Kode Sandi

1015 Kata
"Bagaimana apakah kau bisa membuka kata sandinya?" tanyanya dengan rasa penasaran setelah melihat Hansen, asisten pribadinya mengotak-atik layar ponsel itu. "Ini, Tuan." Hansen menyodorkan ponsel yang baru saja dia buka kata sandinya. Dengan sedikit ragu, Swan menerima ponsel itu. Setelah mengamati ponsel itu, lalu dia menyimpannya kembali ke dalam laci. Harga dirinya terlalu tinggi untuk sekedar menikmati hidup dengan sesekali kepo atas kehidupan orang lain. "Aku terlalu sibuk untuk memeriksanya hari ini. Lagian aku tidak memiliki kepentingan di dalamnya. Aku hanya kesal dan ingin membuatnya putus asa dan merasa tersiksa hidup denganku. Setelah penipuan yang di janjikan si tua bangka itu. Dia menjanjikan cucunya yang berusia tujuh belas tahun sesuai perjanjian awal. Ternyata dia menyodorkan sampah yang bahkan tidak tahu terimakasih dan berani memanggilku Om!" Hansen hanya mendengarkan dengan seksama akan celotehan sang tuan kepadanya. Terlihat jelas jika harga diri Tuannya sedang sedikit terluka sehingga dirinya tak berani untuk menyela. "Kau, bukankah tugasmu memeriksa uji coba obat terbaru dari team kita? Kenapa kau di sini?" Swan tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sulit untuk di jawab jujur. Hansen menahan nafasnya sejenak. "Tuan memanggil saya, sehingga saya kembali lagi setelah hampir meninggalkan Villa..." jawaba. Polos Hansen membuat Swan meremas kertas di hadapannya. "Yasudah kembalilah. Pastikan obat itu bisa launching tepat waktu. Aku tidak mau mengulur waktu lagi. Ingat itu, kita harus menguasai pasar..." tegas pria bertubuh tinggi tegap dengan kemeja putih terlipat selengan yang membuat aura ketampanannya semakin terpancar. "Baik, Tuan. Saya permisi..." Hansen memutar tubuhnya dan meninggalkan Swan yang masih terdiam karena matanya melihat pemandangan yang tak biasa. Di bawah sana dia melihat Windy duduk bersandar di tong sampah dengan lesu. "Apa yang dia lakukan disana. Kenapa dia tidak merasa jijik. Sekotor itukah wanita yang aku nikahi. Astaga!" Tangan kekarnya menekan tombol telpon PABX yang menyambungkan ke seluruh bangunan villa mewah dengan fasilitas lengkap itu. "Pos satu, monitor...Tuan..." sebuah suara menyahut dari balik telpon ketika Swan menekan tombol angka di atasnya. "Apa kerja kalian hingga membiarkan Nyonya mengobrak-abrik tong sampah?! Kalian pikir istriku adalah pemulung, hah?!! Urus itu segera!!" Swan menutup telpon sebelum orang di seberang sanggup untuk menjawab. Dan tak lama setelah dia menutup telpon, terlihat tiga orang wanita berlari tunggang langgany menuju Windy berada, di susul dua orang lagi dan salah satunya adalah Melina. "Nyonya. Apa yang Nyonya lakukan di sini? Segera kembali ke kamar." tegas suara wanita berusia empat puluh tahun yang terlihat berbeda dan lebih tegas. "Astaga! Bau apa ini..." lalu matanya menoleh kearah wanita-wanita berseragam safari itu dan menampar mereka satu persatu dengan kilat, hingga membuat Windy yang baru saja hendak menjawab langsung terdiam. "Apakah kalian anak kecil?! Bisa-bisanya kalian membiarkan Nyonya mengobrak-abrik tong sampah! Kalian mau kehilangan satu mata kalian sebagai gantinya, hah?!" teriakan wanita itu semakin mengejutkan Windy hingga dia lupa sejenak tentang ponselnya. Windy bangkit seketika menatap wanita itu. Yaelah...serem amat dah. Sampe-sampe mo cungkil mata. Mending aku manut dulu dah sambil lihat situasi. Gimana sih sebenernya orang-orang ini. "Penanggung jawab!! Ambil posisi sujud!" suara itu kembali mengejutkan Windy, terlebih ketika melihat Melina dengan sigap bersujud dan di tendang oleh wanita itu sekuat tenaga hingga membuat Melina terpelanting. "Bersihkan tubuh Nyonya dan bawa Nyonya untuk istirahat. Besok akan ada perjamuan bersama tamu dari Inggris. Kalian mau melihat Nyonya kumal dan bau? Apakah kalian mau kehilangan satu jari kalian?!" teriakan itu semakin membuat Windy merinding. Ini yang aku nikahi ketua mafia atau gumana sih? Kenapa serem amat yak? Belum sempat lamunannya kemana-mana. Tangan Windy sudah di genggam dan di tuntun menuju sebuah ruangan untuk membersihkan diri. Semua itu tak luput dari pantauan pria tampak dengan sorot mata dingin itu. Hingga pandangannya di alihkan oleh suara dering telpon ternyata itu adalah panggilan dari istri siri yang pertama kali dia nikahi. Indah Nurmala sari. "Ada apa menelponku?" tanyanya dingin. "Sayang, apakah kau jadi menikah hari ini? Aku hanya ingin memberimu selamat..." suara serak-serak basah nan seksi di seberang membuat Swan memejamkan mata. "Tidak perlu kau ikut campur urusan pribadiku. Kau hanya perlu memberikan anak bagiku. Kalau dalam setahun ini kau tak ada perubahan. Maka aku juga akan mencampakkanmu. Camkan itu..." Swan mematikan panggilannya dan menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba sakit. Sementara di tempat yang berbeda. Windy telah di bawa ke kamar di temani oleh Melina yang saat ini sedang memijit pergelangan kakinya. Sedangkan tiga orang lagi sedang menjaga dengan ketat. Jangan di tanya kemana perginya wanita berusia empat puluh tahun itu. Tentu saja dia kembali ke pos jaga dan menunggu perintah selanjutnya. Setelah dirinya memberi perintah kepada teamnya untuk mengurus Windy wanita yang di nikahi tuannya secara resmi. Setelah menyelesaikan semuanya, Melina dengan lembut berbisik kepada Windy yang tampak tertidur efek pijitannya. "Nyonya. Silahkan lanjutkan istirahat anda. Saya akan menunggu di luar..." Melina meninggalkan Windy yang tertidur pulas, setelah dirinya menyelimuti majikan barunya itu. Melina berjalan menyusuri lorong menuju kamarnya untuk beristirahat. "Apakah Nyonya sudah tidur?" tanya suara dingin yang hampir membuat jantungnya copot. "Su-sudah, Tuan." Melina membungkuk hormat kepada pria tampan yang baru saja menikah itu. "Apakah ada perintah lain, Tuan?" "Tidak. " Suara tegasnya menjawab sembari melangkah mendekati ke arah kamar pengantin yang telah disiapkan untuknya. "Selamat malam, Tuan..." suara ketiga orang membungkuk memberi hormat kepada Swan yang melintas memasuki kamar. Swan berdiri tegak memandangi gaya wanita yang baru dia nikahi sembari menggelengkan kepala melihat tingkah tidur Windy yang tak terlihat anggun. Dimana Windy saat itu sedang tertidur pulas dan ngorok. "Bisa-bisanya aku menikah dengan wanita seperti ini. Dan yang parahnya aku menikahinya secara resmi..." keluh Swan "Bagaimana mungkin dia yang baru sehari di sini langsung tertidur lelap begini. Apakah dia memiliki kelainan jiwa?" gumamnya lagi sembari memutar kembali tubuhnya dan menghela nafas panjang. Dia melintasi lorong menuju ruang kerjanya. Merebahkan tubuh lelahnya di atas kursi kebesarannya sembari menyelipkan sebuah rokok di sela-sela bibir tipisnya. Swan menghisap dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Seperti biasanya Swan memang memiliki gangguan tidur sejak lama. Dia terkadang tidur hanya satu jam, itu sebabnya dia memilih mengerjakan pekerjaan di banding berbaring di tempat tidur. Karena berbaring di tempat tidur membuatnya cemas dan ketakutan yang akan membuatnya gelisah. Tempat tidur adalah tempat ternyaman bagi hampir semua orang, sayangnya tidak bagi Swan. Tempat tidur adalah hal yang membuatnya kawatir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN