.
"Baik, Tuan." jawabnya sembari menundukkan kepala dengan kedua tangan terlipat di perut. Lalu dia keluar meninggalkan ruangan kerja milik Tuannya dan melangkah keluar. Matanya melihat Hansen yang tengah menyusun dekorasi ruangan.
Dia mendekat kearah Hansen dan berbisik. "Ada apa dengan Tuan? Kenapa terkesan buru-buru di pernikahan kali ini. Di tambah kali ini pernikahannya di catat negara. Bagaimana jika Nyonya mengetahuinya?" bisiknya sedikit kawatir dengan keadaan.
"Kali ini aku juga tidak memahami jalan pikiran Tuan Swan. Sepertinya dia memiliki pertimbangan lain. Kita tetap waspada saja..." jawab Hansen lalu dia melangkah mendekat kearah Swan yang keluat dari ruang kerjanya.
Swan terlihat menyapa penghulu yang datang sekaligus wali hakim dan para saksi yang mereka siapkan. Mereka memulai membacakan ijab qabul setelah Windy hadir di tengah-tengah mereka dengan mata memerah seperti sehabis menangis.
"Bagaimana saksi? Sah?" tanya pengulu itu dan di jawab oleh saksi dengan serempak.
"SAHH...."
"Alhamdulillah..." jawab penghulu itu lalu membaca doa.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya tinggal mereka yang berada di villa mewah milik Swan. Terlihat Swan sedang membahas sesuatu yang serius dengan Hansen di ruang kerjanya, sedangkan Windy sendiri di kamar pengantin dengan perasaan yang sulit dia jelaskan. Antara marah kesal dan kecewa.
"Ternyata aku benar-benar telah menikah. Maafin aku Zidan. Bukan maksudku untuk menghianatimu. Tapi saat ini aku tak memiliki daya dan upaya untuk melawan..." isaknya sembari berdiri menatap pohon pinus.
Tok! Tok!
Sebuah ketukan halus membuatnya mengusap air matanya dengan cepat. Dia memejamkan matanya lalu menoleh melihat siapa yang datang.
"Permisi, Nyonya. Perkenalkan saya Melina, saya yang akan melayani Nyonya mulai sekarang. Jika Nyonya membutuhkan sesuatu katakan saja pada saya..." ucap wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu membungkukan tubuhnya dengan kedua tangan mendekap d**a. Membuat Windy menghela nafas panjang.
Apa-apaan sih ini? Pakai pelayan pribadi segala. Aku bosan hidup di kekang. Aku butuh hidup bebas. Pleaee!
Melihat Windy termenung melihatnya wanita itu melanjutkan kalimatnya dan meraih paper bag yang dia taruh di lantai sebelum memperkenalkan diri.
"Nyonya, ini ponsel yang akan anda gunakan mulai saat ini." tuturnya sembari memberi ponsel keluaran terbaru sebuah brand ternama asal Amerika.
Windy menautkan dahinya. "Ponsel lama saya masih bagus, loh. Kenapa harus di ganti? Saya tidak butuh ponsel baru. Saya pake ponsel lama saya saja..." jawabnya santai.
"Maaf, Nyonya. Tuan mengambil semua barang bawaan anda. Dan Tuan telah menyingkirkannya..." ucap wanita yang memperkenalkan diri sebagai Melina.
"Di ambil? Biar apa coba, dia ambil hp aku?" tanya Windy membulatkan matanya. "Dia dimana?" imbuhnya kemudian.
"Siapa yang Nyonya maksud? Tuan?" tanya Melina lagi dengan sabar.
"Iya. Pria yang nyingkirin barang aku. Siapalah itu namanya..." jawab Windy sedikit kesal.
"Tuan sedang meeting di ruang kerja dengan Hansen, Nyonya. Tidak bisa di ganggu..." jawab Melina membuat Windy memutar otaknya.
"Sekarang jam berapa?" tanyanya membuat Melina menjawab cepat.
"Jam sepuluh malam Nyonya..."
"Kalau begitu tunjukan dimana pria itu berada..." Windy menggandeng tangan Melina hingga membuat Melina terkejut di buatnya. "Cepat tunjukkan jalannya dimana pria itu..." tandas Windy lagi.
"Ada apa Melina?" tanya suara tegas seorang wanita membuat Windy menoleh dan mendengkus kesal.
Ini wanita yang mengatur-ngatur aku seenak jidatnya tadi bukan? Oke. Aku akan kerjain kamu...
"I-ini..." jawab Melina terbata-bata dengan sorot mata ketakutan melihat wanita itu ada di hadapannya.
"Aku meminta Melina untuk menunjukkan dimana suamiku. Kenapa? Salah?" tandas Windy membuat Melina terkejut dengan jawaban wanita yang harus dia jaga mulai hari ini.
Tak hanya Melina, wanita berusia empat puluh tahunan itu juga terlihat terkejut dengan sikap berani wanita yang sejak kedatangannya lebih banyak diam termenung dan meneteskan air mata.
"Kenapa? Apakah aku tidak boleh bertemu dengan suamiku? Jangan lupa, ini adalah malam pengantin kami..." jawab Windy sembari mengerlingkan sebelah matanya hingga membuat wanita itu melangkah mundur tak menyangka dengan sikap istri sah majikannya ini.
"Yuk, Mel. Anterin aku. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu suamiku..." ajak Windy lagi membuat Melina yang baru saja mendapat tatapan mata tajam dari leadernya menunduk takut.
"Maaf, ya. Aku pergi dulu. Kamu istirahat saja, karena aku belum membutuhkan bantuanmu..." jawab Windy sembari menyunggingkan senyum.
Mereka terus melangkah menuruni tangga hingga berhenti ke sebuah ruangan dengan pintu tertutup.
"Ohh, jadi ini ruangannya? Oke, tugas kamu sampai di sini. Selanjutnya biar aku yang masuk. Kamu tidak usah ikut campur daripada kamu yang kena.." perintah Windy tak lama kemudian dia mengetuk pintu dan membukanya tanpa menunggu jawaban dari orang di dalam.
Hingga membuat wajah mereka menegang, mata elangnya seolah menembus langsung kejantung. Tapi Windy rela melakukan apapun demi kembalinya ponsel miliknya, dimana banyak kenangan masa lalunya baik bersama sang kekasih ataupun mbok Darmi pengasuhnya.
"Kenapa sudah selarut ini masih di sini?" tanya Windy sembari melipat tangannya di d**a menatap kearah Swan yang sempat menegang sejenak.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" ketus Swan menatap kearah Windy dengan bingung.
"Apakah salah aku mendatangi suamiku? Dan memintanya untuk menikmati malam pengantin?" ucap Windy santai membuat Swan terkejut dan membelalakkan matanya melihat tingkah aneh wanita di hadapannya yang cukup berani padanya.
"Jangan macam-macam kamu? Kembali ke kamar dan tidur!" perintah Swan lalu dia memanggil asisten sang istri.
"Melinaa..."
Menyadari jika sang suami akan menyalahkan Melina, dia segera menyahut.
"Memangnya salah, jika seorang pengantin wanita meminta pengantin prianya untuk fokus pada pernikahan?" tanya Windy semakin berani hingga membuat Swan terdiam dengan wajah memerah. Merasa tak akan menang dirinya menoleh kearah Hansen dan dua pria lainnya untuk meninggalkannya.