Methalia sudah sampai di depan pintu Juna. Ia mengetuk pintu berulang kali dan mencoba membukanya. Namun, terkunci. Dengan sangat terpaksa, dirinya menunggu di luar.
Sedangkan Juna melihat gerak gerik Methalia dari layar komputer. Ia tersenyum puas melihat gadis itu menderita sedemikian rupa.
Kita lihat, sampai kapan kau akan bertahan, batin Juna sambil tersenyum devil menatap layar itu.
-------
Empat jam sudah berlalu. Semua karyawan sudah pulang. Namun, tidak dengan Methalia. Dirinya masih berdiri setia di depan pintu Juna. Sesekali, ia melihat jam yang ada di tangannya.
Kenapa bos lama sekali? Atau jangan - jangan ketiduran? Aku sangat lelah berdiri terus. Dia pasti sengaja melakukan ini.
Batin Methalia sambil menatap atap. Baru sehari ia bersama Juna, tapi serasa setahun. Waktu yang biasanya singkat berubah jadi lambat.
Ruangan Juna
Juna merenggangkan kedua ototnya dengan perlahan. Ia ketiduran karena kelelahan melihat layar komputer. Dirinya melotot kaget saat tahu kalau Methalia masih berdiri di sana.
"Gigih juga dia. Demi harta dia rela melakukan hal ini. Cih," ucap Juna penuh amarah.
Tiba-tiba, ada lelaki yang mendekati Methalia. Mereka berbicara dan tersenyum satu sama lain. Ada rasa tak nyaman di hati Juna. Tanpa alasan yang jelas, ia sangat murka. Tangannya mengepal. Matanya berapi. Karena tak tahan, Juna memegang gelas sampai pecah. Darah merah segar mengalir di telapak tangannya.
Tidak ada rasa sakit sedikit pun. Yang ada amarah yang memuncak sampai ke ubun-ubun. Dengan langkah penuh amarah, Juna keluar ruangan. Methalia dan lelaki itu kaget melihat kondisi Voldirey. "Bos baik-baik saja," ucap Methalia khawatir.
Tidak ada jawaban dari mulut Juna. Hanya tatapan tajam menusuk yang dilontarkan pada lelaki di depannya. Merasa di atap, lelaki yang tak lain Boy langsung menunduk dan pamit.
"Sepertinya, aku harus pergi dulu karena ada urusan. Selamat sore, Bos," ucap Boy sambil lari terbirit-b***t.
Methalia menghela nafas kasar. Ia terfokus pada tangan Juna yang mengeluarkan darah. Dengan sigap, dirinya mengeluarkan sapu tangan untuk mengusapnya.
"Luka ini dalam. Sebaiknya di obati," ucap Methalia lembut sambil memegang tangan Voldirey.
Juna menatap Methalia untuk mencari kepura-puraan hatinya. Tapi, nihil. Yang dilihat hanya mata bening tulus.
Deg
Darah Juna berdesir seketika. Baru kali ini, dirinya merasakan perasaan asing ini. Ia terus menatap methalia yang tengah membersihkan darah itu.
"Sepertinya, kita harus masuk dulu untuk mengobati luka Anda, Bos," ucap Methalia sambil membuka pintu dan menyeret tangan Juna.
Juna tak menjawab dan hanya mengikuti gadis di depannya.
"Duduklah," perintah Methalia sambil menaruh sapu tangannya di meja.
Juna langsung duduk menatap Methalia yang tengah mengambil kotak obat di bawah meja.
"Ini akan sakit," ucap Methalia sambil menaruh alkohol ke tangan Juna.
Dengan gerakan lembut, Methalia melakukan tugasnya dengan baik. Juna hanya diam dan tak bicara sepatah kata pun.
"Selesai," ucap Methalia sambil tersenyum manis ke arah Juna
Deg
Jantung Juna kian berdetak keras. Ia tanpa sadar memegang dadanya yang seperti ingin meronta keluar dari tempatnya.
"Bos kenapa?" tanya Methalia penasaran sambil tersenyum.
Sadar kau, Juna. Jangan tergoda, batin Juna sambill memejamkan mata sejenak.
"Keluar!" teriak Juna
Methalia melotot kaget sambil berdiri. Ia mematung di depan Juna.
"Apa kau tuli! Keluar!" teriak Juna lagi.
Methalia langsung pergi meninggalkan Juna sendirian. Sampai di luar pintu, dirinya meneteskan air mata. Apa salahnya? Kenapa di perlakukan seperti ini? Ia hanya ingin membantu saja. Bukan bermaksud lain.
"Apakah aku bisa bertahan, Tuhan," gumam Methalia sambil mengusap air matanya.
Dengan langkah gontai, Methalia berjalan menuju keluar kantor. Sampai di lobi, ia melihat Diana dan Sinta yang tengah asik bicara. Keduanya kaget melihat Methalia yang tengah menangis. Mereka langsung menghampirinya.
"Kau kenapa?" tanya Diana.
Bukannya mereda, tangisnya semakin pecah tak terkendali.
"Tenang, Thalia," ucap Sinta sambil mengelus bahu Methalia.
Methalia mengusap kasar air matanya dan langsung tertawa. Diana dan Sinta heran di buatnya. Mereka kemudian memapah Methalia sampai ke parkiran kendaraan.
"Apa yang terjadi?" tanya Diana lagi.
"Malam ini, kita ke Bar. Aku ingin minum," ucap Methalia tanpa ragu.
Kedua orang yang ada di depannya langsung melongo. Methalia tak pernah berinisiatif mengajak mereka untuk pergi ke Bar. Diana kemudian menyentuh kening Methalia.
"Kau tidak demam. Kenapa tingkahmu aneh?" tanya Diana.
"Sudahlah…, mungkin dia perlu hiburan," sambung Sinta.
"Benar, aku perlu hiburan. Motorku biar di sini. Aku berangkat dengan kalian. Sebelum itu, kita ke Mall dulu untuk beli baju," ucap Methalia penuh semangat.
Malam ini, ia akan melupakan kejadian hari ini dengan minum banyak alkohol. Agar, suasana hatinya membaik. Lagi pula, dirinya sudah lama tidak minum.
Sampai di Mall, mereka berjalan menuju ke toko baju. Dengan penuh gembira, ketiganya asyik memilih berbagai dres. Methalia mengambil dres lengan pendek berwarna merah marun polos. Ia kemudian mencobanya. Dres itu sangat cocok untuknya. Meski tak memakai make up, Methalia terlihat menawan. Bahkan, para pelayan toko memuji kecantikannya.
Setelah selesai, mereka berjalan menuju mobil. Namun sebelum itu, Methalia mengeluarkan baju kantornya dan membuangnya ke tempat sampah.
"Kenapa kau membuangnya?" tanya Sinta.
"Karena aku tak membutuhkannya," ucap Methalia dingin.
Ada apa dengan dirinya? Apa dia mau keluar dari perusahaan?
Batin Diana sambil menatap Methalia yang tengah membakar baju itu.
Setelah membakar baju itu, Methalia berjalan masuk mobil dan diikuti kedua temannya. Tawa dan canda tercetak jelas di ketiganya. Mereka sampai tak sadar jika sudah sampai.
Ketiganya langsung turun dan masuk ke dalam Bar. Banyak para lelaki yang memandang ke arah mereka. Terutama pada Methalia. Namun, Methalia hanya acuh dan duduk di depan Bartender.
"Coctail," ucap Methalia dingin.
Dengan senyum cerah, Bartender itu memberikan minuman yang diinginkan Methalia. Diana dan Sinta hanya menggelengkan kepala.
"Hentikan, kau sudah mabuk, Thalia," ucap Diana khawatir.
"Aku tak mabuk, Diana. Aku masih bertahan. Baru sehari rasanya bertahun-tahun. Apa salahku? Aku ingin keluar. Tapi, bagaimana dengan adik-adikku," ucap Thalia sambil meneteskan air mata.
Diana dan Sinta tahu arah pembicaraan Methalia. Mereka paham betul dengan kondosi gadis itu. Kehidupan yang gadis itu jalani tak mudah. Banyak rintangan yang harus di hadapinya.
"Apa kau akan menyerah?" tanya Sinta.
Methalia tersenyum, "Kenapa harus menyerah? Thalia tak akan menyerah." Ia meneguk habis minuman yang ada di gelasnya. "Dengar, aku akan bertahan sampai titik penghabisan."
Diana dan Sinta tersenyum. Sifat ini yang mereka sukai dari Methalia. Yaitu pantang menyerah dalam menghadapi berbagai masalah.
"Aku akan ke toilet sebentar. Kalian tunggu di sini," ucap Methalia sambil berjalan sempoyongan.
Diana meraih tangan Methalia, "Aku ikut denganmu." Methalia menggeleng, "Tenang, aku bisa mengatasinya."
Methalia berjalan gontai ke arah toilet. Ia melihat wanita yang tengah bergelayut manja pada lelaki.
"Bukankah Anda menyukaiku, Tuan Jun," ucap wanita itu.
Lelaki itu hanya diam membisu. Ia kemudian mendorong kuat tubuh wanita itu. "Enyahlah…!" teriaknya.
Methalia hanya memandang interaksi keduanya. Ia kemudian berjalan melewati mereka yang tengah bertengkar.
"Kenapa Anda mendorongku, Tuan?" tanya wanita itu dengan memelas.
Methalia berhenti dan menoleh sekilas. Dengan langkah cepat, ia menghampiri lelaki itu. "Jangan perlakukan wanita dengan kasar," ucap Methalia sambil melipat kedua tangannya.
Lelaki yang tak lain Juna itu melotot kaget melihat Methalia yang berada di depannya. Dia terlihat sangat cantik memakai dres.
"Kau seperti melihat hantu." Methalia mendekat ke arah Juna. "Ingat Tuan terhomat, jangan menyakiti hati wanita," imbuhnya penuh penekanan.
Juna menatapnya sambil tersenyum, "Bagiku, wanita seperti sampah yang harus disingkirkan." Juna mengucapkan kata-kata itu dengan sombong.
Methalia tersenyum manis, "Sepertinya, kau harus diberi pelajaran," ucap Methalia sambil memukul perut Juna.
Bug
Juna mundur kebelakang sambil memegang perutnya. "Kau memukulku? Beraninya!" ucap Juna penuh amarah.
Methalia menatap tajam tanpa takut. "Kenapa tak berani? Orang sepertimu harus dididik karena tak menghargai wanita."
Wanita yang dibela Methalia mendekat ke arah Juna. "Tuan Jun tak apa-apa," ucapnya sambil menggoda.
Juna jengkel dibuatnya. "Pergi…!" teriaknya menggema.
Wanita itu langsung lari begitu saja mendengar teriakan Juna yang sangat keras. Sedangkan Methalia hanya acuh saja dan berbalik arah meninggalkannya. Namun, tangannya di pegang oleh Juna
"Urusan kita belum selesai," ucap Juna penuh penekanan.
Methalia menoleh dan menatap Juna dengan seksama, "Sepertinya, aku mengenalmu." Methalia mendekat dan meraba wajah Juna. "Aku pernah melihatmu," imbuhnya.
Tiba-tiba, Methalia pingsan. Dengan sigap, Juna menangkapnya. Ia kemudian menggendong Methalia ala bridal style.
Ck ck... tak waspada.
Batinnya sambil menatap Methalia dan berjalan menuju kamar VVIP miliknya. Ia kemudian merebahkan tubuh Methalia di atas ranjang.
"Kenapa aku jadi baik padamu?" gumam Juna sambil mengelus surai hitam milik Methalia.
Juna kemudian bangkit menuju balkon. Ia menatap bintang dan wajah Methalia bergantian. Semburat senyum terletak jelas di bibirnya saat mengingat kejadian di kantor. Namun, senyum itu sirna seketika. Rasa benci yang sedikit memudar kini menyeruak kembali ke dalam hatinya.
Dengan langkah kasar, Juna mendekati Methalia dan ingin mencekiknya. Namun, tangannya mengepal kuat seperti menahan sesuatu.
"Apa yang kau lakukan padaku, Rubah sialan?" tanya Juna.
Mata Methalia langsung terbuka lebar. Juna kaget dan berdiri seketika. Gadis itu menoleh kesana kemari bingung. Ia kemudian menghela nafas panjang dan menatap Juna.
"Kau siapa? Kenapa aku ada di sini?" tanya Methalia. "Astaga… aku mabuk," imbuhnya lagi.
Juna diam membeku melihat tingkah Methalia. Ia hanya mengamati gerak-gerik gadis itu.
"Terimakasih. Pasti aku melakukan sesuatu. Maafkan aku jika merepotkanmu," ucap Methalia langsung pergi begitu saja.
Juna melongo melihat Methalia yang pergi meninggalkan dirinya. Ia kemudian tersenyum tanpa beban.
"Menarik," gumam Juna.
Juna berucap tanpa sadar, bahkan tersenyum juga. Sedetik kemudian semuanya pudar. Ia kemudian menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Methalia selalu menghiasi pikirannya dimana pun berada? Hal itu tidak.
"Pergi, rubah sialan," gumam Juna lagi sambil mengibaskan tangan.
Juna tak ingin Methalia mengganggu pikirannya. Namun, bayangan wajah gadis itu masih saja melekat tak hilang sedikit pun dalam pikirannya. Jika seperti ini terus, gadis itu akan menjadi bumerang dalam hidupnya. Lagi pula, Methalia tak pantas bersanding dengannya.
"Hanya jalang," gumam Juna sambil pergi.