Saat pertama aku melihatmu, senyumku tidak bisa berhenti. Apa mungkin itu cinta?
-Reza-
Kiandra terpaksa ikut mengawasi Aurel dengan Reza, dia khawatir jika Reza akan melakukan hal ekstrem atau melukai Aurel. Namun diluar dugaan, Reza malah selalu mengalah dan bersabar dengan Aurel yang sulit bermain basket. Reza begitu sabar dengan Aurel yang sedari tadi tidak bisa melakukan dribble, hal yang paling mendasar dan sederhana dalam dunia basket. Kiandra sempat menertawai Aurel, entah kenapa dia gemas melihat sahabatnya yang begitu kacau dalam olahraga. Satu-satunya pelajaran yang mudah namun Aurel selalu mendapat nilai terburuk.
“Ah udah, gue capek.” Aurel kesal lalu melempar bola basket itu ke sembarang arah, namun Reza mencegahnya untuk menggelinding terlalu jauh. Dia mengambilnya dan memberikan kepada Aurel
“Lo salah, main basket itu pake feeling. Tangan lo buka mukul bolanya, tapi dorong bolanya sampai dia ngikutin alur pantulan. Nih lihat gue,” ucap Reza mempraktikkan dribblenya. Kiandra seperti melihat sinetron ftv dua anak yang sedang kasmaran, dari cara pandang serta sorot mata keduanya, dia bisa melihat dengan jelas keduanya saling tertarik.
“Oh gitu, tapi sakit kalau kena bolanya,” ucap Aurel. Reza tertawa kecil, dia meraih tangan Aurel dan meniupnya pelan.
“Mana yang sakit? Sini gue tiup.” Reza meniup telapak tangan Aurel dan memijitnya pelan. Aurel seketika terkesima, dia terpaku dengan Reza. Saat Reza mendongak, manik mata mereka bertemu, sentuhan tangan Reza menghantarkan listrik yang membuat Aurel seketika terpana dan tak bisa berpaling dari Reza. Waktu seolah terhenti, jantungnya berdegup dengan kencang. Aurel tidak ingin melepaskan tangan Reza, sama halnya dengan Reza, dia tidak ingin melepaskan jemari Aurel.
“EKHEM!!” ucap Kiandra yang duduk di pinggir lapangan. Aurel seketika menarik tangannya dan menunduk malu.
“Gue kayanya duluan ajadeh, bosen liat kalian pdkt,” ucap Kiandra mengedipkan matanya pada Reza.
“Apaan sih! Gue ngajarin dia basket!” ucap Reza. Kiandra tidak menggubrisnya lalu berjalan pulang. Saat dia baru saja sampai di depan rumah Aurel, ponselnya berdering. Telepon dari Reno. Kiandra menatapnya malas lalu mematikan telepon itu. Dia lebih suka dianggap sebagai adik kurang ajar dan dimarahi habis-habisan daripada dia dianggap sebagai anak yang tidak diperhatikan. Kiandra jauh lebih suka diperhatikan apalagi saat Reno mengomel. Siapa lagi yang mau peduli dengannya? Orang tuanya sudah pergi jauh, dia sendirian di sini. Belum lagi mungkin semua temannya sibuk berpacaran, Kiandra menatap langit awan biru, entah kenapa dia merasa menyedihkan saat ini, dia merasa semua yang dia lakukan hal yang membuat semua orang menderita.
Kiandra lalu masuk ke rumah Aurel, dia mengelilingi rumah Aurel, satu yang menarik perhatiannya, ada piano besar dalam sebuah ruangan. Waktu dia masih kecil, Kiandra sering diajarkan oleh ibunya untuk bermain piano, tetapi kini Kian tidak lagi bermain piano, dia lebih tertarik dengan basket. Ibunya sangat handal bermain piano. Tangannya menyentuh piano itu, jemarinya mengusap halus dan memainkan setiap nada. Saat ini dia menjadi merindukan ibunya, tanpa dia sadari, dia meneteskan air matanya.
*
Setelah kepulangan Alea, Davon mengambil handphonenya, dia hendak mengubungi Kiandra karena sejak tadi Kiandra tidak membalas pesannya. Namun tangannya terhenti saat hendak mengetikkan pesan, tiba-tiba Reno mengetuk pintu Davon dan masuk ke dalam.
“Apa kamu tau dimana Kiandra?” tanya Reno dengan tatapan tegas kepada Davon. Kiandra memang bar-bar dan suka sekali membantah, namun baru akhir-akhir ini saja Kiandra suka sekali pulang terlambat, bahkan kali ini Kiandra tidak pulang ke rumah. Reno curiga bahwa semua ini karena dia berdekatan dengan Davon.
“Kiandra? Enggak kak,” jawab Davon sopan. Dari raut wajahnya Reno bisa membaca jika Davon juga khawatir sekaligus terkejut karena Kian tidak ada di rumah. Reno mengacungkan tangannya dan memperingati Davon, “Jangan membuat Kiandra menjadi lebih buruk.”
Reno lalu berbalik menutup pintunya, dia menelpon Khalisa—istri Reno yang ada di apartemen.
“Khal, aku minta kamu tinggal di rumah orang tua aku sekarang, mama sama papa lagi di Amrik, Kiandra sendirian di rumah dan sekarang aku belum tau dia dimana sekarang.”
Khalisa menghela nafas kasar, terakhir kali dia menemui Kiandra, tidak berhubungan baik dengannya. Adiknya Reno itu terlihat menentang hubungan mereka. Khalisa juga tidak tau kenapa Kian bersikap seperti dingin kepadanya.
“Oh, oke Mas. Aku kemasi juga ya pakaian kamu.”
“Iya, nanti aku langsung ke sana.”
Khalisa menatap layar ponselnya, mencari kontak nama Kiandra di sana, walaupn hubungannya tidak baik, namun Kiandra tetap saja adik iparnya, seseorang yang harus dia jaga dan dia sayangi sepenuh hatinya. Sama seperti saat dia menyanyangi Reno, adik Reno adalah adiknya juga. Kiandra sangat membenci Khalisa karena dia menganggap Khalisa sudah mengambil hati Reno dan menjadi pusat perhatiannya.
“Halo?” ucap Khalisa, dia bernafas lega karena Kiandra mengangkat ponselnya.
“Kenapa Kak? Tumben banget telfon,” jawab Kiandra. Dia menghentikan sejenak permainan pianonya.
“Kamu dimana sekarang dek?” ucap Khalisa. Dia berjalan menuju lemari kamar mengemasi beberapa pakaian untuk dibawa pindahan. Kiandra tersenyum miring menanggapi pertanyaan kakak iparnya, tumben sekali mencarinya.
“Kenapa emangnya?” jawab Kiandra cuek. Khalisa bisa tau saat mendengar nada bicara Kiandra, adiknya itu sepertinya sedang stres atau lelah akan sesuatu. Khalisa seorang psikiater, sudah pasti dia bisa membaca dengan mudah perasaan seseorang. Kalau sudah begini, tidak ada jalan lain bagi Kiandra selain membujuknya.
“Enggak papa, ini lo ada diskon buat baju sama tas pelajar, barangkali kamu mau ikut mbak shopping hari ini, mbak jemput kamu sekarang,” ucap Khalisa. Kiandra tertawa mendengarnya, lebih tepatnya tertawa sinis yang membuat Khalisa hampir merinding mendengarnya.
“Tumben banget ngajakin shopping, halah paling kak Reno kan yang nyuruh cari gue? Well, gue gak tertarik dengan apapun yang kak Khalisa tawarin, gue cuma mau hidup tenang sendiri di sini.”
Kiandra hendak mematikan teleponnya, namun dia mendengar Khalisa menghela nafas kasar seolah lelah dengan sikap Kiandra.
“Ndra, kamu tau kan? Kalau kita semua sayang sama kamu? Kita semua peduli sama kamu, kalau kita enggak sayang sama kamu, enggak mungkin kamu disekolahin sama mama dan papa. Di luar sana itu banyak anak gelandangan yang ditelantarkan gitu aja. Please Kiandra, mbak juga capek kamu bertingkah kaya gini terus, kalau kamu mau tinggal sama mbak, mbak juga akan seneng kok, please jangan berulah kaya gini, kenapa kamu enggak pulang semalam? Kamu pulang ya, kamu boleh kok bawa teman kamu asal perempuan.”
Mata Kiandra berkaca-kaca mendengarnya, dia benci dengan Khalisa yang mengetahui segala perasaannya. Dia memang kesepian, membutuhkan kasih sayang orang tua yang lebih.
Kiandra tidak menjawab, dia memilih mematikan ponselnya sepihak. Sungguh dia membenci seseorang yang tau rahasianya.