Episode 5

1523 Kata
Sementara itu, Diana dan Sinta sangat khawatir karena Methalia tak kunjung kembali. Mereka berniat untuk mencarinya. Namun dari kejauhan, mereka melihat Methalia yang tengah berlari. "Kita pulang sekarang," ucap Methalia sambil pergi meninggalkan keduanya.  Diana dan Sinta hanya mengikuti Methalia yang tengah di landa kepanikan. Mereka bertiga langsung masuk ke dalam mobil.  "Kemana saja kau?" tanya Diana. Methalia memegang kuku jarinya dengan cemas, "Aku tidur di ranjang dengan orang yang tak ku kenal." "Apa…!" teriak keduanya bersamaan.  Methalia langsung menutup kedua telinganya. Diana dan Sinta melihat gadis itu dengan seksama. Keduanya bernafas lega. "Kita pulang," ajak Diana.  Sinta dan Methalia mengangguk setuju. Mereka pulang dengan keheningan tanpa suara. Methalia memilih tidur karena kepalanya pusing. Sedangkan sinta bermain ponsel miliknya.  Tidak lama kemudian, mereka sampai dirumah Diana. Dengan kasar, Diana membanting pintu mobil sampai kedua temannya kaget. Methalia dan Sinta langsung turun dengan tergesa-gesa.  "Kau marah?" tanya Methalia. Diana hanya diam tak menanggapi. Ia bukan marah, melainkan jengkel kepada mereka berdua. Bisa-bisanya, mensopir tanpa ada yang menggantikan dirinya.  "Aku salah, maafkan aku," sambung Sinta.  Sinta tahu kalau Diana capek akhibat menyetir tanpa henti sedari tadi. "Maafkan aku, Diana," ucap Sinta lagi.  Diana melipat kedua tangannya dan mengerucutkan bibirnya. Methalia menghampiri dan merangkul pundak kedua temannya. "Sudahlah…! Jangan bertengkar. Besok, aku yang masak. Kalian istirahat saja," ucap Methalia sambil berjalan bersama dengan mereka.  Diana tersenyum, "Baiklah…, sekarang kita masuk." Sinta ikut tersenyum, "Terimakasih, Diana."  Mereka kemudian berjalan masuk rumah. Sampai dikamar, ketiganya langsung masuk kamar mandi melakukan aktivitas sebelum tidur. Canda dan tawa tercetak jelas di wajah mereka. Karena keasikan bercanda, ketiganya tanpa sadar menutup mata dan tidur di atas ranjang dengan damai.   Berbeda dengan Juna Ia berjalan mengendap-endap seperti ingin mencuri sesuatu. Ketika masuk ruang tamu, dirinya bernafas lega karena lampu mati. Itu berarti, kakeknya sudah tidur.  Byar Tiba-tiba saja, lampu menyala seketika. Di sofa, Damar engah duduk santai sambil menikmati kopi miliknya. "Kenapa kau pulang larut sekali, Juna?" tanya Damar. Juna tersenyum, "Aku ada urusan, Kek. Damar berdiri dan berjalan menuju Juna sambil menjewer telinganya. "Dasar pembohong," ucap Damar jengkel. "Aku tahu kau pergi ke Bar," imbuhnya. Juna meringis kesakitan, "Ampun... Kek. Hanya iseng." Damar menghela nafas sambil melepas tangannya dari telinga Juna. "Tidur sana!" teriak Damar. "Jangan ulangi lagi," imbuhnya sambil pergi. Juna langsung lari menuju kamarnya dan langsung melemparkan tubuhnya diatas ranjang  "Lelah," gumamnya sambil menutup mata. ------ Mentari mulai muncul dari ufuk timur. Ketiga gadis itu masih sibuk di alam mimpinya. Cahayanya mulai menerobos masuk lewat jendela. Salah satu gadis itu mulai terusik. Ia kemudian bangun dan langsung menuju kamar mandi untuk melakukan aktivitas pagi. Setelah selesai, gadis yang tak lain adalah Methalia keluar kamar dan menuju dapur. Ia akan menyiapkan sarapan untuk para sahabatnya.  "Aku akan masak nasi goreng," gumam Methalia sambil menyiapkan bahan.  Dengan gerakan lihai, ia mulai menggoreng bumbu sampai harum dan memasukkan nasi. Aroma sedap keluar sampai membangunkan Diana dan Sinta.  "Harum sekali!" teriak mereka bersama.  Methalia tersenyum dan menoleh, "Tentu saja. Ini spesial untuk kalian." Methalia menaruh nasi goreng ketiga piring dan menyajikan di meja. Kedua sahabatnya menunggu dengan semangat.  Mereka bertiga langsung sarapan bersama. Setelah selesai, Diana dan Sinta berdiri.  "Aku akan mandi," ucap mereka bersama. Methalia mendorong kursi dan mengambil semua piring yang ada di meja. Lalu, ia mencucinya. Setelah selesai, menuju kamar Diana. Methalia membuka pintu kamar Diana. Ia terkejut melihat Diana dan Sinta sudah selesai mandi.  "Bukannya kalian bilang mau mandi?" tanya Methalia polos. Diana tersenyum, "Aku sudah mandi tadi. Jadi, tinggal ganti pakaian. Sinta ikut menjawab, "Aku menggosok gigiku lagi." Sial, mereka membodohiku. Methalia menghela nafas kasar. "Aku tak akan marah hanya karena mencuci piring kalian. Tapi Diana, bisakah meminjami aku baju?"  Aura hitam keluar begitu saja mengelilingi tubuh Methalia. Diana menelan salivanya gugup, "Oke."  Diana mencari setelan kantor yang cocok Methalia. Ia kemudian memberikannya kepada gadis yang sedang suram itu.  "Jangan suram begitu. Kau sangat jelek," ucap Diana sambil melempar baju itu ke arah Mathalia. Methalia menerima dengan kasar dan langsung masuk kamar mandi. Sedangkan kedua sahabat itu tertawa karena melihatnya. Beberapa menit telah berlalu, Methalia keluar dengan keadaan fres dan tubuh segar.  "Kau lama sekali," ucap Sinta. "Seperti ratu kerajaan," sambung Diana. Mereka berdua kemudian berdiri dan menyeret Methalia. "Apa yang kalian lakukan?" teriak Methalia. "Lepaskankan aku!" imbuhnya sambil meronta. Diana tersenyum, "Hari ini, aku akan menjadikanmu pusat perhatian. Jarang sekali kau memakai rok." Sinta mengangguk, "Benar, kau terlihat seperti gadis pada umumnya." Methalia tertawa, "Kalian saja jomblo abadi. Kenapa harus mencarikan aku pasangan?" Diana dan Sinta saling memandang satu sama lain dan tersenyum tanpa mengeluarkan suara. Firasat Methalia mulai tidak enak. Ia mencoba kabur dari mereka.  "Eit… jangan kabur," ucap Diana sambil memegang pundak Methalia. "Sinta, tunjukkan kemampuanmu," imbuhnya. Sinta tersenyum dan mulai melakukan make up sederhana kepada Methalia. Dalam beberapa menit wajah gadis itu berubah menjadi cantik. "Astaga…," ucap Diana sambil menutup tangan. "Aku tak percaya kau jadi sangat cantik," imbuhnya dengana mata berbinar. "Sinta mengangguk, "Aku hebatkan." Sinta berucap sambil melipat kedua tangannya sombong.  Sedangkan Methalia menatap wajahnya di kaca. Selama ini, ia tak pernah sedikit pun memoles wajahnya. Mungkin hanya bedak ala kadarnya.  "Ayo, kita berangkat…." Diana menyeret tangan Methalia yang masih bengong menatap kaca. Mereka bertiga berangkat menuju kantor bersama. Barren Company Tak ada yang tahu jalan pikiran manusia. Hanya hati dan tuhanlah yang tahu. Bahkan, untuk membolak balikkan perasaan seseorang adalah hal mudah bagi yang kuasa.  Juna sedari pagi sudah berada di kantor. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ada rasa kesal karena menunggu kedatangan Methalia. Ia sudah tak sabar untuk menyiksa gadis itu lebih kejam lagi.  Tok Tok Suara pintu diketuk oleh seseorang. Dengan senyum devil, Juna menatap pintu.  Cklik Methalia membuka pintu dengan perlahan. Sedangkan Juna melotot kaget melihat gadis itu tanpa berkedip.  Cantik, batin Juna tanpa sadar. "Selamat pagi, Bos," sapa Methalia sambil menaruh teh hijau di atas meja. Segala gerakkan Methalia di tatap oleh Juna. Tak sedetikpun pandangannya mengalih pada gadis itu.  Tanpa sadar, ia mengambil teh itu dan meminumnya. Bau harum teh menetralkan semua pikirannya. Ketika mulai meminumnya ada rasa bahagia yang tak ternilai. Ia seperti melayang di bawa ke kebun teh yang sangat luas. Bahkan, dirinya sampai menutup mata karena menikmati teh itu. Methalia mengerutkan dahi berpikir bahwa Juna sedikit aneh. Tapi, ia menepis itu semua. Yang terpenting, terebas dari amukan iblis di depannya  "Bos, mau saya buatkan lagi." Deg Juna sadar dan langsung berhenti minum. Ia kemudian berdiri dan menyiram minuman itu ke wajah Methalia.  Methalia melotot kaget dan berapi-api. "Kenapa Bos melakukan ini?" "Hukuman, terlambat lima menit," ucap Juna dingin. Hukuman macam apa ini? Menyiramku dengn teh. Menyebalkan! Jadi basah semua. Sabar, Thalia.  Methalia tersenyum manis mencoba untuk menghilangkan rasa kesalnya. "Buatkan lagi, yang panas." Methalia mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan itu. Ia sangat kesal karena bajunya basah. Semua karyawan melihatnya terkejut.  "Kau kenapa?" tanya Diana. "Tidak apa-apa. Aku ke pantry dulu. Mau buat teh," ucap Methalia sambil pergi. Sinta mengamati Methalia dari jauh. "Bos Juna sudah keterlaluan," geram Sinta.  Sementara itu, Juna mondar mandir tidak jelas. Sudah lima belas menit Methalia tak kunjung datang.  "Sial. Sekretaris tidak kompeten." Juna langsung menuju pintu dan membuka pintunya dengan kasar. Ia langsung keluar sampai tidak melihat keberadaan Methalia di depannya. Byur Prang Teh yang dibawa Methalia langsung tumpah ke baju. Dia langsung mengipas dengan tangan agar sakitnya berkurang. Meski hangat, tapi temperaturnya sedikit panas.  "Panas sekali," gumam Methalia sambil mengipasi baju dengan tangan. Juna terkesiap menyeret Methalia masuk ke ruangannya dan langsung membuka paksa baju yang terkena teh itu. "Apa yang Bos lakukan?"  "Melihat lukanya, memangnya kenapa?" "Biar saya sendiri." Methalia menepis tangan Juna. Juna sangat jengkel. Ia langsung memegang erat kedua tangan Methalia dan mendorong pelan tubuhnya agar bisa duduk di sofa. "Bos, saya bisa sendiri. Lepaskan! Ini namanya pemaksaan." "Diam!" bentak Juna. Bos mulai kurang aja. Sialan, aku harus pergi dari sini.  Methalia tidak kehabisan akal. Ia harus mempertahankan harga dirinya.  Plak Tangan melayang begitu saja di wajah Juna. Lelaki itu hanya diam mengepalkan tangan dan menatap Methalia tajam. Aura hitam pekat mulai keluar dan menyelimuti tubuhnya.  Hari masih pagi. Sudah kena sial. "Sorry Bos," ucap Methalia sambil menelan gugup salivanya dan langsung lari meninggalkan ruangan itu.  Methalia bergegas menuju ruang kesehatan. Ia langsung membuka baju dan mengambil salep khusus luka bakar. "Merah gini, huh, sakit juga ternyata. Padahal tidak terlalu panas. Untung aku masih memakai tanktop." Methalia mengolesi bagian perut yang terkena air panas. Selesai mengolesi bagian yang sakit, Methalia masuk ke kamar mandi. Ia mencuci hem miliknya.  "Ini pasti tidak akan kering. Dasar kau bodoh sekali, Methalia," ucap Thalia sambil memukul kepalanya pelan. "Kenapa juga aku menamparnya?"  Methalia keluar ke kamar mandi dengan gontai. Ia melotot saat Juna sudah ada di ruang kesehatan. Ia menelan salivanya gugup karena melihat Juna yang masih mengeluarkan ekspresi dingin itu. "Kau menamparku," ucap Juna sambil berjalan menuju Methalia. Gadis itu langsung mundur ketakutan. Ia sebenarnya tidak bermaksud demikian. Habislah sudah. Kali ini pasti tamat riwayatnya. "I-tu ka-rena," ucap Methalia terbata. "Melindungi diri," imbuhnya cepat.  Jarak mereka semakin dekat. Juna berjalan perlahan dan berhenti di depan gadis itu sambil melipat kedua tangannya dan melototnya tajam dengan pandangan menusuk. "Sepertinya, kau mau menggodaku," ucap Juna.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN