Situasi tegang ini membuat siapa saja ingin segera mengakhirinya. Tangan Sinta sudah memegang gagang pintu. Dokter Indra hanya menutup matanya rapat berharap Tuhan memberi keajaiban.
Sedangkan Diana menelan ludahnya kasar saat rasa penasaran merayapinya. Namun, siapa sangka. Ketika Sinta berhasil membuka pintu, gadis yang tergolek lemah itu bangun.
"Apa yang kau lakukan di sana, Sinta?" tanya Methalia sambil memegang kepalanya. Karena mendengar suara Methalia. Sinta berbalik arah dan mengahmpirinya."Kau baik - baik saja, Thalia."
Aku aman, batin Juna bernafas lega. Karena pintu sedikit terbuka. Ia mengintip apa yang dilakukan oleh mereka.
Diana mendekat, "Dia sudah sadar. Dokter, jangan diam saja. Cepat periksa."
Dokter Indra bisa bernafas lega dan langsung memeriksa gadis itu. "Kita ketemu lagi, Nona Thalia," sapa Dokter Indra sambil basa - basa.
Gadis itu mengerutkan kening, "Kapan kita pernah bertemu?"
Deg
"Kalian pernah bertemu?" tanya Sinta penuh selidik.
Methalia menjawab, "Tidak pernah."
Apa yang terjadi? Dia lupa ingatan.
"Sepertinya, Anda harus diperiksa lebih lanjut lagi."
Methalia menatap Dokter itu dengan kebingungan. Ia tak sakit, kenapa harus diperiksa? Gadis itu lalu mengamati dokter Indra penuh selidik untuk mengingat kejadian - kejadian yang di alaminya.
Astaga..., aku lupa. Bodoh kau, Thalia.
Methalia tersenyum, "So, Dokter. Aku minta maaf karena lupa padamu."
Imut sekali....
Dokter Indra menatap tanpa henti karena terpesona oleh Methalia. Wajah cantik, senyum lembut, kulit putih alami seperti s**u yang pasti idaman semua lelaki di luar sana.
Diana mengerutkan kening menatap dokter yang tengah memandang Methalia. Ia kemudian berkacak pinggang, "Sudah tua mau daun muda."
Sinta melotot, "Kau tidak sopan, Diana. Kenapa berkata seperti itu kepada Dokter?"
"Dia yang tak sopan," jawab Diana spontan. "Beraninya menatap Thalia tercinta kita." imbuhnya penuh penekanan.
Sialan, aku di situasi yang serba salah.
"Ehem…, perkataan Anda terlalu keterlaluan, Nona. Saya hanya mengaguminya."
"Bagus…, karena dia sudah menjadi milik lelaki bervitalitas kuat."
"Vitalitas kuat!" teriak Dokter Indra dan Sinta bersamaan sambil menatap Methalia.
Mulut Diana memang tidak bisa di percaya. Ia terlalu berlebihan sekali mengenai kejadian kemarin.
Hais, Diana.. awas saja kau.
Methalia berusaha tersenyum, "Kalian datang menjemputku atau membuatku menjadi pajangan di sini."
Diana tersenyum canggung karena mulutnya tak bisa di kontrol. Sementara Sinta, merasa dirinya tak dianggap karena Methalia menyimpan banyak rahasia.
"Sebaiknya, aku pergi," ucap Sinta lesu.
Methalia menghela nafas, "Nanti aku akan cerita. Jangan merajuk. Sebaiknya, sekarang kita ke Love Cafe. Aku yakin Alroy sedang menungguku."
"Anda tak boleh kemana - mana. Luka di dahi belum sembuh. Jangan mengabaikan perintah dokter."
Methalia memberi kode kepada kedua gadis di depannya. Mereka pun mengangguk setuju. Dengan gerakkan cepat, Sinta dan Diana mengikat Dokter Indra dengan tali yang selalu dibawa oleh Sinta.
Lelaki itu berteriak ketika para gadis sedang mengikatnya. Namun, tak ada yang mau mendengarkan sampai lakban bersarang di mulut dokter itu.
"Emm….emm," ucap Dokter Indra sambil meronta.
"Huh…. Akhirnya, mulut dokter terkunci juga. Dengar, dokter. Thalia tidak suka rumah sakit," ucap Sinta.
Diana mencabut selang infus milik Methalia, "Kau yakin akan kesana. Kondisimu belum sembuh benar."
Methalia mengangguk, "Aku janji bertemu seseorang. Kalian juga ikut kesana."
Mereka bertiga meninggalkan kamar rumah sakit dengan segera untuk pergi ke cafe milik Alroy.
Sementara itu, Juna keluar kamar mandi dengan perlahan. Ia menahan tawa saat melihat Dokter Indra diikat tak berdaya.
"Emm...eemm," ucap Dokter Indra sambil meronta.
Juna menghampirinya, "Kau seperti tawanan. Karyawanku ternyata sangat pintar."
Dokter Indra meronta - ronta sampai jatuh ke lantai. Juna pun melepas ikatan yang berada di tangan dan kakinya.
"Sial, mereka monster," ucap Dokter Indra.
"Kau pantas mendapatkannya, dasar mesum."
Juna mendengar perkataan semua orang tadi dengan jelas. Ia tahu kalau dokter itu menatap Methalia penuh rasa ingin memiliki. Sebab, tadi dirinya sedikit mengintip untuk melihat kondisi diluar.
Lelaki itu mengepalkan tangannya saat miliknya ditatap penuh hasrat oleh adam lain. Juna menatap Dokter Indra dengan pandangan menusuk sampai ke tulang. Aura dingin pun menyelimuti seluruh ruangan itu.
Dokter Indra bergidik ngeri dan kedinginan. Ia langsung beringsut gemetar karena di tatap oleh singa yang tengah berkobar amarah.
"Jika sekali lagi kau menatap milikku. Aku pastikan hidupmu menderita."
Glup
Tenggorokkannya mendadak kering dan kehausan. Dengan susah payah, Dokter Indra menelan ludahnya.
"Aku… aku hanya mengagumi saja."
Bukanya amarah surut, namun semakin keluar seperti api yang membara.
Habislah..., aku salah bicara.
"Kau berani rupanya," ucap Juna dingin seperti es.
Dokter Indra kebingungan untuk menyurutkan amarah Juna. Ia harus berpikir cepat agar lelaki singa di depannya segera pergi dari tempat ini.
"Mereka bilang akan pergi ke tempat Alroy bernama Love Cafe."
Juna mengepalkan tangannya kuat, "Alroy." Karena terlalu fokus dengan Dojter Indra. Ia lupa dengan percakapan mereka yang menyebutkan nama lelaki bernama Alroy.
Jeniusnya diriku..., bisa membuat dia tak marah lagi. Ho Ho Ho.
"Benar…, kau tidak kesana. Mungkin, Alroy kekasih Nona Thalia," ucap Dokter Indra bernafas lega.
Juna melotot kaget karena mendengar perkataan Dokter Indra. Emosinya semakin menyeruak keluar. Kilatan api amarah sampai terlihat dengan jelas.
"Katakan sekali lagi," ucap Juna penuh penekanan."
Dokter Indra menelan ludahnya kasar, "Lebih baik, kau pergi ke Love Cafe sekarang. Kalau tidak, bisa terlambat."
Juna langsung pergi meninggalkan dokter itu sendirian. Ia berjalan cepat menuju mobil. Bisa - bisanya Methalia menemui lelaki lain selain dirinya. Hal ini, membuatnya sangat marah sampai memukul setir saat masuk ke dalam mobil.
"Kau milikku. Tak ada yang bisa merebutmu."
Dengan kasar, lelaki itu mengendarai mobil secepatnya. Ia mencari letak Love Cafe di ponsel miliknya.
°°°°°
Bagi Methalia, membuat seseorang bahagia adalah berkah tersendiri baginya. Ia sangat senang bisa membuat orang tersenyum puas. Apalagi, membantu meringankan beban orang lain.
Methalia tak pernah mengeluh mengenai kehidupannya selama ini. Namun, akhir - akhir ini dirinya sempat menyerah akan takdir Tuhan. Karena keinginannya yang kuat, dirinya bangkit dan menatap ke depan.
"Jangan melamun," ucap Alroy.
Methalia tersenyum, "Kau tahu. Aku sangat senang bisa membuat pengunjung bahagia."
Alroy mendekat, "kau tak pernah terluka sebelumnya. Sebaiknya keluarlah dari perusahaan itu."
Alroy khawatir karena Methalia terluka. Ia tadi sangat panik melihat keadaan Methalia yang kurang baik. Namun, karena gadis itu keras kepala. Terpaksa dirinya menyetujui keinginannya.
Sinta dan Diana mendekat ke arah mereka berdua. "Apakah kau merasa pusing?" tanya mereka bersamaan.
Methalia menggeleng, "Aku baik - baik saja."
Gadis itu tak mau membuat kedua sahabatnya khawatir akan kondisinya. Ia kemudian berdiri dan naik ke atas panggung lagi. Sinta ingin mencegah. Namun, dihalangi oleh Diana.
"Biarkan dia menyanyi."
Sinta mengangguk, "Kau benar. Lagi pula, hari ini adalah hari yang berat untuknya."
Alroy menatap kedua gadis di depannya dengan penuh selidik. "kalian tak mau cerita padaku."
Kedua gadis itu bertatapan dan saling mengangguk. Sepertinya, mereka harus menceritakan semua kejadian yang menimpa Methalia. Termasuk di teror oleh penguntit.
Alroy sangat marah saat mendengar perkataan mereka. Ia ingin sekali menghajar orang yang telah berani menyakiti gadis itu.
Tak lama kemudian, Methalia selesai bernyanyi. Kedua gadis itu langsung berhenti bercerita dan tersenyum menatap gadis yang tengah turun panggung.
"Sepertinya, seru sekali…," ucap Methalia. "Kalian bercerita apa?" imbuhnya.
"Tidak ada," jawab Sinta cepat.
Methalia tahu kalau Sinta berbohong. Ia kemudian duduk dan menatap satu persatu wajah mereka dengan penuh selidik.
"Kalian bercerita tentang diriku."
Kedua gadis itu menunduk. Mereka tahu kalau salah karena menceritakan kehidupan sahabatnya.
"Mereka tidak salah. Aku yang meminta untuk menceritakannya," ungkap Alroy. "Sebaiknya, kau keluar dari sana. Dan pindahlah ke cafe ini."
Methalia melotot tajam kepada kedua gadis yang masih menunduk itu.
"Jangan salahkan mereka."
Gadis itu menghela nafas panjang. "Aku bisa mengatasinya, Roy."
Methalia tidak mau membebani Alroy mengenai masalahnya. Selama dirinya bisa bertahan, maka akan berjuang sekuat tenaga. Ia melipat tangannya di atas meja. "Kalian seharusnya mendukungku. Bukan menyuruhku untuk keluar."
Diana dan Sinta merasa bersalah. Mereka mengangkat kepala dan menatap gadis itu dengan sendu.
"Maafkan aku, Thalia," ucap Diana.
"Aku juga minta maaf," sambung Sinta.
Alroy menghela nafas, "Kalau kau ingin lanjut bekerja di sana, aku bisa apa lagi. Tapi, aku mohon padamu, Thalia. Pindahlah ke cafe ini. Aku tak mau terjadi sesuatu padamu."
Gadis itu menunduk, "Maaf, aku tidak bisa."
Sinta menggenggam tangan Methalia, "Kau bisa menikah dengan Alroy kalau ingin tinggal bersama."
Deg
Jantung Alroy langsung berpacu cepat seperti kuda jantan yang tengah berlari. Wajahnya menjadi merah seperti tomat. Sedangkan Methalia dan Diana melotot kaget.
Diana langsung mencubit pipi Sinta, "Saring perkataanmu, Sinta."
Sinta meringis kesakitan. "Sakit sekali…, kau mau membunuhku."
Diana heran, Sinta sangat pandai dalam menganalisis sesuatu. Tapi, dia sangat lemah dalam hal asmara.
"Aku ke dapur sebentar," ucap Alroy tiba - tiba.
Ketiga gadis itu melongo menatap Alroy yang tengah pergi buru - buru.
Methalia menghela nafas panjang. Setelah ini, dirinya pasti akan canggung apabila berhadapan dengan Alroy.
"Untung saja, cafe sudah mulai sepi. Kita bisa bersantai," ucap Sinta tanpa dosa.
Diana jengkel di buatnya, "Kenapa kau kurang peka?"
Methalia menengahi, "Sudah, jangan ribut!"
Diana dan Sinta membuang muka ke arah lain. Keduanya sangt kesal dengan tingkah masing - masing. "Kalau kalian marah. Aku akan pergi."
"Jangan!" teriak keduanya bersamaan.
Mereka berdua langsung tertawa dan berpelukan. Methalia pun bernafas lega dan ikut tertawa. Ketiga gadis itu terlihat senang sampai tak menyadari telah diamati seseorang dari jauh.
Siapa lagi kalau bukan Juna. Ia bahkan melihat mereka dari awal sampai akhir. Ketika mendengar Methalia bernyanyi, hati Juna seakan melayang seperti mimpi. Ketenangan, kenyamanan jadi satu berbaur menjadi kehangatan yang tak pernah dirasakannya.
Emosinya yang meraung tadi sirna sudah. Tak ada bekas apa pun. Namun, saat dirinya melihat Methalia berbicara dengan Alroy. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangannya kuat. Bahkan memaki dan mengumpat tak jelas.
Sampai Alroy pergi pun, emosinya belum stabil. Ia ingin sekali menyeret Methalia dan mengurung gadis itu jauh dari para lelaki di luar sana.
"Dia milikku," gumam Juna berapi - api.
Tok
Tok
Tiba - tiba ada seseorang yang mengetuk kaca pintu mobil. Juna menoleh dan membuka kaca itu. Kebetulan dirinya sedang marah. Jadi, orang itu bisa di jadikan pelampiasan.
Dia mangsaku. Salah sendiri datang di saat yang tidak tepat.
"Kau cepat tua jika marah seperti itu," ucapnya spontan. "Haruna Tanaka," imbuhnya.
Juna menatap tajam gadis yang bernama Haruna Tanaka. Bisa - bisanya gadis itu berkata demikian. Padahal, mereka baru bertemu.
Lelaki itu kemudian mendekat ke arah Haruna. Ia bersemirik mendapatkan ide untuk membuat gadis itu berpikir dua kali dalam mendekatinya.